Dosen Hubbungan Internasional sekaligus Dewan Pakar Free Palestine Network, Dr. Dina Y. Sulaeman, mengungkapkan bahwa dalam kurun dua tahun terakhir, tindakan genosida yang dilakukan Israel telah menewaskan sekitar 680 ribu jiwa hingga April 2025. Dari jumlah tersebut, lebih dari separuhnya—yakni 380 ribu korban—merupakan anak-anak berusia di bawah lima tahun.
“Sekarang sudah November, angkanya sudah jauh bertambah,” ujarnya dalam kegiatan Diskusi Lintas Umat: Cahaya Kemanusiaan untuk Palestina yang diselenggarakan oleh Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PWM Jawa Timur di Kantor PW Muhammadiyah Jawa Timur, Ahad (2/11/2025). Kegiatan ini dilaksanakan secara daring dan luring.
Dr. Dina menjelaskan bahwa banyak pihak mungkin belum mengetahui skala sebenarnya dari jumlah korban. Ia merujuk pada data Dr. Gideon Pilya dan Profesor Richard Hill yang mencatat periode antara 7 Oktober 2023 hingga 25 April 2025.
“Kalau di media sudah banyak disebutkan ada sekitar 60 ribu yang gugur. Namun itu adalah angka kematian langsung, yang benar-benar gugur saat dibom. Tapi sebenarnya ada yang terdampak lalu meninggal beberapa hari setelahnya, seperti mereka yang luka-luka,” terangnya.
Selain menyoroti angka korban, Dina juga mengulas latar sejarah dan konteks panjang penderitaan rakyat Palestina, yang menurutnya menjadi latar belakang munculnya serangan Hamas pada 2023. Ia mengutip pernyataan Sekjen PBB Antonio Guterres yang menuai kritik tajam dari Israel dan media Barat.
“Serangan Hamas tidak terjadi di ruang hampa. Rakyat Palestina telah menjadi sasaran pendudukan yang menyesakkan selama 56 tahun… Harapan mereka akan solusi politik atas penderitaan mereka telah sirna,” katanya mengutip Guterres.
Dalam pemaparannya, Dina menguraikan akar konflik berkepanjangan tersebut dengan menelusuri sejarah berdirinya gerakan Zionisme modern. Ia menyebut bahwa pada 1st World Zionist Congress tahun 1897 di Basel, Swiss, Theodor Herzl mengumumkan bahwa ia telah meletakkan dasar bagi pembentukan negara Yahudi.
Herzl, seorang jurnalis asal Austria yang kemudian dikenal sebagai tokoh utama Zionisme, memimpin kongres yang dihadiri sekitar 200 peserta untuk menyusun agenda politik Zionis dan membentuk organisasi gerakannya. Salah satu fokus utama pertemuan tersebut adalah upaya membangun tempat tinggal bagi orang Yahudi di wilayah Palestina.
Dina menambahkan bahwa semangat kolonialisme tampak jelas dalam surat-surat Herzl, di mana ia menggunakan istilah colonize atau kolonisasi atas tanah Palestina. Setelah Perang Dunia I, Inggris turut berperan dalam memfasilitasi pendirian Israel dengan membuka arus migrasi besar-besaran orang Yahudi dari Eropa. Meskipun awalnya masyarakat Palestina menerima para pendatang tersebut, situasi berubah ketika penindasan dan perlawanan terhadap penjajahan mulai terjadi.
Pasca Perang Dunia II, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memutuskan pembagian wilayah: 45 persen untuk Palestina dan 55 persen untuk Israel. Namun, milisi-milisi Zionis melancarkan serangan yang menewaskan ribuan warga dan mengusir sekitar 750 ribu orang Palestina dari tanah mereka.
“Sehingga sangat wajar respon pertama dari Palestina adalah menolak,” tegas Dina.


0 Tanggapan
Empty Comments