Search
Menu
Mode Gelap

Mengapa Ibadah Tidak Mampu Cegah Korupsi?

pwmu.co -
Oleh Azrohal Hasan – Dosen di Universitas Muhammadiyah Surabaya

PWMU.CO – Indeks Persepsi Korupsi 2023 oleh Transparency International telah menempatkan Indonesia pada urutan ke-115 dari 180 negara. Pada saat yang sama, survei Pew Research Center pada 2022 mencatat bahwa 93% masyarakat Indonesia menempatkan agama sebagai hal yang “sangat penting” dalam kehidupan sehari-hari.  

Fakta paradoks ini tentu memantik pertanyaan kritis, “mengapa sebuah negeri yang tingkat religiusitas tinggi, tapi gagal dalam membangun budaya anti-korupsi?”

Cendekiawan muslim Nurcholish Madjid (1992), menegaskan tentang adanya perbedaan antara “kesalehan ritual” dan “kesalehan sosial”. Penegasan itu dalam konteks keindonesiaan cukuplah realistis. Faktanya, banyak pejabat yang rajin ibadah — mulai dari shalat hingga haji — tetapi tetap saja korupsi. Sebagian pelaku korupsi menjadikan ibadah haji dan umroh sebagai cara untuk mencuci harta hasil korupsi. Hal tersebut karena mereka menganggap agama hanya sebagai rangkaian ritual, bukan etika publik.

Sebagai contoh kasus, misalnya, salah satu mantan bupati (nonaktif) di Jawa Timur yang tertangkap KPK usai memimpin pengajian rutin. Juga seorang pejabat Kementerian Agama (Kemenag) yang juga rajin ceramah ternyata juga menggelapkan dana haji. Bahkan sebelumnya juga sudah tersandung kasus korupsi dana pengadaan Kitab Suci Al Qur’an. 

Pendek kata, deretan kasus ini seolah terus berulang dengan berbagai modus korupsi lain dan silih berganti menghiasi layar kaca dan media, baik nasional maupun internasional.

Sejarawan Azyumardi Azra dalam Islam Substantif (2006) menjelaskan adanya fenomena disonansi kognitif — yaitu ketika seseorang berupaya memisahkan keyakinan agama dengan tindakan koruptif. Agama hanya sebagai identitas sosial belaka, tapi bukan sebagai pengendali moralnya. Maka terjadilah ketidaksesuaian antara pemahaman agama dengan tindakan yang dilakukan. Korupsi menjadi salah satu fakta terjadinya pertentangan antar nilai-nilai tersebut. 

Tidak mengherankan jika kemudian ada orang yang mungkin sangat aktif dalam kegiatan keagamaan dan rajin dalam menjalan ritual-ritual keagamaan, namun dalam kesehariannya justru diam-diam melakukan tindakan koruptif — yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai kejujuran dan integritas yang diajarkan oleh agama. 

Maka, sebagai upaya untuk mengurangi ketegangan itu, mereka berusaha mencari pembenaran atas perilakunya. Misalnya, berpikiran bahwa tindakan korupsi yang dilakukan tidak lebih sebagai untuk hal yang lebih besar kebaikannya. Atau memandang bahwa korupsi bukanlah kejahatan atau bernilai dosa, karena banyak orang yang melakukannya. Karena itu, mereka pun merasa tidak ada yang aneh dengan tetap mencitrakan diri sebagai pribadi yang religius — dengan konsisten memakai simbol-simbol keagamaan — meskipun dalam tindakannya selalu bertentangan dengan nilai-nilai agama.

disonansi kognitif 

Fenomena disonansi kognitif ini menyadarkan kita akan arti pentingnya integrasi antara pemahaman agama dengan perilaku sehari-hari. Tanpa integrasi tersebut, religiusitas hanya sekedar identitas simbolik. Pendidikan agama menjadi sangat perlu menekankan kembali pada pembentukan karakter dan internalisasi nilai-nilai moral. Harapannya, agar seseorang itu dapat menghindar dari perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama.

Riset ICW pada 2023 mencatat ada 68% koruptor yang tertangkap KPK dan mengaku tetap menjalankan ibadah rutin. Fakta ini seolah memberikan tamparan pada organisasi kemasyarakatan Islam, seperti Muhammadiyah, yang mungkin lebih mengedepankan pendidikan agama hanya fokus pada hafalan. Sedangkan pada pemaknaan terhadap ajaran agama itu sendiri tidak mengorientasikannya pada pembangunan karakter peserta didik. Fakta empiris menunjukkan masih banyaknya materi pelajaran agama — baik di sekolah maupun pondok pesantren — yang hanya mengutamakan hafalan. 

Iklan Landscape UM SURABAYA

Ke depan, sudah waktunya untuk dilakukan evaluasi terhadap kualitas guru agar bisa lebih baik. Peranan guru merupakan garda terdepan dalam membangun moral generasi penerus bangsa. Selain itu, elit ormas Islam yang kebetulan berada dalam jajaran birokrasi seyogyanya tidak menjadi pendiam. Tapi harus mau dan mampu menjadi motor pada gerakan anti korupsi. 

Ahmad Syafii Maarif menggagas “Moral Politik” yang menekankan pada peran agama sebagai penjaga moral publik, bukan sekadar legitimasi kekuasaan. Tokoh agama harus menjadi benteng terakhir dalam upaya preventif dan persuasif dalam pencegahan agar anak bangsa terhindar dari tindak pidana korupsi.

Penerapan penanganan korupsi harus sejak dini melalui pendidikan agama. Seperti memberi penguatan pada aspek tauhid pada anak tingkat dini. Bahkan mungkin sangat perlu adanya penerapan kurikulum agama yang reformatif dengan porsi 50% etika sosial. 

Integrasi nilai agama

Selain itu juga penting adanya lembaga anti korupsi dari unsur ormas agama sebagai kontrol. Negara Singapura, misalnya, telah mencontohkan bagaimana nilai-nilai Konfusianisme terintegrasi dengan sistem hukum anti-korupsi yang ketat.  Maka, sudah saatnya pula Indonesia lebih tegas dalam penegakan hukum tanpa pandang bulu dengan menjadi agama secara integratif dengan sistem meritokrasi. 

Sanksi sosial bisa menjadi salah satu alternatif untuk dikenakan pada pelaku korupsi di Indonesia, selain juga sanksi pidana. 

Jangan menjadikan agama hanya sebagai identitas sosial, tapi tidak sebagai kompas moral. Ingat, korupsi tidak akan hilang hanya dengan banyak pengajian atau pembangunan masjid. Seperti dikatakan filsuf Islam Al-Ghazali “Ilmu tanpa amal adalah gila, amal tanpa ilmu adalah sia-sia.”

Editor Notonegoro

Iklan pmb sbda 2025 26

0 Tanggapan

Empty Comments