Sebenarnya kita sadar, tak baik menggunjing dapur orang. “Ora ilok” kata orang Jawa. Maksudnya, “tidak baik,” “tidak pantas,” atau “dilarang.” Menurut bahasa Sunda, ”Pamali”. Keduanya berarti larangan atau pantangan yang didasarkan pada adat dan kebiasaan. Untuk menjaga sopan santun, perilaku, dan disiplin.
Namun yang hendak kita gunjingkan kali ini mungkin bisa dikecualikan. Memang masih soal dapur orang. Namun ini masalah 41 dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dikelola anak berumur 20 tahun. Dan, ia putri wakil ketua DPRD Sulsel.
Jadi menarik mengingat adanya aturan Badan Gizi Nasional (BGN) yang membatasi kepemilikan MBG. Program MBG adalah program sosial yang didanai publik, untuk kepentingan gizi anak-anak rentan.
Agak susah memisahkan hubungan antara status orang tua sebagai pejabat publik (Wakil Ketua DPRD) dan kemudahan (baca: kemampuan) anak 20 tahun mengakumulasi begitu banyak unit usaha dalam program pemerintah.
Etika Publik
Sejumlah pertanyaan segera menyeruak: Apakah ada konflik kepentingan yang tidak terhindarkan atau tersembunyi, meski BGN mengklaim prosesnya berbasis portal dan profesional?
Apakah status pejabat telah memfasilitasi akses modal, informasi, atau koneksi yang tidak dimiliki oleh pengusaha atau yayasan lain?
Secara etika publik, meski secara administrasi mungkin dilegalkan dengan yayasan berbeda, apakah tindakan ini mencerminkan semangat keadilan dan pemerataan kesempatan dalam program sosial?
Mengapa batasan 10 dapur per yayasan di provinsi yang sama (seperti diakui oleh BGN) bisa “dikelabui” hanya dengan membuat yayasan berbeda. Apakah BGN lalai dalam mengawasi pemilik manfaat akhir?
Dibagi Adil
Program MBG melibatkan anggaran negara dalam jumlah besar. Sudah semestinya kesempatan untuk menjadi mitra pengelola dapur dibagi secara adil.
Dari sini orang segera melihat potensi adanya monopoli yang menguasai sektor penting dalam program sosial. Dampaknya, menutup kesempatan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) lokal atau yayasan lain yang mungkin lebih membutuhkan atau lebih dekat dengan target penerima manfaat.
Bagaimana nasib UMKM atau pengusaha katering lokal lain yang ingin berpartisipasi dalam program MBG? Mengapa begitu banyak dapur terkonsentrasi pada satu kelompok afiliasi di satu wilayah provinsi?
Apakah konsentrasi kepemilikan sebanyak 41 dapur menjamin efisiensi dan kualitas. Atau justru menimbulkan risiko terpusat jika terjadi masalah (misalnya, keracunan makanan)?
BGN selaku regulator memiliki aturan (maksimal 10 dapur per yayasan di provinsi yang sama). Di sini terlihat adanya kelemahan regulasi dan pengawasan. Orang melihat bagaimana celah dalam aturan (membuat yayasan berbeda-beda) telah dimanfaatkan.
Sedihnya, BGN seperti cenderung “mengapresiasi” sebagai investasi. Bukan melihatnya sebagai potensi masalah regulasi.
Tentu orang berharap proses verifikasi dan seleksi mitra SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) bisa benar-benar profesional tanpa mempertimbangkan latar belakang individu pengaju.
Problematik Etika
Sampai di sini pergunjingan soal dapur “orang lan” ini sudah cukup. Namun ada baiknya kita tahu informasi mengenai besaran anggaran yang dikelola oleh setiap dapur SPPG atau dapur MBG.
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) menyatakan bahwa satu SPPG atau dapur MBG akan mendapatkan anggaran rata-rata sekitar Rp 10 miliar per tahun. Dana ini dikirimkan langsung oleh BGN melalui virtual account ke masing-masing SPPG.
Peruntukan anggaran Rp 10 miliar per tahun dirinci: 85 persen dialokasikan untuk belanja bahan baku makanan. 10,5 persen untuk membayar pekerja dan operasional dapur.
Besaran anggaran yang ditetapkan untuk setiap porsi makanan bergizi gratis adalah: Rata-rata Umum: Rp 10.000 per porsi (harga ditetapkan oleh pemerintah, meskipun ada target awal Rp 15.000). Untuk balita, PAUD/TK/RA, dan SD/MI kelas 1-3: Maksimal Rp 13.000 per porsi.
Selain anggaran operasional, BGN juga memberikan insentif harian kepada dapur MBG yang memenuhi standar operasional, sebagai pengembalian investasi dan jaminan ketersediaan layanan. Besaran insentif: Rp 6.000.000 per hari per dapur SPPG.
Insentif ini diberikan selama dua tahun pertama program untuk menjamin kesiapsiagaan layanan, mengingat mitra harus mengeluarkan modal awal untuk mendirikan dapur. Kabarnya rata-rata investasi mandiri mencapai Rp 2 miliar – Rp4,5 miliar per unit.
Beberapa laporan juga menyebutkan bahwa satu SPPG di Jawa dapat mengelola uang Rp900 juta per bulan, dan di wilayah seperti Papua bisa mencapai Rp4 miliar per bulan. Ini menunjukkan adanya perbedaan signifikan berdasarkan wilayah. Angka ini, jika dikalikan 12, mendekati estimasi tahunan Rp 10 miliar.
Jika satu dapur MBG mengelola anggaran rata-rata Rp10 Miliar per tahun, maka hitung sendiri seberapa besar untuk 41 dapur.
Baiklah kita sudahi. Jadi, konsentrasi pengelolaan dana publik sebesar Rp410 Miliar per tahun di bawah kendali satu individu/grup afiliasi melalui banyak yayasan, sangat problematis dari sisi etika, pemerataan ekonomi, dan potensi konflik kepentingan. (*)


0 Tanggapan
Empty Comments