PWMU.CO – Bolehkah seseorang berkurban untuk keluarga atau orang yang sudah meninggal? Pertanyaan tersebut kerap muncul terutama menjelang Idul Adha.
Ketua Divisi Tarjih dan Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim Ustad Dr Achmad Zuhdi Dh MFilI menjawabnya. Menurut dia ibadah kurban untuk orang sudah yang sudah meninggal dunia tidak ditemukan tuntunannya dalam syariat Islam.
“Tidak ada satu pun hadis yang menerangkan Nabi pernah berkurban untuk orang atau keluarganya yang sudah meninggal. Demikian pula di kalangan Sahabat juga tidak ditemukan riwayatnya,” terangnya, Sabtu (3/8/19).
Penjelasan itu ia sampaikan dalam Kajian Bulanan MTT PWM Jatim di Hall Sang Pencerah Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG). Ustadz Zuhdi—sapaannya—menyampaikan materi Ibadah Kurban sesuai dengan Tuntunan Himpunan Putusan Tarjih (HPT).
Dia menjelaskan, karena tiadanya dalil sahih tentang syariat kurban bagi orang atau keluarga yang sudah meninggal, maka ulama pun berbeda pendapat dalam menentukan hukumnya. “Sebagaian ada membolehkannya dan sebagian ulama yang lain tidak membolehkan,” jelasnya.
Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya itu memaparkan, satu-satunya ulama yang membolehkan berkurban untuk orang yang sudah meninggal adalah Ibnu Taymiyah.
“Dalam kitab Al-fatawa al-Kubra, Ibnu Taimiyah menulis kebolehan berkurban untuk orang yang meninggal oleh itu sama dengan belehnya haji dan sedekah atas nama orang yang sudah meninggal,” paparnya.
Sementara itu, lanjutnya, ulama yang tidak membolehkan alias tidak memandang sah berkurban atas orang yang sudah meninggal tanpa izin atau wasiat adalah Imam al-Nawawi.
“Dalam kitabnya Al-Minhaj, Imam al-Nawawi menulis: tidak bole berkurban atas nama orang lain tanpa ada izin darinya, dan tidak boleh berkurban atas nama orang yang sudah meninggal apabila tidak ada wasiat darinya,” jelasnya.
Nah, sambungnya, jika ulama berbeda berpendapat tentang berkurban atas nama orang yang sudah meninggal tanpa wasiat darinya, maka jumhur ulama membolehkan atau dan membenarkan berkurban atas nama yang sudah meninggal bila sebelum wafatnya sempat berwasiat atau bernadzar.
Ustadz Zuhdi menyabutkan, ada beberapa hadis tentang perintah melaksanakan nazar atau wasiat bagi orang meninggal. Salah satunya hadis riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas bahwa Sa’ad bin Ubadah pernah meminta fatwa kepada Rasulullah, “Ibuku telah meninggal dunia sedang dia mempunyai kewajiban nazar yang belum ia tunaikan?” Maka Rasulullah bersabda, “Tunaikanlah untuknya.”
Riwayat lain Bukhari dari Ibnu Abbas menyebutkan, sesungguhnya seseorang wanita dari Juhainah, dia berkata: sesunghuhnya ibu saya telah bernazar melakukan haji, tapi dia meninggal sebelum melaksanakan nazar hajinya. Apakah boleh melakukan haji menggantikannya? Nabi menjawab: “Lakukan haji untuknya. Bukankah kalau ibumu mempunyai hutang engkau wajib membayarnya? Tunaikan hak-hak Allah. Sesungguhnya hak-hak Allah lebih berhak untuk ditunaikan hak-haknya.”
Berdasarkan hadis-hadis tersebut dapat dipahami bahwa nazar yang belum sempat belum sempat dilakukan oleh seseorang semasa hidupnya, maka harus dilakukan oleh keluarganya setelah matinya. Hal ini berlaku nazar apa saja, baik nazar akan haji, puasa, ataupun nazar mau berkurban.
Nah, dengan demikian, tegas Zuhdi, kurban orang yang meninggal dibolehkan asal sebelum meninggal pernah bernazar atau berwasiat dan belum menunaikannya. “Adapun terhadap orang meninggal dunia tidak bernazar, tidak perlu berkurban atas namanya,” ujarnya. (*)
Reporter Aan Hariyanto. Editor Mohammad Nurfatoni.