Ini kisah seorang ayah. Seorang yang mapan dan berkecukupan. Namun, di balik segala kemewahan dan kenyamanan yang dimilikinya, hatinya menyimpan kerinduan yang tak pernah tuntas.
Kerinduan akan kebersamaan sederhana yang dulu pernah ia rasakan bersama keluarganya.
Suatu hari, di sudut rumah, dia duduk menunduk. Matanya berair. Menatap lantai yang dingin. Seolah mencari jejak langkah kecil yang dulu pernah berlarian di sana.
Napasnya berat. Ingatan masa lalu datang bertubi-tubi. Tentang tawa anak-anaknya yang kini hanya tersisa di dalam kenangan. Hatinya seperti diremuk perlahan oleh rindu yang tak bisa disampaikan.
Dia tak pernah mengira bakal merasakan kesedihan sedalam ini di usia senjanya. Dulu dia kira, masa tua adalah waktu untuk menuai ketenangan. Karena semua kerja keras dan perjuangan di masa muda akan berbuah manis dalam bentuk kebahagiaan bersama keluarga.
Namun yang datang justru sebaliknya. Rumah yang lengang. Kursi makan yang kosong, dan jarak yang kian melebar di antara dirinya dan anak-anak yang dulu selalu memanggil namanya.
Di tangannya tergenggam sebuah foto lama. Gambar anak-anaknya yang masih kecil, tersenyum polos, memandang ke arah kamera seolah meminta dunia untuk tak berubah.
Dulu, ia merasa hidupnya terlalu sibuk untuk mendengar tawa itu. Pagi hari, dia terburu-buru pergi. Malam hari, ia pulang dengan wajah letih.
Ketika seorang anaknya pernah mengetuk pintu kamarnya sambil membawa gambar coretan tangan mungilnya, dia mengangkat wajah hanya sebentar lalu berkata, “Ayah lagi kerja. Jangan ganggu, Ayah.”
Anak itu pun menunduk. Melangkah pergi. Sementara ayahnya kembali menatap layar dan tumpukan pekerjaannya.
Hari berganti tahun. Anak-anak yang dulu merenggek meminta waktu dan pelukan, kini tumbuh dewasa. Rumah itu kini lengang.
Anak-anaknya punya dunia mereka sendiri. Dan dia kini sering merasa seperti orang asing di dalam hati mereka. Yang tersisa hanya kenangan tentang suara-suara kecil yang dulu diabaikannya.
Di senja hidupnya, sang ayah menyesal. Betapa mahal harga dari sebuah kebersamaan yang dia tukar dengan kesibukan.
Betapa rapuh waktu. Yang dulu terasa panjang, ternyata bisa habis tanpa dia sadari. Dan ketika rindu mengetuk, dia hanya bisa meneteskan air mata.
Berharap suatu saat anak-anaknya memberi kesempatan untuk menebus yang tak sempat dia beri: perhatian, kelembutan, dan kasih sayang tanpa tergesa.
Kini dia mengerti, tak ada pekerjaan, rapat, atau pencapaian apa pun yang sepadan dengan senyum dan tawa seorang anak. Sebab waktu yang hilang tak pernah kembali.
***
Di masa Rasulullah saw, kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya menjadi teladan bagi umat. Rasulullah sendiri dikenal sebagai sosok yang sangat lembut kepada putra dan putrinya.
Dalam sebuah riwayat, beliau pernah mencium cucunya, Hasan bin Ali, di hadapan seorang Arab Badui. Orang itu heran dan berkata, “Aku memiliki sepuluh anak, namun tidak pernah mencium seorang pun dari mereka.”
Rasulullah saw menatapnya dan bersabda, “Barang siapa yang tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kasih sayang ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an: “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. At-Tahrim: 6).
Ayat tersebut mengingatkan bahwa tanggung jawab seorang ayah bukan hanya memberi nafkah, tetapi juga membimbing dan melindungi anaknya. Baik secara fisik maupun rohani.
Dalam kehidupan Nabi Muhammad saw, meskipun sebagai pemimpin umat dan sibuk dengan urusan dakwah, beliau tetap meluangkan waktu untuk keluarganya.
Aisyah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw sering bermain bersama anak-anak, menggendong mereka, bahkan membiarkan mereka menaiki punggung beliau saat salat.
Inilah bukti bahwa perhatian dan kebersamaan tidak bisa digantikan oleh kesibukan apa pun.
Rasulullah saw juga mengajarkan bahwa doa seorang ayah untuk anaknya adalah doa yang mustajab.
Dalam sebuah hadis disebutkan: “Tiga doa yang tidak tertolak: doa orang tua untuk anaknya, doa orang yang berpuasa, dan doa orang yang terzalimi” (HR. Tirmidzi).
Artinya, meski anak-anak telah dewasa dan punya kehidupan sendiri, kasih sayang seorang ayah tetap hidup dalam bentuk doa yang tulus.
Banyak sahabat yang meneladani kelembutan ini. Umar bin Khattab ra, yang dikenal tegas, juga menunjukkan kasih sayang kepada anaknya.
Beliau pernah menangis ketika melihat putranya sakit. Mengingatkan bahwa seorang ayah boleh saja kuat di hadapan dunia, tetapi hatinya tetap rapuh jika menyangkut anaknya.
***
Kisah-kisah dari zaman Nabi saw ini menjadi cermin bagi setiap ayah di masa kini. Kesibukan, jabatan, atau pencapaian tidak boleh membuat kita lalai dari hak anak-anak akan kasih sayang, perhatian, dan kebersamaan.
Sebab sebagaimana Rasulullah saw teladankan, waktu yang kita berikan untuk keluarga adalah investasi yang akan dikenang. Bahkan setelah kita tiada.
Seorang ayah mungkin merasa telah memenuhi tanggung jawabnya ketika ia berhasil menyediakan kebutuhan materi bagi anak-anaknya.
Namun sesungguhnya, anak-anak juga haus akan sentuhan hangat, tatapan penuh perhatian, dan telinga yang mau mendengar cerita sederhana mereka.
Hal-hal kecil inilah yang akan menetap di hati mereka jauh lebih lama daripada hadiah termahal sekalipun.
Waktu terus berjalan. Masa kanak-kanak tidak akan terulang. Sebelum kesempatan itu pergi, setiap ayah perlu menyadari bahwa pelukan hari ini, senyuman saat makan bersama, atau obrolan ringan sebelum tidur adalah kenangan yang akan menjadi penopang hati anak-anaknya di masa depan.
Itulah warisan sejati yang tak lekang dimakan usia. (*)


0 Tanggapan
Empty Comments