PWMU.CO – Prof Dr Abdul Munir Mulkhan mengatakan secara kultural umat Islam Indonesia adalah pengikut Muhammadiyah. Hal itu dicirikan dengan pemikiran yang modern dan berkemajuan, karena tak ada lagi yang menolak sekolah dan dengan gencar mengkritik shalat id di lapangan. Untuk itu, lanjut Munir, kalangan muda Muhammadiyah harus bisa memanfaatkan situasi tersebut dengan terus mengembangkan dakwah kultural. Sehingga bisa lebih dekat dengan masyarakat.
”Ini perlu menjadi perhatian Muhammadiyah yang tidak bisa bekerja untuk dirinya sendiri, tapi bekerja untuk publik,” Kata Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini dalam Tadarus Pemikiran Islam kerjasama Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Kamis (30/6).
(Baca: Jurnal Keilmuan Khusus Muhammadiyah Itu Diluncurkan dan Haedar Nashir Apresiasi Gelaran Tadarus Pemikiran Islam)
Karena bekerja untuk publik, Muhammadiyah sebagai organisasi harus mengabdi pada kemanusiaan. Menurut Munir itu selaras dengan asas Pembina Kesejahteraan Umat (PKU) sebagai salah satu fondasi amal usaha Muhammadiyah. Selain itu Muhammadiyah dalam melaksanakan proses pendidikan dan pelayanan kesehatan, tidak pernah memaksakan seseorang untuk menjadi kadernya.
”Bukan agar non-Muslim menjadi Islam, sama sekali bukan. Apalagi agar yang Muslim jadi Muhammadiyah, juga bukan. Tetapi Muhammadiyah melakukan semua itu semata-mata demi kemanusiaan. Ini bukan pernyataan saya. Tapi itu tertulis jelas dalam PKU,” tegasnya.
Sementara itu Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr Syamsul Hidayat MA mengatakan, di tengah dinamisasi dan progresivitas gerakan Muhammadiyah, keragaman pemikiran adalah hal yang tak terelakkan. Namun dalam menyikapi keragaman di lingkup internalnya, Muhamamdiyah berbeda sekali dengan gerakan purifikasi (pemurnian) lainnya. ”Kalau gerakan purifikasi yang lain, sedikit berbeda pendapat saja langsung pecah,” ujarnya.
(Baca:Kegelisahan Aktivis Muda Muslim pada Ustadz Selebritis dan )
Syamsul mencontohkan gerakan Salafi di Indonesia. Ia membagi Salafi di Indonesia setidaknya terdapat lima macam. Dari kesemuanya itu, menurut Syamsul, meski menggunakan kitab dan rujukan yang sama, tetap terjadi perbedaan pendapat, yang lantas mengarah pada perpecahan. Lain hal dengan Muhammadiyah yang menurut Syamsul melihat perbedaan di Internalnya sebagai sebuah kekayaan.
”Untuk menghadapinya, kita harus penuh kesabaran memang. Tapi kalau disebut di dalam Muhammadiyah ada yang mengharamkan filsafat, itu hanya sebagian kecil saja. Tidak banyak,” tandas Ketua Program Studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Universitas Muhammadiyah Surakarta ini (Nas/aan)