PWMU CO – Dengan perspektif jurnalistik, mudah memahami mengapa film Joker begitu laris. Tidak banyak film yang mengambil peran antagonis sebagai tokoh sentral, inilah yang disebut faktor keunikan.
Sisi kontroversial menjadi alasan juga, memicu perdebatan publik soal kejahatan dan kebaikan, artinya film ini juga didukung faktor konflik dan pertentangan. Faktor lainnya adalah kesamaan, sebagai antitesis dari sudut pandang hero, Joker meletakkan kelahiran tokoh jahat sebagai fenomena logis.
Dekat dengan kehidupan riil masyarakat modern. Film yang dibintangi Joaquin Phoenix itu mengajak penonton merasa bagian dari film itu, “Lihatlah, keadaan di luar kacau,” berkali-kali diucapkan dalam dialognya.
“Orang jahat lahir dari orang baik yang disakiti,” meme itu pun menjadi kesimpulan sebagian penonton. Sebagian lagi tidak sepakat dan membuat kontrameme-nya, “Itu karena kamu miskin, kalau kaya kamu jadi Batman.” Bisa jadi. Tapi bagaimanapun keberadaan “Joker-Joker” di tengah masyarakat kita lebih nyata adanya dibandingkan keberadaan “Batman-Batman”.
Lebih banyak Arthur Fleck di antara kita dibandingkan Bruce Wayne. Lihat saja tiap hari selalu ada kriminal khas Arthur Fleck tapi sangat jarang pahlawan khas Bruce Wayne. Dalam kehidupan kita, Bruce Wayne akan cenderung mengikuti cara hidup ayahnya daripada menjadi Batman.
Sebenarnya, Arthur tidak menjadi penjahat karena disakiti. Ia menjadi penjahat lebih karena merasa tidak dipedulikan, seperti motif kejahatan awal Gru dalam Despicable Me. Sebagaimana kriminologi Bioekologis Urie Brofenbenner, penjahat muncul sebagai hasil dari relasi faktor personal dan kerusakan sosial di sekitarnya.
Arthur merasa orang lain—bahkan pemerintah—tidak memedulikannya, memperoloknya, bahkan mengeksploitasinya. Itulah yang ia katakan saat membunuh rekan badutnya, Murray sang komedian, dan konsultan pekerja sosialnya. “Engkau tidak pernah mendengarkanku,” ujarnya.
Tepat ketika Arthur hendak memilih mati karena merasa hidupnya adalah tragedi, saat itulah pergeseran nilai moralnya muncul. Alih-alih memilih mati seperti ia tuliskan dalam buku catatannya, “Barangkali kematianku lebih masuk akal daripada hidupku,” ia mengubah perspektif tragedi menjadi komedi. “Jika kalian menganggap segala penderitaanku adalah lelucon, bagaimana jika engkau kubuat menderita juga agar sama-sama kita berkomedi,” mungkin seperti itu pikirannya. Dalam dramaturgi kehidupan, suatu takdir bisa dianggap tragedi oleh seseorang tapi mungkin saja jadi komedi bagi orang lain.
Ironisnya, situasi yang dialami Arthur adalah situasi yang juga kita alami. Gotham kacau oleh kesenjangan ekonomi, minimnya lapangan pekerjaan, dan kohesi sosial yang lemah. Diperparah pejabat yang tidak peduli pada kesulitan masyarakatnya. Bukankah itu terdengar familier? Seberapa sering kita mendengar ketidakpedulian pemerintah pada kesulitan hidup rakyatnya?
Atau seberapa sering politisi yang tertangkap korupsi malah tersenyum di depan kamera? Bukankah mereka itu menganggap kesulitan masyarakat bukan sebagai tragedi tapi malah sebagai komedi? Bahayanya jika masyarakat melihat pergeseran nilai tragedi ke komedi ala Joker ini bisa mereka tiru melalui tindakan mimetik.
Lalu jika Joker-Joker ini bermunculan, apakah Batman akan muncul dan berhasil? Saya tidak yakin. Selain karena paradoks tindakan Batman itu sendiri—menegakkan hukum di luar jalur hukum, juga efektivitasnya. Dalam jangka panjang, tindakan pre-emtif lebih baik daripada represif. Dalam konteks inilah apa yang dilakukan Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan adalah mencegah munculnya Joker-Joker.
Bukankah ketika Kiai Dahlan mengajak muridnya menyantuni fakir miskin adalah bentuk pengajaran kepedulian? Bukankah ketika Kiai Soedjak mengajak mendirikan PKO pada 1920 agar Muhammadiyah punya hospital, armhuis, dan weeshuis adalah tindakan menghadirkan kepedulian?
Dengan gerakan pendidikan dan filantropinya Muhammadiyah juga hadir meringankan—kalau bukan disebut mengisi kekosongan—kewajiban negara pada rakyat? Itu semua adalah gerakan yang efektif mencegah munculnya Joker-Joker di Indonesia, bukan sekadar represif memberantasnya.
Jadi Alfred, ajaklah Bruce belajar ke Muhammadiyah. Daripada nanti ia harus ronda tiap malam di atas pencakar langit Gotham. Siapa tahu ia bisa mendirikan Pimpinan Cabang Istimewa di sana. (*)
Kolom oleh Ahmad Faizin Karimi, penikmat film, peneliti JPIP, dan mahasiswa doktoral Sospol UMM.
Discussion about this post