PWMU.CO – Aspek kedua dari ketauladanan kita kepada baginda Rasul adalah aspek ritual atau ubudiyahnya. Dalam melakukan ibadah-ibadah ritual dalam Islam disyaratkan apa yang disebut tawqiifi. Atau berhenti melakukan sesuatu secara ritual kecuali memang diperintahkan, baik melalui ayat-ayat Alquran maupun sunah Rasulullah SAW.
Memang secara umum agama mengatur bahwa semua urusan ibadah ritual harus dilakukan dengan dua dasar. Yaitu niat yang benar dan mengikut kepada tata cara Rasulullah SAW dalam melakukannya (al-ittiba’).
Dan karenanya meneladani Rasulullah SAW dalam melaksanakan ibadah ritual adalah sebuah keharusan. Ibadah-Ibadah ritual yang dilaksanakan tidak sesuai sunnahnya jelas tertolak (fahuwa raddun).
Masalahnya kemudian adalah dalam upaya kita meneladani Rasul dalam ibadah-ibadah ritualnya juga tidak lepas dari adanya multi tafsir dan opini. Karena ketika sudah masuk dalam ranah teknis, diperlukan penjelasan-penjelasan rincian dari acuan ibadah itu.
Contoh dalam Alquran sebagai misal, perintah mengusap kepala dengan tangan basah (imsahu birusikum) ketika berwudhu. Dari ayat yang sama minimal ada empat pendapat. Tentu bagi warg Indonesia yang mayoritas bermadzhab Syafi’i mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa mengusap kepala berarti sebagian kepala. Cukup walau hanya tiga lembar helai rambut sekalipun.
Tapi ada pula yang berpendapat seperdua, sepertiga, bahkan mengusap kepala di sini adalah keseluruhan. Lalu kenapa terjadi perbedaan pendapat seperti itu? Jawabannya karena memang tabiat agama ini seperti itu.
Agama ini memberikan ruang kepada pemeluknya untuk berpendapat. Sesuatu oleh banyak orang tidak dihargai (appreciated). Ruang berpendapat inilah yang lebih dikenal dengan istilah ijtihad. Sesuatu yang sangat didorong (encouraged) oleh Rasulullah SAW.
Beliau bersabda: “Barangsiapa yang berijtihad dan benar maka dapat dua pahala. Dan barangsiapa yang berijtihad dan salah maka dia dapat satu pahala.”
Pintu ijtihad yang terbuka luas bagi para ulama inilah yang menjadikan terbukanya pintu perbedaan yang luas juga. Sesuatu dalam khazanah keilmuan yang dari dulu sangat dihargai. Hanya mereka yang gagal paham tentang agama ini yang berusaha menjegal pintu-pintu ijithad ini.
Dan sejujurnya karena terbukanya pintu-pintu ijtihad ini pula menjadikan umat terpacu untuk melakukan eksplorasi intelektualitas (keilmuan). Yang dengan ketinggian intelektualitas itu mereka telah membangun peradaban dunia yang dahsyat di masa lalu. Akar-akar pohon peradaban Islam itulah sesungguhnya menumbuhkan paradaban Barat yang diakui sebagai peradaban yang berkarakter modernitas.
Sebaliknya di saat pintu-pintu ijtihad dipersempit, bahkan kebebasan berpikir dibelenggu, saat itulah terjadil kejumudan atau kebekuan intelektualitas. Keadaan ini berakibat kepada kebekuan karya dan inovasi umat. Tentunya inilah yang kemudian membawa kepada realita yang menyedihkan. Umat terbelakang dan termarjinalkan hampir dalam segala aspek kehidupan manusia.
Kembali kepada keteladanan (sunah) Rasul dalam urusan ubudiyah menjadi bagian integral (tak terpisahkan) dari sunah-sunah Rasulullah SAW. Bahkan di aspek inilah umat sangat ketat, bahkan tidak jarang mengantar kepada sikap yang mudah saling menyalahkan.
Tuduhan kurang sunah, bahkan saling membid’ahkan seringkali terjadi dalam urusan ubudiyah ini. Padahal begitu fleksibelnya Rasulullah SAW dalam menyikapi perbedaan-perbedaan itu. Tentu selama masih dalam batas-batas ushul syariah. Ushul yang kita maksud adalah rujukan utama agama. Yaitu Alquran dan Sunah Rasul.
Mungkin kisah sekelompok sahabat yang diperintah oleh Rasulullah SAW untuk berangkat ke Kota Bani Quraizhah. Perintah Rasulullah SAW agar jangan melaksanakan shalat Asar (dalam riwayat Muslim shalat Dhuhur) hingga sampai di kota yang dituju.
Di tengah jalan sebagian tetap shalat di saat waktu Asar telah tiba. Dan sebagian lainnya tetap mengikuti perintah Rasul untuk tidak shalat Asar.
Menyikapi itu Rasulullah SAW tidak meyalahkan salah satunya. Bahkan keduanya dibenarkan oleh beliau. Sebuah sikap yang luas, fleksibel dalam menyikapi adanya multi-opini di kalangan umatnya. Sikap yang mendahulukan aspek positif ketimbang mencari kesalahan.
Ingat, ini di saat beliau masih hidup. Beliau masih ada di tengah-tengah umatnya. Yang pastinya ketika beliau telah memerintahkan sesuatu maka tak boleh lagi ada penafsiran. Tapi beliau justru tidak menyalahkan mereka yang shalat di tengah jalan. Karena Rasul tahu mereka lakukan juga karena komitmen agama. Yaitu perintah Allah, “Sesungguhnya shalat itu ada waktu yang ditetapkan.”
Pada poin ini kesimpulan yang kita ambil adalah bahwa keteladanan kepada Rasul dalam urusan ubudiyah harus diikuti. Tapi pada sisi lain keteladanan itu jangan pula merendahkan keteladanan kita kepada beliau di aspek yang lain.
Dengan kata lain, umat harus serius dalam mengikuti sunahnya pada urusan ubudiyah. Bersunnah kepada beliau dalam melaksanakan ibadah-ibadah ritual. Jangan sampai dalam beribadah kita terlalu nyaman dengan kebuiasaan bertaklid buta kepada lingkungan di sekitar kita.
Namun semangat itu jangan pula melalaikan kita dalam meneladani karakter beliau dalam menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada. Karena akhirnya kembali akan terjadi perilaku paradoks. Merasa sunah tapi melanggar sunah sekaligus. (*)
New York, 2 Desember 2019
Kolom oleh Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation dan Pendiri Pesantren Nur Inka Nusantara Madani US.
Editor Mohammad Nurfatoni.