Search
Menu
Mode Gelap

One Piece Flag: Cinta NKRI atau Provokasi

One Piece Flag: Cinta NKRI atau Provokasi
dok. pribadi
Oleh : Abd Kholid Achmad Kabag Pusat Studi Sosial Humaniora Universitas Muhammadiyah Gresik
pwmu.co -

Bulan Agustus hampir berakhir. Sebulan penuh Bendera Merah Putih berkibar mendominasi langit Indonesia, menarik perhatian warga bangsa. Lomba dan perayaan lainnya menyebar di setiap sudut negeri.

Hanya, menjelang perayaan HUT ke-80 Republik Indonesia ini, ada fenomena baru yang mengejutkan publik, yaitu: pengibaran bendera One Piece di sejumlah tempat.

Bendera bajak laut dari anime Jepang itu tiba-tiba menjadi simbol protes. Tak terkecuali kalangan sopir truk dan generasi muda.

Masyarakat pun terbelah reaksi dan pendapatnya. Ada yang menyebut sebagai bentuk penghinaan terhadap Merah Putih. Namun ada pula yang memandangnya sebagai ekspresi cinta NKRI melalui cara yang kreatif dan kritis.

Fenomena ini berawal dari resahnya sopir truk adanya kebijakan ODOL (Over Dimension Over Load) yang menurutnya merugikan. Para sopir ini pun menjadikan bendera One Piece — dengan lambang tengkorak dan topi jerami—sebagai simbol perlawanan.

Dari jalan raya, bendera One Piece menjelma menjadi bagian dari ekspresi publik yang lebih luas. Simbol protes itu teraktualisasi melalui mural, pameran seni, hingga media sosial.

Mengutip dari Reuters.com (8/8/2025), seniman dan mahasiswa ikut mengibarkan bendera itu sebagai simbol kritik terhadap pemerintah yang dianggap kurang mendengar aspirasi rakyat.

Fenomena ini tidak lepas dari adanya perubahan pola komunikasi politik di era digital. Ketika simbol-simbol budaya populer lebih mudah menjangkau emosi masyarakat daripada retorika formal.

Respon elite politik ternyata beragam. Willy Aditya, Ketua Komisi XIII DPR berpendapat bahwa bendera One Piece tidak bisa dipandang langsung sebagai penghinaan simbol negara (Bisnis.com, 4/8/2025).

Selama bendera One Piece tidak berkibar lebih tinggi, menurut Willy Aditya  tidak ada pelanggaran hukum.

Pernyataan ini menarik, sebab menandakan adanya pengakuan bahwa rakyat membutuhkan sarana penyampaian kritik. Willy juga menunjukkan bahwa nasionalisme tidak hanya soal formalitas, tetapi juga tentang ruang kebebasan berekspresi yang harus dijaga negara.

Dengan kata lain, membaca bendera One Piece hanya sebagai provokasi jelas menyederhanakan persoalan.

Fenomena serupa sebenarnya marak terjadi di dunia. Di Thailand, gerakan pro-demokrasi sejak 2014 menggunakan simbol salaman tiga jari dari film The Hunger Games sebagai perlawanan terhadap rezim militer.

Di Amerika Serikat, memakai topeng Guy Fawkes dari film V for Vendetta dalam gerakan Occupy Wall Street dan aksi protes anti-korupsi di berbagai negara.

Bahkan aktivis perempuan di AS sering memakai kostum merah ala Handmaid’s Tale sebagai protes terhadap kebijakan pembatasan hak reproduksi.

Iklan Landscape UM SURABAYA

Semua contoh ini memperlihatkan bahwa budaya populer dapat dimaknai ulang oleh rakyat untuk menyuarakan keresahan politik.

Perspektif sosiologis

Dalam tinjauan sosiologi, fenomena One Piece bisa dijelaskan melalui teori encoding/decoding dari Stuart Hall (1932–2014). Hall berpendapat bahwa simbol tidak pernah memiliki makna tunggal; makna selalu bernegosiasi antara pengirim dan penerima pesan.

Pencipta One Piece, Eiichiro Oda, mungkin hanya bermaksud menghadirkan kisah bajak laut penuh petualangan. Namun, dalam konteks Indonesia, simbol tengkorak dengan topi jerami dibaca ulang menjadi lambang perlawanan rakyat kecil terhadap kekuasaan yang dianggap menindas.

Inilah bukti bahwa budaya populer dapat menjadi arena politik, karena masyarakat memiliki kemampuan untuk menafsirkan simbol sesuai kebutuhan sosialnya.

Tidak sederhana

Tidak tepat menilai One Piece Flag secara sederhana melalui pertanyaan “Cinta NKRI atau Provokasi”. Menggunakan perspektif legal-formal, mungkin tampak sebagai hal yang bersifat provokatif. Namun jika menggunakan perspektif komunikasi politik, justru mengekspresikan tanda cinta NKRI dalam wajah baru.

Cinta bukan hanya dengan mengibarkan bendera Merah Putih, melainkan juga berani mengingatkan pemerintah ketika keadilan tidak ditegakkan.

Fenomena global memberi inspirasi: ketika kesulitan menyampaikan aspirasi melalui jalur formal, menciptakan simbol-simbol baru yang lebih mudah dimengerti oleh publik luas mungkin menjadi penting.

Simbol-simbol itu mungkin terasa asing atau provokatif bagi penguasa, tetapi sebenarnya dapat sebagai jembatan komunikasi antara rakyat dan negara.

Karena itu, alih-alih melihat bendera One Piece sebagai ancaman, pemerintah seharusnya membaca cara kreatif masyarakat dalam menyampaikan pesan untuk didengar.

Karena itu, demam one piece flag ini bisa menjadi momentum refleksi. Apakah pemerintah berani membuka ruang dialog dengan rakyat yang menggunakan simbol populer?

Apakah kita sebagai bangsa berani menerima bahwa nasionalisme bisa tampil dalam bentuk yang berbeda? Bukan hanya seragam dan formal?

Iklan pmb sbda 2025 26

0 Tanggapan

Empty Comments