PWMU.CO – Fenomena perang atau konflik militer di Timur Tengah akhir-akhir ini makin unik dan kadang anakronistik. Perang di Suriah, Libya, dan Yaman adalah contohnya.
Perang siapa melawan siapa tidak lah jelas: campur baur, hantu blau, tidak karu-karuan. Campur tangan asing, meskipun selalu dibantah karena memang sulit dibuktikan secara empiris, tapi jejak-jejaknya bisa diidentifikasi oleh banyak pengamat secara mudah. Masing-masing negara besar, baik besar dalam konteks regional Timur Tengah maupun besar secara internasional, mempunyai proxy-nya masing-masing di negara arena perang tersebut.
Dunia Arab dan Timur Tengah betul-betul menjadi ajang permainan negara-negara besar tanpa belas kasihan. Anak-anak dan perempuan menjadi korban kebengisan ambisi politik hegemoni mereka.
Perang dan konflik Israel-Lebanon juga tidak kurang unik, rumit dan anakronistiknya. Perang biasanya terjadi antara satu negara melawan negara yang lain, atau sekelompok negara yang beraliansi melawan sekelompok negara yang lain.
Atau bisa juga terjadi antara negara (baca: pemerintah, government) yang diwakili oleh kekuatan militernya, melawan “pemberontak” yang sering disebut sebagai perang saudara atau civil war (al-harbu al-ahli): perang negara melawan pemberontak (dari perspektif penguasa), atau perang pembebasan melawan penguasa yang dzalim (dari perpektif nonpenguasa).
Contohnya adalah perang saudara di Suriah sekarang ini: dalam pandangan Presiden Bashar Asad perang Suriah adalah perang menumpas pemberontak, sementara dalam pandangan “pemberontak” adalah perang para pejuang melawan Penguasa yang dzalim.
Perang atau konflik senjata Israel dan Lebanon sekarang ini tidak masuk dalam kategori perang dalam pengertian yang konvensional tersebut. Israel adalah sebuah negara meskipun nyatanya belum mendapatkan pengakuan dunia internasional seutuhnya.
Dari 22 negara Arab saja rasanya baru Mesir, Yordania, dan Maroko yang mengakui negara Israel dan membuka hubungan diplomatik dengan saling tukar-menukar mengirimkan duta besarnya.
Di luar negara Arab juga masih banyak yang belum mengakui Israel sebagai negara yang berdaulat. Di Asia Tenggara saja masih ada tiga negara yang tidak atau belum mengakui Israel: Indonesia, Malaysia, dan Brunai Darussalam. Jadi banyak yang belum mengakui Israel.
Tetapi meskipun belum diakui oleh semua negara di dunia ini, berkat dukungan total negara-negara Barat, awalnya terutama Inggris dan kemudian yang paling menonjol dan tanpa tedeng aling-aling Amerika Serikat, yang luar biasa besar dan gigih itu, eksistensi Israel telah menjadi sangat kuat.
Jadi secara eksistensial Israel itu de facto sudah exist! Namun secara legal atau de jure belum diakui sepenuhnya. Hanya karena negara-negara yang mengakui dan bahkan mendukungnya kebanyakan adalah negara-negara yang maju dan kuat, bahkan megara-negara yang terhitung adidaya dunia, maka Israel juga menjadi sangat kuat. Apalagi mereka telah membangun sebuah aliansi politik yang sangat kokoh.
Aliansi Israel dengan negara-negara Barat rasanya tidak mungkin merenggang, apalagi pecah dan berakhir. Pasalnya, Israel adalah anak kandung negara-negara Barat. Kasarnya anak kandung imperialisme Barat!
Bagaimana mungkin antara ibu dan anak kandungnya bisa dipisahkan? Rasanya mustahil, meskipun bisa saja hal itu terjadi. Israel juga sudah sejak lama diterima menjadi anggota resmi PBB dan hampir semua badan-badan internasional lainnya di bawah PBB. Singkatnya, Israel memang telah eksis sebagai sebuah negara par excellence.
Sementara lawan perang Israel adalah Hizbullah. Hizbullah itu, lawannya Israel yang nota bene “negara” itu, adalah seperti, kalau di Indonesia, organisasi kemasyarakatan atau organisasi massa, alias ormas. Jadi, semacam Non-Govermental Organization (NGO).
Seperti halnya ormas-ormas di Indonesia yang masing-masing ada yang memiliki sayap semi militer, demikian juga halnya dengan Hizbullah. Singkatnya, Hizbullah pada mulanya adalah ormas yang memiliki sayap militer atau milisi semimiliter. Sekarang posisi Hizbullah sudah banyak berubah yang nanti akan penulis uraikan di bagian lain.
Bayangkan, Israel sebagai entitas negara yang par excellnece itu ditambah dengan dukungan penuh tanpa reserve dari satu-satunya negara adidaya dunia Amerika plus negara-negara Barat, berperang melawan sebuah ormas dari negara tetangganya, Lebanon!
Negara yang tersebut terakhir inipun bukanlah sebuah negara besar: luas negaranya hanya sekitar 10.000 km2 dan jumlah penduduknya 6 juta jiwa saja. Itupun sudah termasuk di dalamnya pengungsi Suriah (1,4 juta) dan Palestina (400 ribu).
Hizbullah merupakan bagian saja, bahkan bagian kecil saja, dari negara yang kecil itu. Bayangkan jika Israel kalah dalam perang melawan Hizbullah! Betapa memalukannya kekalahan itu. Menang ora kondang, kalah ngisin-isini! Bagitulah kira-kira kalau dikatakan dalam ungkapan Bahasa Jawa.
Alutsista yang canggih
Saking kuatnya dan canggihnya alutsista yang dimilikinya konon bisa jadi klaim Hizbullah bahwa dirinya lebih kuat dari pada tentara resmi negara Lebanon LAF (Lebanon Army Force).
Mungkin ada aroma dramatisasi di sini. Tetapi kalau melihat kemampuan dan keberhasilan mereka mengusir ribuan tentara Israel dan Amerika Serikat dari markasnya di Lebanon pada dekade 1980-an dapatlah disimpulkan bahwa kekuatan militer Hizbullah memang tidaklah main-main.
Pada 1980-an tentara Amerika dan Israel ditarik mundur dari Lebanon setelah markas militer mereka diserbu Hizbullah dengan serangan bom di mana ratusan tentara Amerika pulang di dalam ratusan peti mayat! Cuma itu serangan bom, bukan perang dalam arti berhadap-hadapan di medan laga perang.
Tidak pernah ada informasi seberapa besar sebenarnya postur kekuatan personil militer Hizbullah. Sekadar memperkirakan saja sangatlah sulit, apatah lagi mengetahuinya secara pasti. Pasalnya tidak ada orang luar yang tahu bagaimana posturnya, di mana markas besarnya, di mana mereka menyimpan senjatanya, di mana camp konsentrasi pasukannya, dan dimana saja mereka melakukan latihan-latihan militernya.
Jika hal-hal yang elementer seperti itu saja tidak diketahui bagaimana mungkin orang bisa menjelaskan besaran postur atau kekuatan logistiknya. Apalagi orang luar pasti juga tidak tahu bagaimana sebenarnya kekuatan logistiknya.
Sebagai organisasi non-negara orang pasti menduga bahwa tentara Hizbullah bukanlah tentara yang digaji secara tetap. Tetapi itu juga cuma dugaan semata. Sebab, ada juga informasi yang bersliweran bahwa mereka bukan hanya digaji secara cukup memadai, melainkan juga dijamin masa depan keluarganya.
Jadi seandainya sang anggota pasukan militer Hizbullah meninggal dalam menunaikan tugas berperang maka istri dan anak-anaknya akan menjadi tanggungan Hizbullah sampai dewasa.
Darimana Hizbullah mendapatkan uang untuk kesemuanya itu? Tidak ada juga yang bisa memastikannya. Ada yang mengatakan dari uang zakat atau sumbangan anggota. Ada juga bilang dari usaha alias bisnis. Tetapi konon ada juga yang menginformasikan didanai oleh Iran sepenuhnya. Pasalnya, Hizbullah memang selalu sejalan dan paralel dengan sikap atau posisi politik Iran.
Perang Israel-Hizbullah ini benar-benar perang Israel-Hizbullah. Sama sekali bukan perang Israel-Lebanon meskipun Hizbullah itu organisasi pergerakan yang berada di Lebanon. Tentara Lebanon tidak ikut berperang, kecuali mungkin hanya membantu secara tidak langsung. Apalagi ormas-ormas dan partai-partai politik Lebanon lainnya.
Jadi memang sebuah peperangan yang aneh bin ajaib. Begitu aneh bin ajaibnya juga mengundang banyak pertanyaan dan kecurigaan: ini perang beneran atau tidak
Corak dan pola perang melawan sebagian negara seperti yang terjadi antara Israel dan Lebanon yang semacam ini bisa terjadi karena politik pemukiman penduduk di Lebanon itu mendukungnya. Rakyat Lebanon itu sudah memiliki kawasan masing-masing sesuai dengan agama dan sektenya. Orang Kristen memiliki pemukiman khusus yang steril dari penganut agama dan sekte lain, yaitu di kawasan Juneh, Jubail, North Lebanon, Ghakarta, Bechara, Byblos, Beirut, dan daerah pegunungan.
Golongan Islam sunni bermukim di Saida (Sidon), Tripoli, Beeka, dan Anjar, tetapi tidak steril dari agama dan sekte lain. Golongan Syiah baik Syiah Amal maupun Syiah Hizbullah kebanyakan tinggal di Nabatiyeh, Achrafiyeh, Marjayun, dan Baalbek.
Dengam politik pemukiman seperti itu maka Israel dengan mudah memilih daerah-daerah sasaran untuk diserang dengan rudal, missile, atau pesawat tempur sambil mengancam golongan selain Hizbullah untuk tidak ikut-ikutan campur tangan dalam peperangan.
Markas-markas tentara Lebanon pun tidak menjadi sasaran serangan Israel tersebut, bahkan kabarnya hampir tidak disentuh sama sekali oleh gempuran Israel. Demikian juga halnya kawasan Kristen Maronis, Ortodoks, Armenian: relatif aman. Jadi, yang perang peranglah, dan yang aman amanlah! Aman tenteram damai kadyo siniram bayu ayu seminggu lawase. Inilah keunikan konflik militer di Lebanon.
Rumitnya adalah, berbeda dengan perang 2006, Perang kontak senjata tahun 2019 ini kalau benar-benar terjadi secara luas, berlangsung pada saat ketika Hizbullah sudah menjadi bagian dari pemerintahan Lebanon. Hizbullah sudah masuk Parlemen dan masuk Kabinet Lebanon. Dari 30 menteri, Hizbulllah menempatkan 2 menteri anggota Hizbullah dan seorang menteri profesional yang direkomendasi oleh Hizbullah. Jadi sulit juga untuk tidak disebut Perang Israel-Lebanon. Tetapi juga tidak mudah untuk menyebutnya sebagai perang Lebanon-Israel.
Perang Israel versus Lebanon ini benar-benar perang inkonvensional, dalam arti perang yang aneh, lucu, dan ajaib. Bagaimana bisa terjadi peperangan model begini kalau bukan di Timur Tengah? Kawasan Timur Tengah memang kawasan yang paling misterius dan enigmatik (penuh tela-teki) di dunia ini. Tak heran jika untuk memahami konflik Timur Tengah itu sama sulitnya memahami “galihe kangkung“! Maka dari itu jangan mudah-mudah mengklaim dirinya sebagai ahli Timur Tengah. Mungkin cukup saja mengaku pengamat amatiran Timur Tengah. Wallahu alam. (*)
Kolom oleh Hajriyanto Y. Thohari, Ketua PP Muhammadiyah dan Dubes RI untuk Lebanon.
Tulisan ini pernah dimuat Majalah Matan Edisi 160, November 2019.