Di tengah semarak pelaksanaan Muktamar Muhammadiyah, timbul pertanyaan mengenai efisiensi penggunaan energi, dana, dan waktu dalam penyelenggaraan acara tersebut.
Hal ini memicu refleksi lebih dalam: “apakah format perayaan saat ini masih sejalan dengan semangat Islam Berkemajuan?”
Setiap kali Muhammadiyah mengadakan muktamar, partisipasi yang terlihat sungguh luar biasa.
Stadion dipenuhi oleh ribuan peserta dan “penggembira” yang hadir dengan antusiasme tinggi, menciptakan suasana festival kebesaran organisasi.
Perhelatan ini menjadi lebih dari sekadar forum permusyawaratan, juga sebagai ajang silaturahmi dan unjuk kekuatan massa yang mengesankan.
Pentingnya menjaga komitmen
Muktamar merupakan agenda strategis yang menjadi momentum penting untuk menetapkan arah organisasi, memperbarui kepemimpinan, dan merumuskan gagasan besar.
Namun, diperlukan perhatian lebih terhadap pola pelaksanaannya, khususnya dalam hal alokasi sumber daya.
Dana yang terhimpun, baik yang berasal dari anggaran negara, kas internal, maupun sumbangan pribadi, digunakan untuk mendukung kelancaran acara.
Untuk memastikan kepercayaan publik dan internal, diperlukan peningkatan transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana.
Hal ini penting untuk menjaga citra organisasi yang menjunjung tinggi tata kelola yang baik.
Pelaksanaan Muktamar Muhammadiyah juga perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan.
Sungguh ironi jika setiap kali usai muktamar, selalu saja ada ribuan atribut yang tertinggal dan menjelma menjadi sampah yang tak bertuan.
Spanduk, banner umbul-umbul dan sebagainya berpotensi menjadi limbah setelah acara usai.
Di tengah isu krisis iklim global, Muhammadiyah lazimnya tampil menjadi teladan dan pelopor dalam melaksanakan kegiatan yang ramah lingkungan.
Menjaga konsistensi antara kampanye “green dakwah” dan jejak ekologis seolah menjadi paradoks yang menampar kesadaran kita sendiri.
Ketika tajdid belum menyentuh teknologi
Kemajuan teknologi informasi telah membuka ruang untuk adanya tajdid baru.
Pemilihan pimpinan bisa melalui e-voting yang aman, terverifikasi, dan transparan.
Musyawarah bisa secara daring tanpa harus memobilisasi ribuan orang ke satu kota.
Banyak lembaga besar—bahkan negara—telah melakukannya.
Pertanyaannya, “Mengapa Muhammadiyah —pelopor modernisme Islam di Indonesia— belum memulainya?
Bukankah tajdid seharusnya menjadi napas gerakan?
Muktamar daring bukan hanya efisien, tetapi sejalan dengan semangat berkemajuan: hemat energi, ramah lingkungan, dan inklusif bagi kader di seluruh dunia.
Bayangkan, berapa miliar rupiah bisa dihemat bila Muktamar dilakukan secara daring.
Dana itu bisa dialihkan untuk memperkuat dakwah al-Ma’un: memperbaiki sarana pendidikan, memperluas layanan kesehatan, dan meningkatkan kesejahteraan guru Muhammadiyah.
Hingga kini, banyak guru swasta di bawah persyarikatan masih hidup dari honor tiga atau empat ratus ribu rupiah per bulan.
Kementerian Pendidikan, dengan program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan keterbatasan anggaran, belum mampu menaikkan kesejahteraan mereka secara layak.
Dalam situasi semacam ini, semestinya Muhammadiyah menunjukkan keberpihakan nyata.
Gerakan al-Ma’un bukan slogan, melainkan panggilan moral untuk mendahulukan kaum lemah dan memperjuangkan hak-hak dasar manusia.
Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) perlu melakukan ijtihad sosial baru, yaitu: merumuskan fatwa tentang Muktamar Daring Berkemajuan.
Ini bukan sekadar efisiensi teknis, melainkan etika kemajuan. Dalam Islam, pemborosan dikecam bukan hanya karena membuang harta, tetapi karena mengabaikan prioritas kemanusiaan.
Muktamar semestinya menjadi simbol kedewasaan gerakan, bukan pesta kebesaran organisasi.
Kontemplasi
Kemajuan sejati sebuah organisasi seyogyanya tidak semata diukur dari aspek seremonial seperti kemegahan acara atau jumlah penggembira yang datang.
Keberanian moral dalam menata ulang orientasi dan memperbaiki cara kerja organisasi adalah kemajuan sejati tersebut.
Apabila masih banyak anggota yang menghadapi tantangan dalam pemenuhan hak dasar, seperti kesejahteraan guru yang perlu perhatian lebih, maka alokasi sumber daya yang mengesankan untuk sebuah acara patut menjadi bahan perenungan bersama.
Muktamar yang mencerminkan semangat “Berkemajuan” idealnya diwujudkan dalam format yang mengedepankan kesederhanaan, fokus pada substansi, hening dalam refleksi, serta hemat dalam pembiayaan namun memberikan dampak yang signifikan dan mencerahkan bagi umat.
Terkadang, tindakan yang paling berani bukanlah dengan menggelar perhelatan akbar, melainkan kemampuan menahan diri dan mengutamakan efisiensi dalam setiap kegiatan atas nama dakwah.
Muhammadiyah populer sebagai pelopor perubahan sosial.
Saat ini, tantangannya mungkin bukan lagi sekadar sekolah atau rumah sakit, melainkan bagaimana menata ulang cara pandang dan pendekatan agar tetap selaras dengan semangat awal yang melahirkan gerakan kemajuan ini.
“Kemajuan sejati tidak selalu tampak dalam kemegahan, melainkan dalam kesederhanaan yang membawa manfaat bagi banyak orang.”***


0 Tanggapan
Empty Comments