Rafi, siswa kelas delapan di sebuah madrasah tsanawiyah di pinggir kota, memiliki seragam yang lusuh, sepatu hitam pudar, dan tas sekolah yang berulang kali dijahit oleh ibunya.
Namun, di balik kesederhanaan penampilannya, ada satu hal yang selalu membuat para guru teringat padanya.
Rafi tidak pernah lupa mengucapkan “terima kasih”—bukan hanya saat menerima pelajaran atau bantuan, tetapi juga ketika mendapat teguran.
Sikapnya yang tulus ini jauh lebih berkesan dibandingkan dengan penampilannya yang bersahaja.
Setiap hari Rafi selalu datang lebih awal untuk sampai di sekolah. Terkadang, sisa bau tanah dari kebun cabai ayahnya masih melekat di tangannya.
Sang ayah adalah seorang petani yang rezeki panennya tak menentu, tergantung pada cuaca yang tak bisa ditebak.
Sedang ibunya adalah seorang guru TPQ di masjid yang ada di kampungnya.
Ibu Rafi dikenal sebagai pribadi yang lembut dan sabar dalam mengajarkan anak-anak membaca Al-Qur’an.
“Nak, jangan lupa. Setiap ilmu yang kau terima adalah cahaya. Hormati gurumu seperti engkau menghormati orang ayah dan ibu.
Ilmu tidak akan bisa masuk ke dalam hati orang yang sombong”, pesan sang ibu setiap Rafi pamit berangkat sekolah.
Rafi hanya sekadar mengangguk setelah mendengarkan pesan sang ibu. Kata-kata itu selalu terpatri di benaknya.
Setiap selesai mengikuti pelajaran dari guru-gurunya, Rafi pun selalu berdiri sebagai sikap hormat, menunduk, dan berucap: “Terima kasih, Pak” atau “Terima kasih, Bu” kepada bapak/ibu guru yang telah memberinya ilmu.
Kebiasaannya memang terlihat sederhana, tapi tidak semua teman mampu menirunya. Sebagian yang lain justru menertawakannya.
“Ngapain sih, Raf? Sok sopan banget,” ejek Arman, teman sebangku saat mengikuti pelajaran di kelas.
Seperti biasa, Rafi pun hanya tersenyum sambil berkata, “nggak apa-apa, Man. Katanya, kalau kita berterima kasih, Allah tambah berkah pada ilmu kita.”
Arman pun mendengus pelan, dan kembali melanjutkan hobi menggambarnya.
Hari-hari Rafi mengalir dalam ritme yang sama: pagi hari tekun di sekolah, siang yang terik di ladang, dan senja yang teduh mengaji di surau bersama ibunya.
Setiap pulang sekolah, ia langsung bergegas ke kebun, ikut memetik cabai-cabai merah yang ranum.
Sinar matahari yang membakar kulitnya tak pernah menjadi keluhan. Ia tahu persis, setiap tetes keringat adalah bukti perjuangan keras ayahnya demi menafkahi keluarga, dan Rafi ingin menjadi bagian dari perjuangan itu.
Rafi mengusap telapak tangan ayahnya yang keras dan kapalan, bekas kerja keras di ladang setiap hari. “Pak, tangan Bapak sampai kapalan semua,” ucapnya lirih, penuh rasa iba.
Ayahnya tersenyum, senyum yang sama dengan ibunya, penuh kelembutan meski wajahnya diterpa terik matahari. “Nggak apa-apa, Nak,” jawab sang ayah, suaranya parau namun hangat. “Capeknya Bapak hilang kalau lihat kamu rajin belajar.
Suatu hari nanti, semoga kamu panen bukan cabai, tapi kebaikan dari ilmu yang kamu petik.”
Kata-kata itu menjadi doa yang tertanam kuat dalam hati Rafi, menjadi motivasi terkuatnya untuk belajar, sebuah janji pada ayahnya yang tak pernah lelah berjuang.
Menang lomba
Suatu hari suasana madrasah begitu riuh, dipenuhi bisik-bisik antusiasme para siswa yang menyambut lomba menulis esai dengan tema “Guru yang Menginspirasi“.
Sebagian besar temannya menjadikan tokoh-tokoh besar, pahlawan nasional, atau nama-nama tenar lainnya sebagai subjek tulisan mereka.
Namun, berbeda dengan yang lain, Rafi justru menemukan inspirasi terbesarnya di dalam kesehariannya.
Dengan pena yang menari di atas kertas, ia mulai merangkai kata demi kata, bukan untuk menyanjung sosok jauh, melainkan untuk mengabadikan para guru di madrasahnya.
Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang tak pernah lelah mengajar di tengah keterbatasan.
Terlintas pula wajah ibunya, yang tetap menyunggingkan senyum tulus meski honor mengajar di TPQ sering terlambat.
Setiap kalimat yang ia tulis mengalir dari hati, menjadi pengakuan jujur tentang ketulusan dan keikhlasan yang ia saksikan setiap hari, sebuah kisah yang jauh lebih berarti daripada sekadar nama besar.
Esai yang ditulis Rafi, yang berisi pengakuan tulus tentang ketulusan guru-guru di madrasahnya, berhasil membuat guru-gurunya terdiam.
“Guru bukan hanya yang mengajar di kelas, tapi juga yang menanamkan adab dalam diam. Dari Bapak dan Ibu Guru, saya belajar bahwa ucapan terima kasih adalah bentuk kecil dari keikhlasan, dan keikhlasan adalah ilmu yang paling tinggi.”
Esai Rafi pun sukses itu membuatnya menjadi pemenang lomba. Namun yang paling membekas bukanlah hadiah yang ia dapatkan, melainkan tangis haru Ibu Fatimah, wali kelasnya.
Kemenangan pun menjadi milik Rafi. Tim panitia mengukuhkan nama Rafi di puncak lomba esai.
Namun bagi Rafi, bukan piala atau tepuk tangan yang meninggalkan kesan terdalam di hatinya.
Yang lebih berharga adalah saat ia melihat bulir-bulir air mata haru mengalir di pipi Ibu Fatimah, wali kelasnya.
Tangisan itu lebih dari sekadar ungkapan bangga; itu adalah cerminan dari ketulusan yang selama ini tak pernah diucapkan, kini terbalaskan dalam sebuah tulisan sederhana.
“Rafi”, panggil Ibu Fatimah, suaranya bergetar menahan haru, “terima kasih, Nak. Terima kasih sudah mengingatkan kami, bahwa kadang yang sederhana justru yang paling bermakna.”
Rafi hanya menunduk, matanya menatap ujung sepatu yang usang. Dengan suara pelan dan malu-malu, ia menjawab, “Saya yang harus berterima kasih, Bu, karena Ibu sudah sabar membimbing kami.”
Sore itu, Rafi sedikit terlambat meninggalkan madrasah, karena membantu guru piket membereskan ruang kelas. Di perjalanan pulang, matanya menangkap siluet ayahnya yang duduk lesu di bawah pohon mangga di pinggir ladang. Tatapannya kosong, terpaku pada barisan tanaman cabai yang sebagian besar layu, tak berdaya dihantam derasnya hujan sepekan terakhir.
“Gagal panen lagi, yah?” tanyanya pelan.
“Namanya juga hidup, Nak,” ujar ayahnya, suaranya terdengar pasrah namun penuh ketabahan. “Kadang tanah memberi, kadang juga menahan. Tapi jangan khawatir, Allah pasti akan kasih jalan.”
Rafi mengangguk, lalu duduk di samping ayahnya, menatap cabai-cabai yang rontok ke tanah. Sebagian sudah busuk, sebagian lagi masih terlihat segar.
“Pak,” katanya lirih, “kalau cabai saja bisa tumbuh lagi setelah kehujanan, manusia juga harus bisa, ya?”
Ayahnya tersenyum, tawa kecil keluar dari bibirnya yang kering. “Betul, Nak. Dan itu sebabnya Bapak bangga sekali padamu. Kamu tumbuh dengan adab, bukan hanya pintar.”
Pelajaran paling berharga
Pada hari kelulusan yang diliputi rona kegembiraan, Rafi berdiri di depan kelas. Sorot mata haru para guru tak pernah lepas dari sosoknya yang sederhana.
Penghargaan sebagai siswa paling berakhlak adalah hadiah yang paling tulus, bukan sekadar nilai di atas kertas.
Perlahan, ia melangkah maju, menundukkan kepala dengan takzim. Saat piagam itu berpindah tangan, kalimat sederhana yang selalu diucapkan meluncur dari bibirnya, “Terima kasih, Ibu. Terima kasih, Bapak”.
Ruangan itu dipenuhi gemuruh tepuk tangan yang meriah. Namun, di antara keriuhan suara itu, ucapan Rafi terdengar paling jernih, mengalun dari hati yang tak pernah ternoda oleh kesombongan.
Malam itu, di rumahnya yang hangat, ibunya membacakan doa usai salat Isya. “Alhamdulillah, Nak. Kau sudah membuat Ibu dan Bapak bangga,” bisik sang ibu, suaranya dipenuhi rasa syukur. “Tapi ingat, jangan berhenti berterima kasih. Ilmu tanpa syukur akan cepat hilang.”
Rafi tersenyum, menatap telapak tangan ibunya yang mulai dilukis kerutan waktu. Dengan lembut, ia berujar, “Terima kasih, Bu, sudah jadi guru terbaikku.”
Pandangan mata ibunya berkaca-kaca, memancarkan kebanggaan dan cinta yang tak terukur.
Di luar, suara jangkrik bersahutan memecah keheningan malam. Di ladang, cabai-cabai muda yang baru tumbuh kembali berseri setelah hujan reda.
Namun, di dalam hati Rafi, ada sesuatu yang tumbuh jauh lebih berharga dari cabai atau piagam penghargaan: tumbuhnya rasa syukur dan adab yang takkan pernah layu.***


0 Tanggapan
Empty Comments