PWMU.CO – Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih sejak lama menyatakan bahwa qunut, baik dalam shalat Subuh maupun Witir, tidak disyariatkan. Namun, ada kejadian lucu akibat kekurangkomunikasian Takmir dengan Imam ketika shalat Tarawih-Witir di Masjid An-Nur Sidoarjo, Jl Mojopahit 666-B Sidoarjo. Di pusat dakwah Muhammadiyah Sidoarjo, Sabtu malam kemarin lusa (18/6), Imam yang didatangkan dari Mesir membaca doa qunut sesudah i’tidal sebelum sujud pada rakaat terakhir dalam shalat witir.
“Rabbanaa aatinaa fid dunya hasanah. Wa fil akhirati hasanah. Wa qinaa ‘adzaban naar,” begitu di antara beberapa doa qunut yang dibaca Imam Tabarak Kamil el-Laboody, hafidz internasional yang tercatat sudah hafal al-Quran sejak usia 4,5 tahun. Doa yang dibacanya memang bukan “allahumma fiiman hadait wa ’aafinii fiiman ‘aafait, wa tawallanii fiiman tawallait dan seterusnya” yang biasa dibaca kalangan non-Muhammadiyah. Melainkan doa harian, yang lazimnya dibacakan khatib shalat Jum’at saat khutbah kedua.
(Baca: Tarawih Bersama 3 Hafidz Internasional: Ketika Bunyi “A” Jadi “E”, dan baca juga: Serunya Tarawih dengan 3 Hafidz Internasional yang Bergantian Jadi Imam)
Lazimnya ketika warga Muhammadiyah saat bermakmum di belakang imam yang membaca qunut, mereka pun diam. Tak hanya tidak berucap “Amin” mengamini doa imam, bahkan angkat tangan berdoa pun tidak dilakukan. Begitu juga yang dilakukan jamaah Masjid An-Nur, yang juga hening ketika Imam sedang membaca doa yang cukup panjang itu. Ada yang tangannya lurus ke bawah, ada pula yang bersedekap.
Barulah setelah shalat Witir usai, bisik-bisik antarjamaah mulai terdengar samar-samar. Beberapa saat kemudian beberapa orang mengajukan pertanyaan dan komplain ke Takmir Masjid mempertanyakan “qunut” tadi. “Ya, ada miskomunikasi kami dengan Imam tentang masalah qunut ini,” begitu jelas salah satu takmir masjid, Abi Hasan.
(Baca: Kita adalah Media, Kita Dibaca atau Ditonton dan baca juga: Tiga Prinsip Pembaharuan dalam Muhammadiyah)
Takmir masjid pun bergerak cepat, menjelaskan pendapat Muhammadiyah tentang masalah qunut ini. Muhammadiyah memandang bahwa dalil-dalil yang menyatakan adanya doa qunut seperti riwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, riwayat an-Nasa’i, riwayat Ahmad dan riwayat Ibnu Majah dipandang kurang kuat karena ada perawi-perawi yang dipandang dhaif. Malam kedua pun, Ahad (19/6), imam pun sudah tidak membaca qunut lagi dalam rakaat akhir shalat witir.
Apapun yang terjadi pada Witir Sabtu malam itu, kerinduan warga Muhammadiyah untuk mendengar langsung bacaan merdu hafidz yang kini berusia 15 tahun itu terobati. Bahkan perlu “perjuangan” tersendiri untuk bisa menghadirinya. Sebab, Sabtu itu, ketika menu buka puasa yang disiapkan takmir Masjid An-Nur belum habis, angin kencang bertiup di Sidoarjo. Begitu kencangnya angin, semua pembatas yang memisahkan jamaah putra dan putri tumbang.
(Baca: Ini Dia Dua Hafidz Bersanad, Santri Muhammadiyah Madura dan baca juga Bolehkah Kita Berdoa dengan Potongan Ayat al-Qur’an?)
Tak cukup angin yang datang, ternyata hujan juga turun dengan lebat. Sidoarjo malam ini diguyur hujan. Takmir masjid pun ketar-ketir menanti kedatangan Tabarak yang malam itu memang dijadwalkan menjadi Imam shalat Tarawih. Kekhawatiran ini memang sangat wajar karena Tabarak dan keluarga seharusnya memang sudah hadir sejak shalat Maghrib dan berbuka bersama di masjid.
Namun, tersiar kabar bahwa Tabarak pada sore itu sedang kurang sehat. Ditambah hujan deras, maka semakin lengkap kekhawatiran takmir tentang kemungkinan sang imam tidak bisa hadir. “Alhamdulillah, walaupun hujan lebat, akhirnya Tabarak datang ke masjid An-Nur didampingi ayahnya Dr Kamil dan adiknya, Yazeed. Mereka langsung duduk di shaf pertama menunggu adzan Isya,” jelas Abi Hasan.
(Baca: Keshalehan Intelektual Itu Puncak Derajat Iman Seseorang dan baca juga 6 Ajaran Alquran tentang Pola Hidup Islami)
Terkait masalah qunut, di kesempatan berbeda, Wakil Ketua PWM DR Syamsuddin, menjelaskan bahwa yang ada tuntutannya dari Nabi Muhammad saw adalah qunut nazilah. “Yaitu qunut yang dilakukan setiap shalat selama satu bulan ketika kaum muslimin menderita kesusahan dan tidak hanya dikhususkan untuk shalat tertentu saja,” jelas dosen UIN Sunan Ampel Surabaya itu.
Dalam catatan hadits-hadits shahih, Nabi Muhammad melakukan qunut nazilah ini selama sebulan. Diantara doa yang dibacanya berisi kutukan terhadap orang-orang musyrik dengan menyebut nama-nama mereka. Sebelum akhirnya turun QS Ali Imran ayat 127: Laisa laka minal-amri syaiun, yang artinya “tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu”.
“Dalam pandangan Muhammadiyah, semua jenis qunut baik dalam shalat Subuh, Witir, maupun Nazilah telah mansukh (terhapus, red) atau tidak disyariatkan lagi setelah turunnya ayat 127 surat Ali Imran ini,” tegas Syamsuddin. Meski demikian, bukan berarti bermakmum di belakang imam yang membaca qunut membuat shalat menjadi tidak sah. Sebab, qunut memang masalah khilafiyah dalam fiqih yang sudah biasa terjadi sejak zaman dulu. (ernam)