Di dalam lingkungan Islam, kepemimpinan merupakan sebuah tanggung jawab besar yang mencerminkan kualitas dan karakter masyarakat yang dipimpinnya.
Konsep bahwa pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya bukanlah hal yang baru; ini merupakan tema penting dalam ajaran Islam yang dapat dilihat melalui berbagai sumber dan pendapat ulama.
Dalam Al-Qur’an, Allah Swt. menyebutkan pentingnya pemimpin yang adil dan bijaksana. Salah satu ayat yang bisa dikaitkan dengan pernyataan ini adalah:
“Dan Allah tidak sekali-kali akan mengubah keadaan sesuatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Q.S. Ar-Ra’d: 11).
Ayat ini menegaskan bahwa perubahan yang terjadi dalam masyarakat dipengaruhi oleh perubahan yang dilakukan oleh individu di dalamnya.
Jika rakyat mengubah sikap dan perilaku mereka, maka perubahan tersebut akan terlihat dalam kepemimpinan mereka. Dengan kata lain, kepemimpinan yang baik merupakan refleksi dari masyarakat yang baik.
Ada pepatah Arab: “Masyarakat mengikuti agama para penguasa mereka.”
وتأمل حكمته تعالى في ان جعل ملوك العباد وأمراءهم وولاتهم من جنس اعمالهم بل كأن أعمالهم ظهرت في صور ولاتهم وملوكهم فإن ساتقاموا استقامت ملوكهم وإن عدلوا عدلت عليهم وإن جاروا جارت ملوكهم وولاتهم وإن ظهر فيهم المكر والخديعة فولاتهم كذلك وإن منعوا حقوق الله لديهم وبخلوا بها منعت ملوكهم وولاتهم ما لهم عندهم من الحق ونحلوا بها عليهم وإن اخذوا ممن يستضعفونه مالا يستحقونه في معاملتهم اخذت منهم الملوك مالا يستحقونه وضربت عليهم المكوس والوظائف وكلما يستخرجونه من الضعيف يستخرجه الملوك منهم بالقوة فعمالهم ظهرت في صور اعمالهم وليس في الحكمة الالهية ان يولى على الاشرار الفجار الا من يكون من جنسهم ولما كان الصدر
“Sesungguhnya di antara hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zholim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zholim. Jika tampak tindak penipuan di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula hal ini akan terjadi pada pemimpin mereka. Jika rakyat menolak hak-hak Allah dan enggan memenuhinya, maka para pemimpin juga enggan melaksanakan hak-hak rakyat dan enggan menerapkannya. Jika dalam muamalah rakyat mengambil sesuatu dari orang-orang lemah, maka pemimpin mereka akan mengambil hak yang bukan haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan tugas yang berat. Setiap yang rakyat ambil dari orang-orang lemah maka akan diambil pula oleh pemimpin mereka dari mereka dengan paksaan.
Dengan demikian setiap amal perbuatan rakyat akan tercermin pada amalan penguasa mereka. Berdasarkah hikmah Allah, seorang pemimpin yang jahat dan keji hanyalah diangkat sebagaimana keadaan rakyatnya. Ketika masa-masa awal Islam merupakan masa terbaik, maka demikian pula pemimpin pada saat itu. Ketika rakyat mulai rusak, maka pemimpin mereka juga akan ikut rusak. Dengan demikian berdasarkan hikmah Allah, apabila pada zaman kita ini dipimpin oleh pemimpin seperti Mu’awiyah, Umar bin Abdul Azis, apalagi dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar, maka tentu pemimpin kita itu sesuai dengan keadaan kita. Begitu pula pemimpin orang-orang sebelum kita tersebut akan sesuai dengan kondisi rakyat pada saat itu. Masing-masing dari kedua hal tersebut merupakan konsekuensi dan tuntunan hikmah Allah Ta’ala.”
Miftah Daaris Sa’adah, 2/177-178
Coba lihat hari ini.
Kenapa rakyat kita lebih sibuk dengan hiburan, gosip, pesta, dan sensasi ketimbang ilmu dan Qur’an?
Karena wajah rakyat selalu mencerminkan wajah pemimpinnya.
Sejarah Membuktikan
Masa Hajjaj bin Yusuf
Ia memerintah dengan tirani: gantung, cambuk, dan penjara.
Setiap pagi rakyat saling bertanya:
“Siapa yang dibunuh kemarin? Siapa yang digantung? Siapa yang dicambuk?”
Teror penguasa melahirkan masyarakat penuh ketakutan.
Masa Walid bin Abdul-Malik
Ia gemar membangun gedung megah, kanal, dan pabrik.
Maka rakyat pun ikut sibuk membangun, menggali, menanam, dan bekerja.
Masa Sulaiman bin Abdul-Malik
Ia mencintai makanan lezat dan musik.
Maka rakyat pun larut dalam pesta, penyanyi, dan perayaan.
Masa Umar bin Abdul Aziz
Inilah titik balik peradaban.
Beliau bukan hanya pemimpin zuhud, tapi juga seorang khalifah intelektual.
Beliau mendukung penghimpunan hadis, memperluas akses pendidikan, dan membangkitkan budaya menulis serta diskusi.
Di masanya, rakyat tidak lagi membicarakan pesta.
Mereka bertanya:
“Berapa banyak Qur’an yang kau hafal?”
“Berapa kali kau shalat malam?”
“Berapa hari kau berpuasa bulan ini?”
“Kapan kau menuntaskan kitab A, B, C?”
Semangat Qur’an dan ilmu menular dari seorang pemimpin ke seluruh masyarakat.
Cermin Hari Ini
Bandingkan dengan zaman kita.
Ketika rumah-rumah DPR dijarah, hampir tak ada buku yang ditemukan di dalamnya.
Kenapa? Karena memang tradisi intelektual tidak hidup di sana.
Lalu bagaimana rakyat bisa haus ilmu, jika wakil-wakilnya sendiri tidak menaruh perhatian pada ilmu?
Wajar kalau masyarakat ikut-ikutan: lebih sibuk dengan hiburan ketimbang Qur’an atau buku.
Ketika sebagian kursi DPR diisi oleh mantan artis, lulusan SMA yang kariernya hanya di panggung hiburan, bagaimana mungkin rakyatnya haus ilmu pengetahuan? Bagaimana mungkin generasi muda memimpikan meneliti nuklir, kalau wakilnya saja tak paham dasar-dasarnya?
Maka wajar kalau yang ramai di masyarakat bukan diskusi sains, bukan debat soal buku, bukan obrolan tentang Qur’an tetapi soal siapa artis yang menikah, siapa yang cerai, dan siapa yang trending di TikTok.
Inilah hukum sosial yang diucapkan orang Arab dulu:
“Masyarakat mengikuti agama para penguasanya.”
Kalau penguasanya sibuk pesta, rakyat ikut pesta. Kalau penguasanya cinta Qur’an, rakyat ikut cinta Qur’an.
Renungan
Sahabatku, masyarakat tidak pernah melampaui pemimpinnya.
Jika pemimpin cinta hiburan, rakyat pun ikut hanyut.
Jika pemimpin cinta Qur’an dan ilmu, rakyat pun tertular semangat yang sama.
Umar bin Abdul Aziz adalah bukti nyata bahwa seorang pemimpin bisa mengubah arah peradaban:
dari pesta menuju Qur’an,
dari kelalaian menuju ilmu,
dari kemewahan menuju keadilan.
Maka renungkanlah:
pemimpin seperti apa yang sedang kita ikuti hari ini?
Sumber: Nawādir min at-Tārīkh 1/182


0 Tanggapan
Empty Comments