PWMU.CO – Wakil Menteri sudah ditunjuk. Tuntas sudah susunan Kabinet Indonesia Maju. Ibarat panggung pertunjukan, penonton tinggal menunggu penggalan-penggalan episode berikutnya.
Apakah bernuansa opera, tragedi, melodrama, komedi dan sebagainya. Apakah penonton memberi applaus. Menertawakan karena tidak lucu. Menyuruh turun panggung. Waktu juga nanti yang bicara.
Wajar jika penonton sangat penasaran karena sejak awal proses penyusunannya dikemas dalam dramartugi yang apik. Sineasnya berkelas. Ibarat musik, kadang nadanya datar seperti campursari, kadang nge-hits seperti heavy metal rock.
Berbeda dengan di Somalia. Di negara Afrika itu, kabinet disusun dalam suasana heboh. Hiruk pikuk. Panas dingin. Bahkan ada sitegang. Miriplah dengan pembagian senampan nasi (gampangnya sebut saja tumpeng, tapi di Somalia tidak ada tumpeng) di panti jompo. Yang namanya panti jompo itu penghuninya adalah orang-orang tua.
Kalau mangga, tambah tua tambah ranum dan manis. Kalau kelapa, semakin tua semakin mantap minyaknya. Tapi manusia, terkadang, sekali lagi terkadang, ketika tua secara psikologis kembali seperti anak-anak. Misalnya, orang tua itu sensi. Mudah tersinggung.
Orangtua itu egois. Merasa paling benar, paling top. Orang tua itu dikit-dikit baper. Mudah nelangsa tapi juga mudah marah. Mudah merajuk tapi juga mudah menghardik. Terkadang seperti kucing yang manji alias manja-manja jinak tapi sontak berubah jadi macan yang galak.
Orang tua itu kadang seperti layar komputer yang jelas, tapi juga bisa seperti buku tua yang sudah kusam. Bisa layaknya danau yang bening tenang, tapi bisa juga seperti pertemuan arus sungai dengan air terjun. Membagi tumpeng di panti jompo itu tidak mudah.
Besaran tumpengnya terbatas tapi yang ingin mendapat bagian sangat banyak. Semuanya ingin kebagian. Tapi tidak mungkin dibagikan kurang dari takarannya. Bahkan yang nambah repot, minta lauk yang paling lezat. Ibaratnya semua minta daging ayam dan telor. Tidak mau lauk tempe dan terong.
Ada yang menuntut harus mendapat bagian paling banyak karena merasa berjasa paling besar dalam proses pembuatan tumpeng. Ada yang sudah menyebut angka 10 porsi. Jumlah itu sesuai jumlah saham menurut kalkulasinya sediri. Metode kalkulasinya pakai terawangan.
Ada juga yang lucu. Gayanya tidak minta. Tapi kalau diberi juga tidak emoh. Dan di belakang mengancam-ancam. Kalau tidak diberi bagian, akan ciak beling. Setelah itu ngamuk. “Lihat saja, entah apa yang merasukiku,” kata seorang. Ya tokoh jompo tentunya.
Pesta selesai tambah heboh karena orang-orang jompo yang tidak masuk panti juga mengharap uncalan. Gogrokan juga tidak apa-apa. Mereka duduk memelas layaknya orang kelaparan menunggu pesta selesai. Yang penting dapat. Dan itu sudah cukup bikin hepi.
Setelah tumpeng ludes dibagi, ada yang puas karena mendapat bagian yang memadai. Ada yang tidak puas. Karena sekalipun porsinya sesuai harapan tapi lauknya bukan yang diharapkan. Maunya telor mendapat tewel.
Ada juga yang sudah mendapat bagian sesui takaran, tapi setelah melihat tetangganya mendapat bagian lebih banyak dan lebih lezat, nggerundel alias kesal. Menjadi persoalan ketika tumpeng rampung tapi masih banyak yang ngomel. Histeris. Merajuk. Mengungkit-ungkit. Membanding-bandingkan dengan tetangga. Menangis.
Supaya semuanya reda maka mereka diberi nasi kucing. Nasi dibungkus kecil-kecil. Lauknya bisa srundeng saja. Ikan teri. Kering tempe. Sambal goreng cecek. Yang menerima sudah senang. Kaidah yang dipakai: jika tidak dapat semuanya, yang satu jangan dilepas. Sekali lagi analog itu cocoknya untuk Somalia. Maklum negara itu mengalami pasang surut demokrasi. Dari otoriter-diktatorial menuju demokrasi. Demokrasi baru muntup-muntup, naga-naganya mau berubah lagi. Entah mau berubah apa.
Lantas apa yang agak cocok untuk analog Kabinet Indonesia Maju? Saya belum menemukan yang pas banget. Hanya sekadar otak-atik, menteri itu seperti taksi on line. Sejak awal tujuannya jelas. Jalurnya jelas. Sesuai aplikasi. Tidak boleh bergerak mengikuti jalur buatan sendiri. Harus manut dawuh dan petunjuk CEO.
Dan yang menarik, baru di kabinet ini Menteri Koordinator memiliki hak veto terhadap menteri di bawah koordinasinya. Dulu Menko itu seolah mobil indah yang diparkir. Tidak memiliki kekuaatan apa-apa. Hanya seremonial saja. Misalnya jadi inspektur upacara. Maka jangan heran kalau ada menteri dipanggil Menko tidak pernah mau datang seumur-umur.
Menteri sekarang harus maju kena. Maksudnya kena sasaran programnya. Kena misi yang diembannya. Bukan kena KPK. Meskipun di era KPK dengan undang-undang baru, hal itu seperti akan sangat langka. Jika malah bukan mustahil. Bisa juga kena reshufle jika kinerjanya buruk. Atau ada perubahan selera politik. Karena kinerja dengan selera bisa saja tidak sejalan seiring.
Dan yang lebih utama, jangan sampai menjadi menteri yang maju kena wewaler (pantangan) melik nggendong lali. Lupa diri. Tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaan. “Kekuasaan itu memabukkan,” kata narasi di National Geographic, 21 Mei 2019 menutup tayangan singa yang menganiaya leopard hanya karena mengambil sisa makanannya untuk dibagikan kepada anaknya yang kelaparan.
Dan manusia memiliki naluri dan tabiat kebinatangan. “Mereka seperti binatang ternak. Bahkan lebih sesat. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (Al A’raf: 179). Itulah orang yang melik nggendong lali. Allahu a’lam bis-shawab. (*)
Kolom oleh Anwar Hudijono, wartawan senior