Gerhana matahari telah pergi. Hiruk pikuk para penyambutnya telah berangsur surut. Tapi pagi tadi saya justru menangis. Dua koran nasional yang saya beli di perempatan jalan menjadi pemicunya. Halaman hitam dengan foto gerhana matahari total berhasil memancing air mata saya.
Ada rasa takjub, tentang keindahan gelap gerhana yang berhasil disajikan fotografer dan desainer perwajahan koran itu. Juga terselip rasa cemburu: kok saya tidak bisa menikmatinya langsung. Menikmati gelap di dalam terang siang hari. Di tempat saya memang terlihat gerhana, tapi parsial dan hanya menyuguhkan suasana temaram.
Tangisan makin kencang, ketika teringat apa yang saya sampaikan dalam khutbah shalat gerhana kemarin. Gerhana matahari ini luar biasa. Dan harusnya membuat kita bersyukur. Syukur yang sangat dalam. Syukur pertama, bahwa di zaman Rasulullah saw pernah terjadi gerhana.
Diriwayatkan bahwa saat itu beliau kehilangan seorang putra bernama Ibrahim, yang berusia 1,4 tahun. Meninggalnya Ibrahim bertepatan dengan gerhana. Masyarakat beranggapan bawah gerhana terjadi karena meninggalnya Ibrahim. Rasulullah lalu meluruskan: matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda (kekuasaan) Allah. Gerhana bukan terjadi karena kematian atau kelahiran.
Kemudian Rasulullah mengajak umat melakukan shalat; disamping memerintahkan doa, istighfar, dan sedekah. Inilah yang harus disyukuri. Bahwa Rasulullah mewariskan syariat untuk pedoman umat Islam bersikap dan beribadah ketika terjadi gerhana.
Saya menangis ingat apa yang saya sampaikan itu. Duhai, betapa sempurnanya Islam yang Allah turunkan melalui teladan Rasulullah itu. Dan saya bersyukur menjadi bagian darinya.