PWMU.CO – Salah satu permasalahan yang kerap diperbincangkan dalam ritual ibadah kurban adalah tentang status hukum pemanfaatan kulit hewan kurban yang dijualbelikan. Bagaimanakah sebenarnya hukum menjual kulit hewan kurban menurut syar’i?
Ketua Divisi Tarjih dan Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim Ustad Dr Achmad Zuhdi Dh MFilI menerangkan, di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat terkait status hukum menjual kulit hewan kurban.
Pasalnya, ada yang ngotot berpendapat menjual kulit hewan kurban itu tidak boleh karena seluruh hasil sembelihan (daging, kulit, tulang, tanduk atau lainnya) hanya boleh dibagikan. Sebaliknya, ada yang berpendapat boleh menjual kulit hewan kurban lalu dibelikan hewan kurban lagi.
Ustad Zuhdi—sapaannya—lalu menjelaskan, salah satu ulama yang melarang menjual kulit hasil sembelihan kurban itu di antaranya Imam Ahmad. Ia beralasan larangan menjual kulit hewan kurban sebagaimana hadits Nabi SAW: “Janganlah menjual daging hewan hasil sembelihan hadyu dan sembelian udh-hiyah (kurban).Tetapi makanlah, bersedakahlah, dan gunakanlah kulitnya untuk bersenang-senang, dan jangan kamu menjualnya.”
“Nah, Syaikh Syu’aib Al Arnawat mengatakan sanad hadits ini dha’f (lemah),” terangnya dalam Kajian Tauhid di Masjid Al Badar Kertomenanggal IV/2 Surabaya, Senin (5/8/19).
Dosen UINSA Surabaya itu melanjukan, selain hadits riwayat Ahmad tersebut ada juga hadis riwayat Al-Hakim dari Abu Hurairah yang melarang penjualan kulit hewan kurban, Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa menjual kulit hasil sembelihan kurban, maka tidak ada (nilai ibadah) kurban baginya.”
Tapi, ulama berbeda pendapat dalam menilai hadits ini. Menurut al-Hakim, sanad hadits ini sahih. Tapi Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan, dan Al-Dzahabi mengatakan dalam hadits ini terdapat nama perawi bernama Ibnu ‘Ayas yang didhaifkan oleh Abu Daud,” urainya.
“Walaupun status dua hadis di atas bermasalah, mayoritas ulama berpendapat menjual hasil sembelihan kurban termasuk kulitnya tetap terlarang,” paparnya.
Ustadz Zuhdi kemudian memberikan beberapa alasannya tidak bolehnya kulit hewan diperjualbelikan. Salah satunya kurban dipersembahkan sebagai bentuk taqarrub kepada Allah, yaitu mendekatkan diri kepadaNya, sehingga tidak boleh diperjualbelikan. “Alasan lainnya adalah seseorang tidak diperkenankan memberikan upah kepada jagal dari hasil sembelihan kurban,” terangnya.
Hal itu, jelasnya, didasarkan pada HR Bukhari dan Muslim dari Ali bin Abi Thalib RA:ِ “Rasulullah SAW memerintahkan aku untuk menyembelih hewan kurbannya dan membagi-bagikan dagingnya, kulitnya, dan alat-alat untuk melindungi tubuhnya, dan tidak memberi tukang potong (jagal) sedikitpun dari kurban tersebut. Tetapi kami memberinya(upah) dari harta kami”
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Imam Asy Syafi’i. Ia mengatakan, “Hewan kurban termasuk nusuk (hewan yang disembelih untuk mendekatkan diri kepada Allah). Maka hasil sembelihannya boleh dimakan, boleh diberikan kepada orang lain, dan boleh disimpan. Aku tidak menjual sesuatu dari hasil sembelihan kurban (seperti daging atau kulitnya). Barter antara hasil sembelihan kurban dengan barang lainnya termasuk jual beli.
“Jadi sebagian besar ulama berpendapat menjual kulit hewan kurban hukumnya terlarang karena hewan kurban tersebut (seluruhnya) sudah diniatkan untuk taqarrub atau persembahan kepada Allah, sehingga tidak boleh ada bagian dari hewan tersebut yang dijual. Tak terkecuali kulitnya,” jelasnya.
Sementara, berbeda dengan mayoritas ulama yang melarang penjualan kulit hewan kurban, Imam Hanafi berpendapat menjual kulit hewan kurban diperbolehkan. “Asal hasil penjualannya disedekahkannya (kepada fakir-miskin), maka hewan kurban diharapkan dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya,” urainya mengutip pendapat yang sama dikemukakan oleh Imam al-Awza’i, Ishaq, dan Abu Tsaur.
Ustadz Zuhdi menegasakan, sebagian ulama ada yang membolehkan menjual kulit hewan kurban, tetapi nilai penjualan (uangnya) tersebut disedekahkan lagi kepada fakir miskin. Misalnya, dengan dibelikan kambing yang kemudian dagingnya dibagikan kepada fakir-miskin, tidak diambil oleh orang yang berkurban atau oleh panitia untuk biaya operasional.
Pun demikian menurut MTT Pimpinan Pusat Muhammadiyah (PPM) yang pelarangan menjual kulit hewan kurban tersebut ditujukan kepada sahibul kurban (orang yang berkurban) karena dikhawatirkan adanya keinginan memiliki uang dari hasil penjualan kulit tersebut untuk kepentingan pribadi. Padahal niatnya adalah untuk taqarrub kepada Allah.
“Nah, bagaimana kalau penjualan kulit hewan itu bukan untuk kepentingan pribadi? Sementara itu yang berjalan di masyarakat sekarang ini pengelolaan hewan kurban berikut penyembelihan dan pendistribusian dagingnya ditangani secara kepanitiaan, sehingga akan terkumpul kulit hewan kurban yang banyak,” urainya.
Mengingat hal demikan, tegasnya, maka kulit hewan kurban dapat dijual dan uangnya bisa dibelikan hewan kambing atau daging, lalu dibagikan kepada fakir miskin, atau bisa saja digunakan untuk kemaslahatan agama. “Hanya saja untuk menentukan yang lebih maslahat dari dua kepentingan itu sebaiknya diserahkan kepada hasil musyawarah, tandasnya. (*)
Reporter Aan Hariyanto. Editor Mohammad Nurfatoni.