PWMU.CO – Pasca era secularism, banyak muncul gerakan agama-agama baru (new religeous movement). Ada agama setan, bahkan ada juga agama yang ritualnya dengan melakukan hubungan seks.
“Kecenderungan beragama memunculkan banyak kepercayaan baru. Di Amerika muncul berbagai macam agama baru yang aneh-aneh. Salah satunya adalah agama setan. Yang disembah, ya setan. Mereka menganggap bahwa setanlah yang pantas menjadi tuhan. Agama yang nyeleneh ini cukup banyak digemari,” kata Prof Dr Din Syamsuddin dalam Kajian Ramadhan Jawa Timur 1437 H, beberapa waktu lalu.
Agama yang menggunakan hubungan seks sebagai ritualnya juga banyak digemari. Din menjelaskan, para penganut agama ini meyakini bahwa hubungan seks dapat mengantarkan umat manusia untuk lebih dekat kepada Tuhan.
(Baca: Drama di Balik Pencoretan 7 Anak Kalimat Pancasila Versi 22 Juni dan Kisah Siswa Katholik yang Selamatkan Sekolah Muhammadiyah di Kutai Kartanegara)
“Agama yang ritualnya dengan hubungan seks ini malah lebih nyeleneh. Tapi nyatanya, keyakinan ini juga cukup berkembang. Mungkin karena ritualnya enak,” seloroh Din. Di Indonesia gejala munculnya new religeous movement ini pun ada. Yang mengejutkan ada 43 kasus orang di Indonesia yang mengaku nabi baru.
Din mengatakan, landscape agama-agama sekarang memang menarik sekali. Pada tahun 2010-2020, bahkan diprediksi sampai 2050, dari sudut afiliasi keagamaan secara demografi, Islam akan tetap menjadi agama terbesar ke-2. Sementara ateis dan agnostis, dari 16 persen menjadi 13 persen.
“Jadi ada kecenderungan umat manusia untuk beragama. Dan yang menarik, dari prosentase muslim yang banyak itu, pada tahun 2050 Indonesia sudah tidak lagi menjadi umat Islam terbesar di dunia. Tapi sudah menjadi nomor tiga, dikalahkan India dan Pakistan,” papar Din.
(Baca: Kakak-Adik Anak Penjual Timba Keliling, Pimpin Muhammadiyah-Aisyiyah Sukodadi Lamongan dan Narkoba dan HIV-AIDS Meningkat, Saatnya Muhammadiyah-NU Bersatu)
“Menanggapi tantangan ini maka harus ada harmoni fikir dan zikir yang dikembangkan ke arah yang berkemajuan. Lebih kepada aktualisasi. Jadi tidak sekadar mengharmonisasikan,” tegas Din.
Dalam Surat Ali Imran 191 membicarakan zikir dan fikir yang tidak bisa dilepaskan dari konteks ulul albab. Ulul albab tidak sekedar mufakkir atau mutsaqqif (orang yang berbudaya). Namun juag harus memiliki dimensi esoterik. “Pemikir Iran, Ali Sariati menyebutnya al–mufakkir al–munawwir. Pemikir yang tercerahkan dan mampu untuk memberikan pencerahan,” pungkasnya. (ilmi)