PWMU.CO – Dalam pelaksanaan shalat Idul Idul Fitri maupun Idul Adha (dan juga shalat jenazah), mungkin kita melihat ada sesuatu yang berbeda. Pada saat takbir yang pertama (takbiratul ikram), semua jamaah semuanya mengangkat tangan “Allahu Akbar”. Kemudian dalam takbir selanjutnya hingga ketujuh (dalam shalat Idul Fitri rakaat pertama, misalnya), sebagian jamaah mengangkat tangannya dan sebagian lainnya tidak. Lantas, bagaimana sebenarnya hal ini bisa muncul dalam masyarakat?
Sebelum masuk pada inti persoalan, perlu dijelaskan tentang nama takbir yang “berulang” tersebut. Takbir yang dilakukan sesudah takbiratul ihram, baik dalam shalat Id maupun shalat Jenazah itu, disebut takbir zawaid, yakni takbir tambahan. Dalam hal ini, memang ada ikhtilaf di kalangan ulama, apakah dalam selain takbiratul ihram itu memang harus angkat tangan. Pendapat para ulama itu, ada yang mengangkat dan ada yang tidak.
(Baca: Redaksi Takbiran: Allahu Akbar 2 atau 3 Kali? dan Kisah Islamnya Firanda dan Bimbingan Ibu-Ibu Aisyiyah)
Dalam Muhammadiyah misalnya, sebagimana yang diputuskan Majelis Tarjih dan tertuang dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT), nampaknya memilih yang mengangkat tangan (halaman 245). Hal itu berdasarkan pada dalil yang berbunyi sebagai berikut:
لِمَا اَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ الْحَافِظُ بِسَنَدٍ صَحِيْحٍ وَعَلَّقَهُ الْبُخَارِيُّ وَوَصَّلَهُ فِى جُزْءِ رَفْعِ الْيَدَيْنِ اَنَّهُ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِى جَمِيْعِ تَكْبِيْرَاتِ الْجَنَازَةِ
Menilik hadits Baihaqi dari Ibnu Umar: Kata Alhafizh: Sanadnya shahih, dan oleh Bukhari dimu’allaqkan dan bagian yang menerangkan “mengangkat tangan” sanadnya disebut muttasil (bersambung) bahwa Nabi saw mengangkat kedua tangannya dalam semua takbir shalat Jenazah. (Dikutip dari Nailul Aurthar Juz IV halaman 104)
(Baca: Dalam Fiqih, Muhammadiyah Itu Bukan NU dan 6 Penyakit yang Perlu Diwaspadai Terkait Lebaran)
Diantara Imam Madzhab yang berpendapat harus angkat tangan ialah Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, berdasar umumnya hadits Nabi saw:
اَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِى كُلِّ تَكْبِيْرَةٍ كَبَّرَهَا فِى الصَّلاَةِ وَهُوَ قَائِمٌ (رواه الشافعي وأحمد)
Bahwa Nabi saw biasa mengangkat kedua tangannya dalam setiap takbir dalam shalat sedang beliau dalam keadaan berdiri.
Juga Imam Malik, yaitu ketika ditanya tentang mengangkat tangan dalam takbir zawaid, dia menjawab:
نَعَمْ، اِرْفَعْ يَدَيْكَ مَعَ كُلِّ تَكْبِيْرَةٍ، وَلَمْ اَسْمَعْ شَيْئًا
Ya, silakan Anda mengangkat kedua tangan dalam setiap takbir, tetapi dalam hal ini saya tidak pernah mendengar (riwayat dari Nabi) sedikit pun. (Al-Firyabi Jilid II, halaman 136).
Diantara atsar sahabat yang mengangkat tangan antara lain Ibnu Abas dan Anas bin Malik.
(Baca: Apa yang Perlu Disiapkan dan Dilakukan Jelang-Saat Lebaran? Ini Himbauan Muhammadiyah)
Sementara imam Madzhab yang tidak mengangkat adalah Abu Hanifah, karena tidak ada riwayat shahih dari Nabi saw yang secara khusus mengangkat tangan dalam shalat Jenazah. Sementara hadits yang menerangkan Nabi saw mengangkat tangan dalam takbir shalat Jenazah seperti yang dikutib al-Baihaqi (4: 38) dan Tirmidzi (No. 1077) adalah tidak sah. Sebab, dalam sanadnya ada seorang bernama Yahya bin Ya’la al-Aslami dan Abu Farwah Yazid bin Sinan, yang keduanya dla’if. Keterangan lebih lanjut bisa dilihat dalam kitab Zaadul Ma’ad, juz I, halaman 492.
Syekh Muhammad Nashiruddin Albani mengutip riwayat al-Atsram dengan tambahan shalat Id:
اَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ مَعَ كُلِّ تَكْبِيْرَةٍ فِى الْجَنَازَةِ وَالْعِيْدِ – وَعَنْ زَيْدٍ كَذَلِكَ
Bahwa Ibnu Umar biasa mengangkat kedua tangannya dalam setiap takbir dalam shalat Jenazah dan Id. Begitu pula Zaid (bin Tsabit). (Al-Atsram halaman 151)
Dan dalam riwayat al-Baihaqi (III: 293):
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ مَعَ كُلِّ تَكْبِيْرَةٍ فِي الْجَنَازَةِ وَالْعِيْدَيْنِ (راه البيهقي)
Bahwa Umar bin Khathab biasa mengangkat kedua tangannya dalam setiap takbir dalam shalat Jenazah dan dua hari raya.
Namun kedua riwayat tersebut oleh Albani di-dla’if-kan, karena yang pertama ada seorang rawi bernama Ibnu Lahi’ah yang dikenal dla’if, sedang yang kedua adalah munqathi’ (putus hubungan) antara Ibnu Lahi’ah dan Bakr bin Saudah, salah seorang perawi hadits itu. (Irwa’ul Ghalil, juz III, halaman 112).
(Baca: Kegelisahan Aktivis Muda Muslim pada Ustadz Selebritis dan Serunya Tarawih dengan 3 Hafidz Internasional yang Bergantian Jadi Imam)
Berdasar penelitian tersebut, Albani berpendapat tidak angkat tangan. Sedang hadits umum yang membicarakan Nabi saw angkat tangan dalam setiap takbir dalam keadaan berdiri itu, dalam konteks shalat pada umumnya, bukan untuk shalat Jenazah dan Id.
Hal ini sama dengan Imam Tsauri dan Fuqaha ahlu Kufah. Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah Juz I halaman 439 juga demikian, yang katanya dengan mengutip perkataan Ibnu Hazim dalam al-Muhalla (5:128).
وَأَمَّا رَفْعُ اْلأَيْدِى فَإِنَّهُ لَمْ يَأْتِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ رَفَعَ فِي شَيْئٍ مِنْ تَكْبِيْرِ الْجَنَازَةِ إِلاَّ فِي أَوَّلِ تَكْبِيْرَةٍ فَقَطْ، فَلاَ يَجُوْزُ فِعْلَ ذَالِكَ لأَنَّهُ عَمَلٌ فِي الصَّلاَةِ لَمْ يَأْتِ بِهِ نَصٌ
Bahwa mengangkat tangan dalam takbir shalat Jenazah itu tidak ada satupun riwayat dari Nabi saw selain dalam takbiratul ihram saja. Karena itu tidak boleh melakukan yang demikian, karena angkat tangan itu amalan shalat yang tidak ada nashnya.
وَالْحَاصِلُ أَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ فِي غَيْرِ التَّكْبِيرَةِ الأُولَى شَيْءٌ يَصْلُحُ لِلِاحْتِجَاجِ بِهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَفْعَالُ الصَّحَابَةِ وَأَقْوَالُهُمْ لاَ حُجَّةَ فِيهَا
Beliau mengutip pendapat Imam Syaukani dalam Nailul Authar. Walhasil tidak ada satu pun keterangan yang tegas dari Nabi yang layak dijadikan hujjah tentang angkat tangan ini selain takbir pertama; takbiratul ihram. Sedang af’aalush shahaabah dalam hal ini juga tidak bisa dijadikan hujjah.
(Baca: Kenapa Umat Islam Indonesia Tak Semuanya Muhammadiyah? Ternyata Inilah Penyebabnya)
Dari bacaan-bacaan ini, sebagian mubaligh ada yang tidak mengangkat tangan dalam takbir zawaid. Seperti almarhum KH Mu’ammal Hamidy misalnya, menyatakan belum pernah menemukan atau mendengar (hadits) yang membicarakan angkat tangan ini barang sedikitpun. Karena itu, Mu’ammal memilih “tidak angkat tangan”, dengan mengembalikan masalah pada asalnya.
Meski demikian, harus dipahami bahwa “(tidak) mengangkat tangan dalam takbiran” ini merupakan masalah khilafiyah. Sehingga biarlah masing-masing melaksanakan menurut pendapat yang dianutnya. Apalagi dalam kaidah tarjih sendiri juga dikatakan, setelah mengambil keputusan ma’a ‘adami ibthaali ra’yi ghairihi, tanpa membatalkan pendapat lain. (*)