Search
Menu
Mode Gelap

Menyelamatkan Mata Rantai Dakwah di Tengah Ketimpangan AUM 

Menyelamatkan Mata Rantai Dakwah di Tengah Ketimpangan AUM 
Ilustrasi: OpenAI
Oleh : Arsy Kembar Ghany Mahasiswa STIT Muhammadiyah Bojonegoro
pwmu.co -

Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) sejak awal dirancang bukan sekadar sebagai lembaga layanan sosial, pendidikan, dan kesehatan, melainkan sebagai instrumen dakwah dan sarana strategis perkaderan.

Sekolah, perguruan tinggi, dan rumah sakit Muhammadiyah dibangun dari amanah wakaf, infak, dan pengorbanan warga Persyarikatan dengan harapan manfaatnya terus mengalir sebagai sedekah jariyah.

Namun dalam praktik, Persyarikatan hari ini dihadapkan pada kenyataan yang tidak bisa diabaikan.

Di satu sisi, sebagian AUM—khususnya rumah sakit dan beberapa perguruan tinggi—tumbuh mapan dan memiliki kekuatan finansial yang besar.

Di sisi lain, tidak sedikit sekolah Muhammadiyah di tingkat ranting dan cabang berada dalam kondisi memprihatinkan, kekurangan peserta didik, bahkan terancam tutup. Beberapa perguruan tinggi juga stagnan dan sulit bersaing.

Ketimpangan ini menuntut pertanyaan mendasar: di mana tanggung jawab kepemimpinan Persyarikatan, khususnya Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM), dan bagaimana sinergi antaramal usaha seharusnya dijalankan?

AUM Bukan Sekadar Urusan Teknis

Dalam struktur Muhammadiyah, PDM menempati posisi strategis karena berada paling dekat dengan realitas AUM di daerah.

Karena itu, keberlangsungan AUM tidak semestinya dipahami sebagai urusan teknis pengelola semata.

AUM adalah tanggung jawab struktural PDM, sebab di tingkat inilah pemetaan masalah, pengambilan kebijakan, dan koordinasi lintas cabang serta ranting dapat dilakukan secara efektif.

Keberhasilan PDM tidak cukup diukur dari tertibnya struktur, lancarnya rapat, atau padatnya agenda organisasi.

Keberhasilan PDM juga patut dilihat dari hidup atau matinya AUM di wilayahnya, khususnya AUM pendidikan yang menjadi fondasi perkaderan.

Jika sekolah-sekolah Muhammadiyah tutup satu per satu tanpa pendampingan yang memadai, atau perguruan tinggi stagnan tanpa arah pembinaan yang jelas, maka persoalan tersebut tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada pengelola teknis. Ia merupakan persoalan kepemimpinan struktural yang memerlukan evaluasi serius.

Sering muncul kekhawatiran bahwa jika PDM turun tangan menyelamatkan satu AUM yang kondisinya memprihatinkan, AUM lain akan merasa diabaikan. Kekhawatiran ini wajar, tetapi tidak boleh menjadi alasan untuk diam.

Masalah utamanya bukan pada tindakan pembinaan, melainkan pada ketiadaan mekanisme pembinaan yang jelas, objektif, dan transparan.

Tanpa kriteria dan tahapan yang terbuka, setiap intervensi akan mudah dipersepsikan sebagai keberpihakan personal atau sektoral.

Justru di sinilah PDM dituntut berani menetapkan prioritas. Keadilan dalam organisasi tidak selalu berarti memperlakukan semua

AUM secara sama, melainkan memberikan perhatian sesuai tingkat kebutuhan dan kemaslahatan.

AUM Besar dan Tanggung Jawab Sinergi

Tidak dapat dipungkiri bahwa rumah sakit dan kampus Muhammadiyah yang mapan memiliki posisi strategis dalam ekosistem Persyarikatan.

Namun perlu diingat, AUM besar tidak lahir dari ruang hampa. Banyak di antaranya dibangun dengan dukungan ranting dan cabang—melalui wakaf tanah, infak warga, dan pengorbanan kolektif.

Iklan Landscape UM SURABAYA

Karena itu, AUM yang telah mapan memiliki tanggung jawab moral dan organisatoris untuk ikut menopang AUM lain yang lebih lemah.

Sinergi antaramal usaha seharusnya tidak berhenti pada fase pendirian, tetapi berlanjut sebagai hubungan timbal balik yang berkesinambungan.

Peran PDM sangat penting untuk memastikan bahwa sinergi ini berjalan dalam kerangka kebijakan Persyarikatan, bukan bergantung pada itikad baik sektoral semata.

Dalam praktik nyata, sebagian AUM—khususnya rumah sakit dan kampus besar—memiliki laba yang signifikan. Dalam kondisi tertentu, laba tersebut bahkan berpotensi menopang AUM lain yang berada dalam kondisi kritis.

Dukungan finansial antaramal usaha, sepanjang dilakukan secara terencana, transparan, dan akuntabel, merupakan implementasi nyata prinsip ta’awun dalam bermuhammadiyah. Namun ta’awun tidak boleh dipersempit pada soal dana.

Penguatan AUM juga harus dilakukan melalui pelatihan manajerial, pembinaan sumber daya manusia, pendampingan tata kelola, serta alih pengetahuan dari AUM yang telah mapan.

Tanpa itu, bantuan finansial hanya akan menjadi penyangga sementara, bukan solusi berkelanjutan.

Bantuan dan Tanggung Jawab Perkaderan

Dukungan dari PDM dan AUM besar bukanlah bantuan tanpa konsekuensi. AUM di tingkat ranting dan cabang yang menerima pembinaan memiliki kewajiban untuk menjaga dan mengelola AUM tersebut secara sungguh-sungguh dan profesional.

Sekolah-sekolah Muhammadiyah yang memprihatinkan harus menjadikan momentum pembinaan sebagai titik balik, terutama dengan memperkuat fungsi perkaderan.

Sekolah bukan hanya tempat belajar formal, tetapi ruang strategis untuk menyiapkan kader Persyarikatan sejak dini.

Dari sekolah-sekolah inilah diharapkan lahir generasi yang kelak dapat melanjutkan peran dakwah di kampus, rumah sakit, dan AUM lainnya. Dengan demikian, terbentuk rantai kaderisasi yang berkelanjutan dan saling terhubung.

Fenomena banyaknya anak warga Muhammadiyah yang bersekolah atau kuliah di lembaga non-Muhammadiyah perlu disikapi secara jujur.

Dalam banyak kasus, pilihan tersebut didasarkan pada pertimbangan kualitas dan eksistensi, bukan semata persoalan ideologis.

Fakta ini merupakan alarm bagi AUM pendidikan Muhammadiyah. Ketika lembaga pendidikan kurang dipercaya oleh warganya sendiri, maka yang perlu dibenahi bukan loyalitas warga, melainkan kualitas dan keberlanjutan AUM itu sendiri.

Keberlangsungan Amal Usaha Muhammadiyah adalah amanah Persyarikatan yang menuntut keberanian kepemimpinan dan kerja kolektif.

Keberhasilan organisasi tidak cukup diukur dari stabilitas struktur dan rutinitas program, tetapi dari hidupnya AUM, kuatnya sinergi antaramal usaha, dan berjalannya sistem perkaderan secara nyata.

Pimpinan Daerah Muhammadiyah memegang peran strategis dalam menjaga keseimbangan ini. Tanpa keberanian untuk bersinergi dan menghidupkan ta’awun secara konkret, amanah wakaf dan infaq umat berisiko kehilangan daya hidupnya.

Tulisan ini bukan tudingan, melainkan ajakan untuk berbenah. Sebab membiarkan AUM melemah sama artinya membiarkan mata rantai dakwah dan perkaderan terputus perlahan. (*)

Iklan pmb sbda 2025 26

0 Tanggapan

Empty Comments