Search
Menu
Mode Gelap

UAH: Rezeki Tak Akan Tertukar, Berkahnya Ditentukan Iman

UAH: Rezeki Tak Akan Tertukar, Berkahnya Ditentukan Iman
Ustaz Adi Hidayat. Foto: Istimewa
pwmu.co -

Ustaz Adi Hidayat (UAH) menguraikan tiga kaidah pokok rezeki yang jarang diketahui umat. Menurutnya rezeki pasti turun saat ikhtiar dikeluarkan, tidak akan pernah tertukar, dan keberkahannya ditentukan oleh kadar iman.

UAH menegaskan, persoalan rezeki bukan sekadar soal kerja keras, tetapi tentang bagaimana niat dan iman mengarahkan hasil akhirnya.

“Ini rumus rezeki dalam fikih. Jarang dipahami, tapi kalau mengerti insyaallah hidup lebih tenang,” ujarnya dikutip dari kanal Youtube Adi Hidayat Official.

UAH lalu menjelaskan, rezeki pada dasarnya sudah ditetapkan oleh Allah dan akan diberikan ketika seseorang mulai berikhtiar. Ia mengutip Surah Adz-Dzariyat ayat 22, “Wa fis-samā’i rizqukum wa mā tū‘adūn,” sebagai dalil bahwa kadar rezeki setiap manusia sudah dipastikan di sisi Allah.

“Begitu seseorang bergerak, keluar rumah membawa map, melamar pekerjaan, atau memulai usaha, pada saat itulah rezeki diturunkan,” jelasnya.

Namun, kapan rezeki itu sampai ke tangan seseorang, bergantung pada niat dan kualitas ikhtiar masing-masing.

Menurut UAH, niat menjadi filter penting: apakah seseorang bekerja sekadar memenuhi kebutuhan dunia, atau mencari rida Allah? “Innamal a‘mālu bin-niyyāt,” tegasnya.

Rumus kedua yang dijelaskan UAH adalah bahwa rezeki bersifat pasti dan tidak mungkin tertukar. Dia menekankan bahwa hasil kerja seseorang tidak akan pernah jatuh kepada orang lain.

“Kalau Anda yang berikhtiar, mustahil rezekinya jatuh ke pesaing Anda. Mustahil!” katanya.

Kendati demikian, ia menggarisbawahi satu pengecualian: rezeki dalam lingkup keluarga. Usaha orang tua dapat mengalir kepada anak, begitu pula sebaliknya.

“Kalau ingin hidup kita lapang, dekatkan anak-anak dengan Allah. Keberkahan pada anak akan mengalir pada orang tuanya,” terang UAH

Sebagai contoh, dia menyebut kasus anak penghafal 30 juz yang mendapatkan hadiah haji, dan kedua orang tuanya turut diberangkatkan.

Iman Menentukan Keberkahan Rezeki

Rumus ketiga, yang disebut UAH sebagai “paling penting”, adalah bahwa keberkahan rezeki sangat ditentukan oleh kadar iman seseorang. “Ini kaidah yang membedakan antara orang beriman dan yang belum beriman,” ungkapnya.

Dalam logika duniawi, siapa pun yang bekerja keras, kreatif, dan inovatif akan mendapatkan hasil—entah ia beriman atau tidak.

Namun, menurut UAH, dalam pencarian yang hanya berorientasi dunia, seseorang mudah terjebak pada nafsu dan perlombaan menumpuk materi.

Iklan Landscape UM SURABAYA

“Orang hanya kumpulkan terus, kumpulkan terus, tapi tidak ada manfaatnya. Seperti menyimpan kayu bakar setumpuk masjid, tapi yang dipakai cuma satu,” ujarnya memberi ilustrasi.

UAH menyebut fenomena orang kaya baru (OKB) yang gemar pamer sebagai gejala klasik orientasi dunia. “Tugas kita bukan mencela, tapi mendoakan. Tapi kalau yang ngaji masih terjebak seperti itu, itu bahaya.”

UAH mengingatkan bahwa segala hal yang bersifat duniawi akan habis dan rusak. “Kalau bukan kita yang meninggalkan dunia, dunia yang meninggalkan kita,” katanya.

Dia mencontohkan hal sederhana: handphone yang disimpan tanpa digunakan pun pada akhirnya akan rusak dengan sendirinya. Begitu pula tubuh, kecantikan, popularitas, dan harta. Semua bersifat fana.

Karena itu, ia menegaskan pentingnya mengubah orientasi dari sekadar menumpuk harta menjadi memaksimalkan manfaat dan keberkahan.

Rezeki Kadang Ditunda, Tapi Tidak Dibatalkan

Menjawab kegelisahan jamaah yang merasa sudah berdoa dan beramal tetapi belum juga mendapatkan rezeki, UAH memberi penjelasan menenangkan.

“Kalau sudah tahajud, sudah puasa, sudah baca Quran tapi belum dapat, bukan berarti Allah tidak memberi. Mungkin belum thayib—belum cocok untuk iman Anda,” katanya.

Menurutnya, Allah sering menunda pemberian rezeki karena proses pencarian itu sendiri mendidik mental dan keimanan seorang hamba.

Pahitnya penolakan kerja, jatuh bangunnya usaha, atau rasa capek dalam perjuangan adalah “bonus pengalaman” yang akan membuat seseorang matang saat menerima rezeki besar.

“Ketika rezekinya diberikan seutuhnya, dia sudah siap mengelola karena ditempa dari perjalanan,” ucapnya mengutip kisah Abdurrahman bin Auf yang pernah kehilangan seluruh hartanya sebelum menjadi salah satu manusia terkaya dan paling dermawan di zamannya.

Pada bagian akhir ceramah, UAH mengingatkan bahwa setiap rezeki nantinya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Pertanyaan terpenting adalah: “Untuk apa harta itu dipakai?”

UA menutup dengan pesan reflektif, “Kalau Allah yang cukupkan kebutuhan hidup kita, maka jangan sampai rezeki yang diturunkan dari langit itu digunakan untuk mencari sesuatu yang tidak diridai Allah.” (*)

Iklan pmb sbda 2025 26

0 Tanggapan

Empty Comments