
Oleh: M Mahmud – Ketua PRM Kandangsemangkon Paciran Lamongan
PWMU.CO – Tazkiyatun Nafs adalah konsep dalam Islam yang berarti penyucian jiwa. Ini mencakup upaya membersihkan hati dari sifat buruk seperti iri hati, kesombongan, dan keserakahan, serta menumbuhkan sifat-sifat baik seperti ketulusan, kesabaran, dan kasih sayang. Dalam al-Quran, konsep ini disebutkan dalam Surat asy-Syams (91:9-10):
قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ
Artinya: Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu).
وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰىهَاۗ
Artinya: Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.
Para ulama, termasuk Imam Ghazali, membagi jiwa manusia ke dalam beberapa tingkatan, seperti nafs al-ammarah (jiwa yang cenderung pada keburukan), nafs al-lawwamah (jiwa yang menyesali kesalahan), dan nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenang dan dekat dengan Allah).
Surat asy-Syams ayat 9-10 berbicara tentang keberuntungan bagi orang yang mensucikan jiwanya dan kerugian bagi mereka yang mengotorinya. Ayat ini menekankan pentingnya Tazkiyatun Nafs, yaitu proses penyucian jiwa melalui kebaikan dan ketakwaan.
Menurut tafsir, ayat ini menunjukkan bahwa manusia memiliki pilihan antara kefasikan dan ketakwaan. Mereka yang berusaha membersihkan hati dari sifat buruk seperti kesombongan, iri hati, dan kedengkian akan mendapatkan keberuntungan. Sebaliknya, mereka yang membiarkan dirinya terjerumus dalam kemaksiatan akan mengalami kerugian.
Dalam Tafsir Al-Muyassar dijelaskan bahwa Allah telah menunjukkan kepada manusia jalan kebaikan dan jalan keburukan, sehingga siapa pun yang memilih untuk menyucikan jiwanya akan meraih keberhasilan. Sementara itu, Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah menekankan bahwa keberuntungan diperoleh oleh mereka yang mengarahkan diri pada amal kebaikan dan menjauhi perbuatan buruk.
Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa menurut Ibnu Zaid, Allah SWT telah menanamkan dalam jiwa manusia potensi kefasikan dan ketakwaan. Firman Allah SWT: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu (9), dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (10)” dapat ditafsirkan bahwa sungguh beruntunglah orang yang menyucikan dirinya dengan ketaatan kepada Allah, sebagaimana dikatakan oleh Qatadah, dan membersihkannya dari akhlak-akhlak yang hina dan rendah.
Penafsiran serupa juga diriwayatkan dari Mujahid, Ikrimah, dan Sa’id bin Jubair. Ini sejalan dengan firman Allah dalam Surat al-A’la: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman) (14), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat (15).”
Adapun ayat “dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (10)” diartikan sebagai orang yang menenggelamkan jiwanya dalam kehinaan, yaitu mengubur dan menghinakannya dengan tidak mengikuti petunjuk Allah, sehingga terjerumus dalam perbuatan maksiat dan meninggalkan ketaatan.
Ayat ini juga bisa ditafsirkan bahwa beruntunglah orang yang jiwanya disucikan oleh Allah, dan merugilah orang yang jiwanya ditakdirkan dalam keadaan kotor oleh-Nya.
KH Ahmad Dahlan memberikan tiga kiat kepada kita dalam melakukan tazqiyatun nafs, yaitu:
Pertama, dengan memperbanyak dzikir, sebagaimana tercantum dalam QS al-A‘la ayat 15.
وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهٖ فَصَلّٰىۗ
Artinya: Dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat.
Hakikat dzikir adalah mengingat Allah dengan hati, lisan, dan perbuatan. Dzikir bukan hanya sekadar ucapan, tetapi juga kesadaran penuh akan kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan.
Jenis-jenis dzikir terbagi menjadi beberapa macam, yaitu:
‣ Dzikir Lisan: Mengucapkan nama Allah untuk mengingat-Nya.
‣ Dzikir Jiwa (Nafs): Mengingat Allah dengan perasaan dan kesadaran batin.
‣ Dzikir Qalbu: Menghubungkan hati dengan Allah melalui refleksi mendalam.
‣ Dzikir Ruh: Penyaksian terhadap cahaya tajalli sifat-sifat Allah.
‣ Dzikir Sirr: Mengungkap rahasia Ilahi dalam kesadaran spiritual.
‣ Dzikir Khafi: Menyelaraskan diri dengan keindahan Allah.
‣ Dzikir Akhfal Khafi: Kesadaran tertinggi di mana hanya Allah yang tampak.
Selain itu, Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa dzikir bukan sekadar ucapan, tetapi mencakup segala sesuatu yang dikaitkan dengan Allah, termasuk belajar ilmu dan mengingat sejarah para nabi.
Dzikir yang sempurna adalah yang dilakukan dengan hati dan kesadaran penuh, bukan sekadar rutinitas.
Berikut Beberapa metode efektif dalam dzikir agar lebih bermakna dan berdampak dalam kehidupan sehari-hari:
‣ Dzikir dengan Kesadaran Penuh (Hadirul Qalb)
Dzikir bukan sekadar ucapan, tetapi harus dilakukan dengan kesadaran hati. Mengulang lafadz dzikir seperti Subhanallah, Alhamdulillah, dan Allahuakbar tanpa memahami maknanya bisa terasa kurang berkesan. Cobalah untuk merenungkan setiap kata dan menghubungkannya dengan keadaan diri serta kebesaran Allah.
‣ Dzikir dengan Amal
Dzikir tidak hanya berupa ucapan, tetapi juga harus tercermin dalam tindakan. Rasulullah mengajarkan bahwa setiap perbuatan baik seperti membantu orang lain, bersedekah, atau bahkan bekerja dengan niat yang benar juga merupakan bentuk dzikir.
‣ Dzikir dengan Tafakkur
Dzikir tidak hanya berupa pengulangan lafadz, tetapi juga merenungkan ciptaan Allah. Contohnya, ketika melihat keindahan alam, kita bisa mengingat ayat-ayat tentang penciptaan dan bersyukur atas nikmat yang diberikan.
‣ Dzikir dengan Konsistensi
Dzikir yang dilakukan secara rutin akan membentuk ketenangan jiwa. Rasulullah menganjurkan dzikir yang konsisten, meskipun sedikit.
Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, dzikir adalah bagian penting dari ibadah yang harus dilakukan sesuai dengan tuntunan al-Quran dan Sunnah. Muhammadiyah menekankan bahwa dzikir yang sederhana, jelas, dan sesuai dengan dalil yang shahih, tanpa tambahan yang tidak memiliki dasar kuat dalam Islam.
Prinsip Dzikir dalam Tarjih Muhammadiyah yakni:
1. Dzikir setelah shalat dilakukan dengan bacaan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah, seperti: Astaghfirullah (dibaca tiga kali), Allahumma antas-salaam wa minkas-salaam tabaarakta yaa dzal jalaali wal ikram, Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalahu, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai’in qadiir.
2. Dzikir harus dilakukan dengan kesadaran penuh, bukan sekadar rutinitas tanpa memahami maknanya.
3. Dzikir tidak boleh berlebihan atau bertentangan dengan ajaran Islam, seperti dzikir yang dilakukan dengan cara yang tidak dicontohkan oleh Nabi.
4. Dzikir bisa dilakukan dalam berbagai keadaan, termasuk saat bekerja, bepergian, atau menghadapi kesulitan.
Muhammadiyah juga memiliki Tuntunan Dzikir dan Doa yang telah disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid, yang bisa dijadikan pedoman bagi umat Islam
Kedua, dengan banyak melakukan shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunnah. Shalat bukan hanya kewajiban, tetapi juga anugerah yang membawa manfaat luas bagi kehidupan dunia dan akhirat.
1. Manfaat Spiritual
‣ Mendekatkan diri kepada Allah. Shalat merupakan bentuk komunikasi langsung antara hamba dan Pencipta.
‣ Meningkatkan ketakwaan. Dengan shalat yang khusyuk, seseorang menjadi lebih sadar akan kehadiran Allah dalam kehidupannya.
‣ Mencegah perbuatan keji dan mungkar. Sebagaimana disebutkan dalam QS al-Ankabut (29:45), shalat membantu seseorang menjauhi perbuatan buruk.
2. Manfaat Psikologis
• Memberikan ketenangan jiwa. Shalat membantu mengurangi stres dan kecemasan dengan menghadirkan ketenangan batin.
• Meningkatkan kecerdasan emosional. Dengan refleksi dalam doa dan dzikir, seseorang lebih mampu mengendalikan emosi dan meningkatkan kesabaran.
• Membantu mengatasi kesulitan hidup. Shalat menjadi sarana untuk memohon pertolongan dan mendapatkan ketenangan dalam menghadapi masalah.
3. Manfaat Sosial
• Memperkuat ikatan sosial. Shalat berjamaah meningkatkan rasa kebersamaan dan persaudaraan dalam komunitas.
• Menumbuhkan disiplin. Shalat lima waktu mengajarkan keteraturan dan kedisiplinan dalam kehidupan sehari-hari.
• Meningkatkan kepedulian terhadap sesama. Shalat mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan empati terhadap orang lain.
4. Manfaat Fisik
• Meningkatkan kesehatan tubuh. Gerakan shalat seperti rukuk dan sujud membantu meningkatkan fleksibilitas dan sirkulasi darah.
• Membantu postur tubuh. Gerakan shalat dapat membantu menjaga keseimbangan tubuh dan mengurangi ketegangan otot.
• Meningkatkan fokus dan konsentrasi. Dengan rutin melakukan shalat, seseorang lebih mampu berkonsentrasi dalam aktivitas sehari-hari.
Ketiga: Senantiasa mengingat akhirat sebagaimana Allah berfirman dalam al-Quran surat Al-Qoshos ayat 77:
وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
Artinya: Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Ayat ini mengajarkan keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat. Allah memerintahkan manusia untuk menggunakan harta dan nikmat yang diberikan-Nya untuk mencari kebahagiaan di akhirat, tetapi tetap memperhatikan kehidupan dunia dengan cara yang baik dan tidak berlebihan.
Menurut tafsir, ayat ini adalah nasihat kepada Qarun, seseorang yang diberi kekayaan luar biasa tetapi menjadi sombong dan melupakan hakikat kehidupan. Allah mengingatkan bahwa harta harus digunakan untuk kebaikan, bukan untuk kesombongan atau kerusakan.
Beberapa pelajaran yang dapat diambil dari ayat tersebut antara lain:
‣ Hindari kerusakan. Jangan menggunakan harta atau kekuasaan untuk merusak kehidupan sosial dan lingkungan. (*)
‣ Gunakan harta untuk kebaikan. Infakkan sebagian rezeki untuk kepentingan akhirat.
‣ Jangan melupakan dunia. Nikmati kehidupan dunia dengan cara yang halal dan tidak berlebihan.
‣ Berbuat baik kepada sesama. Sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada kita.
Editor: Ni’matul Faizah


0 Tanggapan
Empty Comments