Search
Menu
Mode Gelap

Seni Memperbaiki Diri Tanpa Merasa Sendiri

Seni Memperbaiki Diri Tanpa Merasa Sendiri
Ilustrasi: OpenAI
Oleh : Ferry Is Mirza Jurnalis Senior dan Aktivis Muhammadiyah
pwmu.co -

Di dunia yang menuntut segalanya serba cepat, kita sering kali merasa tertinggal. Kita ingin segera menjadi orang yang paling saleh, ingin teman kita langsung berubah menjadi lebih baik, atau ingin semua doa dikabulkan dalam semalam. Padahal, iman dan perubahan adalah perjalanan panjang, bukan balapan lari cepat.

Terkadang, yang kita butuhkan bukanlah akselerasi, melainkan konsistensi untuk melangkah—meski kecil, meski pelan.

Dalam hubungan sosial, kita sering kali terlalu cepat menghakimi. Abu Darda ra memberikan nasihat yang sangat menyentuh hati:

“Bila salah seorang temanmu berubah dan berbuat dosa, maka janganlah meninggalkannya dan membuangnya, tapi nasehatilah dengan nasihat yang terbaik, dan bersabarlah karena saudaramu itu terkadang bengkok dan terkadang lurus.”

Contoh dalam kehidupan: Bayangkan Anda memiliki sahabat yang dulunya rajin beribadah, namun tiba-tiba ia mulai menjauh, terlibat dalam lingkungan yang negatif, atau kehilangan arah. Refleks kita mungkin adalah menjauh agar tidak “tercemar”.

Namun, Islam mengajarkan kita untuk menjadi jangkar. Jangan buang dia dari daftar pertemananmu. Jadilah telinga yang mendengar dan tangan yang merangkul.

Sebab, suatu saat mungkin kita yang berada di posisi “bengkok” itu dan sangat membutuhkan seseorang yang bersabar menghadapi kita.

Umar bin Khathab ra menekankan bahwa saling menasihati adalah ciri masyarakat yang sehat:

“Tidak ada kebaikan pada kaum yang tidak saling menasehati, dan tidak ada kebaikan pula pada kaum yang tidak mencintai nasehat.”

Namun, menasihati pun ada seninya. Ibn Hazm An-Andalusi mengingatkan agar kita tidak menjadi sombong saat memberi arahan:

“Jika Anda menasihati seseorang dengan syarat dia harus menerimanya, maka Anda adalah penindas.”

Nasihat itu seperti menanam benih. Tugas kita hanya menanam dan menyiramnya dengan kelembutan.

Iklan Landscape UM SURABAYA

Masalah kapan benih itu tumbuh dan berbuah, itu sepenuhnya urusan Allah. Jangan memaksa, karena hidayah bukan di tangan kita.

Sering kali kita merasa putus asa melihat hidup yang berantakan. Namun, mulailah dari hal yang paling dasar. Tak perlu melakukan lompatan besar jika itu membuatmu cepat lelah dan akhirnya berhenti.

Perbaiki Salat: Jika sebelumnya sering menunda, cobalah pelan-pelan untuk shalat tepat waktu. Rasakan ketenangannya.

Hidupkan Sunah: Mulailah dengan puasa Senin-Kamis. Jika terasa berat, mulailah dengan satu hari saja dalam seminggu.

Ketuk Pintu Langit: Pelan-pelan coba bangun untuk Tahajud, meski hanya dua rakaat sebelum Subuh. Atau sempatkan Dhuha di tengah kesibukan kerja.

Menjaga Lisan: Ini yang tersulit. Di era media sosial, cobalah pelan-pelan menahan jempol untuk tidak berkomentar buruk dan menahan lisan untuk tidak membicarakan aib orang lain.

Sampai pada akhirnya waktu itu tiba, Anda akan menyadari bagaimana Allah mengatur semuanya dengan sangat rapi.

Perubahan yang dilakukan secara “pelan-pelan” namun dilakukan terus-menerus (istiqamah) jauh lebih dicintai Allah daripada perubahan besar yang hanya bertahan satu hari.

Pelan-pelan saja, yang penting istiqamah dari hal yang kecil dulu, maka pelan-pelan Allah akan memperbaiki hidupmu, memulihkan hatimu, dan menata masa depanmu.

Yakinlah, Allah mencintaimu lebih dari yang kau tahu. Dia menghargai setiap tetes keringatmu dalam usaha menjadi lebih baik, sekecil apa pun itu. (*)

Iklan pmb sbda 2025 26

0 Tanggapan

Empty Comments