Search
Menu
Mode Gelap

(Tidak) Bolehkah Pelajar Mengikuti Demonstrasi?

(Tidak) Bolehkah Pelajar Mengikuti Demonstrasi?
Oleh : Wilda Nuril Haq Siswi SMA Muhammadiyah 1 Babat, Lamongan
pwmu.co -

Aksi demonstrasi memenuhi berbagai ruas jalan di sejumlah wilayah Indonesia. Gelombang protes besar-besaran yang melibatkan buruh, petani, hingga mahasiswa ini menyoroti berbagai isu krusial, mulai dari kenaikan pajak, polemik utang negara, hingga ketimpangan kesejahteraan antara anggota DPR dan rakyat.

Unjuk rasa pertama kali meletus pada Senin (25/8/2025). Situasi semakin memanas setelah terjadi insiden tragis: seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan tewas terlindas.

Peristiwa itu menjadi pemantik yang menyulut kemarahan warga, yang sejak lama menaruh kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah dan sikap para wakil rakyat.

Awalnya, demonstrasi hanya berlangsung di Ibu Kota Jakarta. Namun dalam waktu singkat, aksi serupa merebak ke berbagai kota besar lainnya.

Jumlah peserta pun terus bertambah. Menariknya, selain buruh dan mahasiswa, gelombang massa juga diwarnai kehadiran pelajar, terutama dari kalangan SMA dan SMK, yang turut turun ke jalan menyuarakan aspirasinya.

Munculnya kelompok pelajar SMA menjadi bagian dari massa demonstran memperoleh sorotan tersendiri. Para pelajar yang masih menggunakan seragam lengkap tersebut kian menarik perhatian seiring banyaknya yang menjadi korban penangkapan oleh aparat kepolisian.

Konon, pada Kamis (28/8/2025) sekitar 276 pelajar telah ditangkap dan diamankan di Polda Metro Jaya dan Polres di jajaran Polda Metro Jaya. Ratusan pelajar ini diamankan sebelum sempat ikut dalam aksi di gedung DPR RI.

Pengamanan juga terjadi di Stasiun Tanah Abang dan Stasiun Palmerah, Jakarta. Ada 54 pelajar yang diamankan aparat sebelum mereka sempat ikut demonstrasi. Mereka mengaku hendak bergabung dalam aksi unjuk rasa di kompleks DPR/MPR.

Beragam pendapat

Persoalannya, boleh atau tidak bolehkah pelajar boleh mengikuti demonstrasi? Ada beberapa pendapat dari pakar hukum dan lembaga terkait. Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, — yang penulis kutip dari mediaetam.com — mengatakan, bahwa larangan ikut berdemo tak serta merta berlaku untuk semua anak.

Mereka yang sudah memasuki usia remaja (SMA sederajat) sudah memiliki hak mengikuti unjuk rasa di jalanan.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berpandangan lain. Komisioner KPAI Sylvana Maria Apituley menegaskan bahwa anak maupun remaja — yang masih berusia kurang dari 18 tahun — tidak boleh mengikuti agenda demonstrasi atau kegiatan politik. Jika terlibat, berarti mereka telah melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak.

Akademisi hukum dari Universitas Mulawarman Kalimantan Timur (Kaltim) Herdiansyah Hamzah, berpendapat berbeda lagi. Herdiansyah menilai bahwa perlu penjabaran lebih untuk menilai kelayakan remaja terlibat dalam aksi unjuk rasa.

Menurut Herdiansyah, “ekspresi itu tidak bisa dibatasi, termasuk ekspresi yang disampaikan oleh siswa SMA sederajat. Pelajar punya hak yang sama dengan mahasiswa dan masyarakat umum. Itu dijamin dalam UUD 1945.”

Jika pelajar SMA memenuhi kualifikasi, artinya mereka tidak melanggar UU Perlindungan Anak. Syarat pertama yang harus terpenuhi adalah pelajar tersebut mengikuti demonstrasi karena keinginannya sendiri. Herdiansyah juga menambahkan, bahwa ada situasi yang membuat keterlibatan pelajar menjadi pelanggaran hukum. Yakni adanya pemaksaan.

Meski hak berekspresi dijamin konstitusi, keterlibatan pelajar dalam demonstrasi tidak bisa dilepaskan dari risiko besar.

Aksi di jalanan berpotensi terjadinya kekerasan fisik, bentrokan dengan aparat, bahkan tindakan perusakan. Dalam kondisi seperti ini, pelajar yang masih remaja menjadi rentan terprovokasi dan terseret dalam arus kericuhan.

Iklan Landscape UM SURABAYA

Seperti kasus pengamanan pelajar di Stasiun Tanah Abang dan Stasiun Palmerah, Jakarta. Ditemukan pada salah satu pelajar yang membawa sembilan busur panah. Sedang di kawasan Kelapa Gading, petugas mengamankan dua pelajar yang kedapatan membawa bom molotov.

Barang berbahaya seperti ini jelas mengindikasikan bahwa keterlibatan pelajar tidak lagi sekadar menyuarakan aspirasi, melainkan rawan menjurus ke tindakan destruktif.

Rendahnya tingkat literasi politik bagi pelajar membuatnya mudah terjebak provokasi. Pelajar yang ikut demonstrasi hanya karena faktor ajakan teman, rasa penasaran, atau sekadar FOMO (Fear of Missing Out).

Tidak jarang mereka menelan mentah-mentah informasi dari media sosial tanpa melakukan verifikasi. Ikut-ikutannya tanpa pemahaman yang substantif tentang isu yang menjadi perdebatan.

Keterlibatan pelajar dalam demonstrasi juga membawa risiko pribadi. KPAI mencatat adanya laporan lima pelajar yang mengalami kekerasan fisik dari aparat. Ini menunjukkan bahwa remaja masih sangat rentan menghadapi kerasnya dinamika aksi massa.

Jika pelajar tidak memahami substansi perjuangan, justru keterlibatan mereka berpotensi kontraproduktif. Alih-alih menjadi bagian dari solusi, mereka bisa terjebak menjadi alat kepentingan kelompok tertentu.

Kembali  belajar ke sekolah

Dalam kondisi ini, pelajar sebaiknya kembali pada jati dirinya, yakni belajar. Menyuarakan aspirasi tidak harus turun ke jalan.

Bentuk kepedulian terhadap bangsa bisa diwujudkan dengan cara yang lebih aman dan konstruktif. Mengikuti proses belajar di sekolah dengan baik, mengembangkan literasi politik dan isu-isu kebangsaan, melakukan cek fakta atas setiap informasi, menyuarakan pendapat melalui tulisan atau media sosial secara sehat, aktif dalam organisasi sekolah maupun kegiatan positif lainnya bisa menjadi pilihan terbaik.

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, juga menegaskan bahwa siswa tidak semestinya ikut dalam unjuk rasa. Menurutnya, belajar di sekolah sudah dapat disebut sebagai salah satu cara menyampaikan aspirasi.

Pelajar harus memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, sekaligus harus mau menunjukkan kepeduliannya terhadap negeri.

Namun, penting untuk menjadi ingatan bahwa pelajar adalah generasi penerus bangsa yang masih perlu mempersiapkan diri. Tugas utama mereka adalah belajar, bukan terjun ke jalan dalam aksi demonstrasi yang penuh risiko.

Demonstrasi merupakan hak demokrasi. Pelajar harus menyadari bahwa ada cara yang lebih aman dan produktif untuk menyuarakan aspirasi. Membekali diri dengan ilmu pengetahuan, mengasah keterampilan, serta mengembangkan literasi politik jauh lebih berguna daripada sekadar ikut-ikutan turun ke jalan.

Pelajar tidak harus terjun dalam kancah kekacauan yang terjadi, tetapi cukup dengan mempersiapkan diri menjadi generasi yang cerdas, kritis, dan berintegritas. Ini merupakan kontribusi besar bagi seorang pelajar terhadap masa depan bangsa dan negara Indonesia.***

Iklan pmb sbda 2025 26

0 Tanggapan

Empty Comments