
PWMU.CO – Peristiwa bunuh diri yang terjadi di Masjid Roudhotul Jannah, Yosowilangun, Manyar, Gresik pada Minggu (27/7/2025), merupakan ‘alarm sosial’ bahwa ada persoalan serius dalam tatanan kehidupan masyarakat kita. Berbagai media massa, baik daring maupun cetak, berkali-kali memberitakan terjadinya tindak bunuh diri yang terjadi.
Di Jawa Timur, data dari jatim.bps.go.id, melaporkan jumlah kasus bunuh diri mencapai 549 orang. Pada tingkat nasional, tren bunuh diri menunjukkan peningkatan signifikan. Jika pada tahun 2021 terjadi 640 kasus bunuh diri dan tahun 2022 menurun menjadi 629, tapi pada 2023 melonjak menjadi 902 kasus.
Bahkan secara global, lebih dari 700.000 orang meninggal akibat bunuh diri setiap tahun. Survei World Health Organization (WHO) pada 2018 mengungkapkan bahwa setiap 40 detik, satu orang bunuh diri di seluruh dunia. Data tahun 2019 bahkan menunjukkan bahwa sekitar 800.000 orang melakukan bunuh diri setiap tahunnya, dengan kelompok usia muda mencatat angka tertinggi.
Apa yang sebenarnya menjadi akar dari maraknya kasus bunuh diri—terutama di Indonesia? Di balik setiap peristiwa tragis ini, sering kali tersembunyi tekanan sosial yang menumpuk, konflik dalam keluarga, tekanan akademik, hingga krisis spiritual.
Inilah mengapa pendidikan, baik dari sisi akademik maupun keagamaan, tak bisa dipandang remeh. Keduanya merupakan pilar penting dalam membentuk ketahanan mental, emosional, dan sosial masyarakat.
Faktor penyebab bunuh diri
Ada sejumlah faktor yang menjadi penyebab terjadinya tindak bunuh diri. Pertama, faktor gangguan kesehatan mental — seperti depresi, kecemasan, dan gangguan bipolar — yang tidak mendapatkan diagnosis atau penanganan yang tepat. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang kesehatan mental, seringkali penderita gangguan kesehatan mental justru disalahpahami atau bahkan dikucilkan. Alih-alih membaik, kondisi korban justru semakin memburuk.
Kedua, faktor tekanan ekonomi menjadi pemicu signifikan yang tak bisa diabaikan. Kemiskinan, pengangguran, tumpukan hutang, hingga beban finansial keluarga menciptakan beban yang luar biasa berat. Dalam masyarakat yang lebih mengutamakan pencapaian material, mereka yang gagal memenuhi standar itu sering kali merasa tersisih dan kehilangan harga diri.
Ketiga, faktor tekanan akademik yang membebani kalangan remaja pelajar dan mahasiswa. Di tengah persaingan yang kian ketat, mereka hidup dalam bayang-bayang tuntutan nilai tinggi, ekspektasi orang tua yang besar, serta perbandingan tanpa henti di media sosial. Kombinasi ini menciptakan tekanan psikologis yang tak jarang luput dari perhatian.
Keempat, faktor kehidupan modern yang serba cepat seringkali membuat orang terjebak dalam rutinitas tanpa jeda, hingga lupa mencari makna. Di tengah hiruk-pikuk pencapaian, banyak yang kehilangan arah dan tujuan hidup, terutama secara spiritual. Ketika makna hidup memudar, rasa hampa dan putus asa pun mudah menyelinap.
Kelima, faktor keluarga yang seharusnya menjadi pelindung utama justru kerap menjadi sumber tekanan, atau bahkan absen secara emosional dalam keluarga. Banyak anak tumbuh tanpa perhatian, kasih sayang, dan ruang komunikasi yang sehat—hingga mereka merasa asing di rumahnya sendiri.


0 Tanggapan
Empty Comments