PWMU.CO – Kekalahan duet Prabowo-Sandi dalam Pilpres 2019 yang didukung ijtimak ulama adalah potret terakhir kegagalan dakwah Islam melawan ‘dakwah’ sekulerisasi secara terstruktur, sistemik dan masif (TSM) melalui sistem persekolahan selama 50 tahun terakhir.
Sekolah, bersama televisi, sebagai instrumen teknokratik menuju masyarakat industri secara lambat tapi pasti tidak saja menggusur masjid sebagai jantung umat Islam, tapi juga sekaligus keluarga sebagai satuan tarbiyah yang terkecil umat.
Sistem persekolahan adalah instrumen penjajahan yang paling halus sekaligus canggih yang mewarnai sejarah nekolimik yang dikhawatirkan Bung Karno sejak proklamasi. Kita gagal menyediakan prasyarat budaya untuk mewujudkan bangsa yang merdeka.
Jika Ki Hadjar Dewantoro merumuskan pendidikan sebagai strategi budaya membangun jiwa merdeka, persekolahan telah mereduksi pendidikan menjadi sekadar penyiapan tenaga kerja kompeten untuk dipekerjakan bagi kepentingan investor, terutama investor asing. Persekolahan tidak pernah dirancang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Selama 50 tahun terakhir, pemerintah tidak pernah menghendaki masyarakat yang mandiri dan kritis. Yang dibutuhkan adalah masyarakat yang cukup cerdas untuk menjadi tenaga kerja yang patuh dan berdisiplin serta cukup dungu untuk menerima penjajahan nekolimik ini.
Sekolah mengubah belajar sebagai proses produktif yang tidak memerlukan formalisme birokratik, menjadi layanan pendidikan yang konsumtif berupa persekolahan. Budaya uutang disemaikan melalui persekolahan yang mengaburkan kebutuhan belajar (needs for learning )dengan keinginan bersekolah (wants for schooling). Masyarakat lalu gagal membedakan mana bungkus mana isi, mana ijazah mana kompetensi, mana bersekolah mana belajar.
Menatap masa depan Republik Indonesia yang penuh tantangan, saya harus katakan bahwa untuk membangun bangsa merdeka, umat Islam harus segera berani melakukan deschooling: mengurangi dominasi persekolahan dalam Sistem Pendidikan Nasional kita, menguatkan keluarga sebagai satuan pendidikan yang sah serta menguatkan masjid sebagai community learning and cultural centre. Kesadaran berwarganegara, adab dan akhlak dibentuk oleh keluarga dan masjid.
Pesantren bisa dibangun di sekeliling masjid-masjid. Sekolah setingkat SMA mungkin masih dibutuhkan, namun hanya bersifat melengkapi kecakapan teknis untuk trampil bekerja. (*)
Cigadung, Bandung Utara, 4 Juli 2019
Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya,