Search
Menu
Mode Gelap

Mengungkap Sejarah Masjid An-Nur dan Gerakan Sosial Muhammadiyah Sendangagung

Mengungkap Sejarah Masjid An-Nur dan Gerakan Sosial Muhammadiyah Sendangagung
Potret Masjid An-Nur tahun 1987, dokumen Sendangagung Tempo Doeloe. Foto: Subanjar Rabis/PWMU.CO
pwmu.co -

Sejarah berdirinya Masjid An-Nur, masjid yang menjadi pusat dakwah warga Muhammadiyah di Desa Sendangagung, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, dituturkan langsung oleh Ma’shum Ahmad (85). Sesepuh Muhammadiyah sekaligus pelaku sejarah itu menyampaikan kisah tersebut di kediamannya, Jalan Jublang Duku RT 06 RW 02 Sendangagung, Selasa (15/12/2025).

Ma’shum Ahmad menuturkan bahwa setelah pembangunan masjid di Sendangagung selesai dan dinilai layak digunakan untuk salat serta kegiatan ibadah, Mudin Bajuri selaku Ketua Takmir masjid berinisiatif meminta pertimbangan nama masjid. Ia mendatangi rumah Kiai Haji Abdur Rahman Syamsuri Paciran untuk memohon saran.

KH Abdur Rahman Syamsuri, yang akrab disapa Yiman, memberikan dua pilihan nama, yaitu An-Nur dan Darussalam. Yiman berpesan agar dua nama tersebut disampaikan kepada KH Sunan Karwalip (Kartiun Walijah Paciran) untuk dipilih salah satunya.

Dengan pertimbangan historis bahwa Desa Sendangagung memiliki tokoh sunan bernama Raden Nur Rohmat, KH Sunan Karwalip akhirnya menetapkan An-Nur sebagai nama masjid. Penetapan nama Masjid An-Nur Sendangagung tersebut dilakukan pada tahun 1968.

Susunan Pengurus Masjid An-Nur Sendangagung

Susunan pengurus Masjid An-Nur Sendangagung ditetapkan pada Selasa, 2 April 1968 bertepatan dengan 4 Muharam 1388 H, sebagai berikut:

Ketua I: Badjuri
Ketua II: H. Anwar
Sekretaris I: H. Untung (ayah kandung Kumalawati dan Anshor)
Sekretaris II: Syukran
Bendahara I: Riada
Bendahara II: Muhadjir
Pelindung: Kepala Desa Sendangagung, H. M. Toha
Pembantu: H. Abu Chair, Rifa’i Ahmad, Dirdjam Mustaji, dan H. Hasyim (ayah kandung Drs. KH Abdul Wahid Basori)

Awal Mula Tradisi Amplop Ramadan

Ma’shum Ahmad juga mengungkapkan awal mula tradisi penggalangan dana melalui amplop Ramadan yang hingga kini masih berlangsung. Tradisi tersebut bermula saat pembangunan Masjid An-Nur pada bulan Ramadan.

Iklan Landscape UM SURABAYA

Gagasan itu muncul dari Syukran (ayah Drs. KH Agus Salim, M.Pd.I.) dan Ma’shum Ahmad ketika duduk bersama di serambi masjid usai salat tarawih. Mereka membahas kebutuhan dana tambahan untuk menunjang pembangunan masjid.

Syukran mengusulkan agar dana pembangunan dihimpun dari para dermawan. Ma’shum Ahmad kemudian menambahkan ide untuk mendatangi warga yang tergolong mampu, baik dari Desa Sendangagung maupun Sendangduwur, tanpa membedakan latar organisasi, baik Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama.

Pada malam berikutnya, setelah salat tarawih, Syukran dan Ma’shum Ahmad berkeliling dari rumah ke rumah dengan berbekal secarik kertas dan bolpoin. Syukran bertugas menerima dan menyimpan dana, sedangkan Ma’shum Ahmad mencatat setiap sumbangan yang masuk.

Kegiatan tersebut kemudian menjadi agenda rutin tahunan Takmir Masjid An-Nur setiap Ramadan. Setelah beberapa waktu berjalan, Syukran mengundurkan diri dan Ma’shum Ahmad mengajak Dirdjam Mustaji (ayah Gondo Waloyo) untuk mendampinginya.

Seiring berjalannya waktu, Ma’shum Ahmad kembali menggandeng Abdul Ghafar untuk melanjutkan tugas tersebut. Melihat semakin banyaknya partisipasi masyarakat, Ma’shum Ahmad berinisiatif menertibkan administrasi penggalangan dana yang sebelumnya hanya disampaikan secara lisan.

Ia kemudian menyusun surat ajakan berdonasi secara tertulis dan meminta bantuan KH Ridwan Syarqowi atau Yi Wan Paciran untuk mengetik naskah tersebut, mengingat saat itu di Sendangagung belum tersedia mesin ketik.

Setelah berjalan tertib selama beberapa Ramadan, Ma’shum Ahmad mengundurkan diri dan estafet penggalangan dana dilanjutkan oleh Abdul Ghafar. Tradisi amplop Ramadan ini pun terus berlanjut hingga kini sebagai bagian dari sejarah dan kekuatan gotong royong warga Masjid An-Nur Sendangagung. (*)

Iklan pmb sbda 2025 26

0 Tanggapan

Empty Comments