
Oleh: Uswatun Hasanah (Guru Bahasa Indonesia Sekolah Pesantren MTs Muhammadiyah 1 Malang)
PWMU.CO – Di era digital saat ini, media sosial, khususnya TikTok, menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Menurut data dari Statista.com, Indonesia menempati posisi pertama sebagai negara dengan pengguna TikTok terbanyak di dunia, dengan sekitar 157,6 juta pengguna aktif per Juli 2024.
Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh Exploding Topics berjudul TikTok User Age, Gender, and Demographics (2024), diungkapkan bahwa rata-rata pengguna TikTok Indonesia menghabiskan waktu untuk scroll TikTok sekitar 41 jam 35 menit per bulan pada tahun 2024. Dengan kata lain, rata-rata setiap hari pengguna TikTok Indonesia menghabiskan sekitar 1 jam 24 menit untuk scroll TikTok.
Media sosial merupakan wadah untuk menuangkan ekspresi. Namun, dengan luasnya jangkauan media sosial, timbul ekspektasi yang tinggi bagi penggunanya. Selain itu, media sosial juga memberikan kita standar akan sesuatu hal seperti cantik, ganteng, lucu, baik, hingga bahagia.
Bahkan, belakangan ini di media sosial TikTok terdapat sebuah tren, yaitu “Marriage is Scary.” Dari tren ini, banyak audiens yang berasumsi bahwa menikah itu menyeramkan. Sebuah mimpi buruk jika mendapatkan pasangan yang tidak sejalan dengan standarnya.
Nyatanya, kita dapat langsung menyimpulkan secara garis besar bahwa pernikahan itu merupakan pilihan yang salah hanya karena melihat dari pengalaman orang lain. Banyak perceraian juga karena mengikuti standar content creator dan efek merampung quotes-quotes di media sosial tentang “suami harus peka dan sempurna”, “wanita adalah ras terkuat di muka bumi”, padahal quotes-quotes itu hanya ditulis berdasarkan hawa nafsu.
Dampak Tak Kasat Mata: Dari FOMO hingga Krisis Identitas
Tren yang sedang viral di dunia maya ternyata juga dapat memengaruhi sudut pandang kita dalam hidup. Selain ekspektasi yang terlalu tinggi, standar media sosial juga bisa memunculkan ketidakpercayaan diri bagi audiensnya.
Ketika seseorang terus-menerus melihat kehidupan ideal versi media sosial, seperti gaya hidup mewah, penampilan sempurna, atau keberhasilan karier, ia mungkin merasa hidupnya tidak sebanding.
Hal ini bisa memicu rasa tidak puas, membuat seseorang merasa tertinggal atau FOMO (fear of missing out) dan kurang berharga, meskipun kenyataannya tidak seperti yang mereka lihat di layar.
Mengikuti standar media sosial juga dapat memengaruhi kesehatan finansial, terutama bagi mereka yang tergoda untuk mengikuti tren tanpa memperhatikan kemampuan ekonomi. Beberapa rela berutang atau mengorbankan tabungan hanya demi membeli barang-barang yang sedang tren, agar terlihat sejalan dengan standar gaya hidup di media sosial. Padahal, keputusan finansial yang buruk ini bisa menimbulkan beban ekonomi yang berkepanjangan, bahkan memperburuk kondisi keuangan.
Selain itu, ada risiko kehilangan identitas diri karena terlalu fokus mengikuti apa yang dianggap populer di media sosial. Ketika seseorang terus berusaha meniru gaya hidup tren, ia mungkin mengabaikan keinginan dan jati diri aslinya. Ini bisa menyebabkan hilangnya rasa autentisitas diri dan justru membuat seseorang hidup dalam tekanan yang berasal dari keinginan untuk diakui orang lain.


0 Tanggapan
Empty Comments