PWMU.CO-Jangan terlena dengan kemapanan hidup. Nabi Muhammad saw meninggalkan kemapanan untuk menjalankan tugas dakwah yang penuh tantangan.
Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi (LIK) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Drs Sugeng Purwanto menyampaikan hal itu dalam Kuliah Subuh di Masjid Al Jihad, Kompleks Pusat Dakwah Muhammadiyah Situbondo, Ahad (15/12/19).
“Nabi Muhammad saw ketika berumur 40 tahun sudah mempunyai kehidupan yang mapan. Bisnisnya berjalan, hidupnya tenang, keluarganya sakinah mawadah warahmah. Dalam kehidupan bermasyarakat, Nabi juga mendapat kepercayaan dari masyarakat Quraisy,” ungkap lulusan Jurusan Sosiologi FISIP Unair Surabaya itu.
Dia menambahkan, bisnis Nabi selain berdagang juga ada jasa penitipan uang dan barang yang berjalan sukses. “Bisnis semacam itu susah dijalankan kalau orangnya tidak mendapatkan kepercayaan. Ini menandakan Nabi sangat dipercaya masyarakat Mekkah,” ujarnya.
Dalam kehidupan serba mapan itu, lanjut dia, Nabi tak hanyut dalam kepentingan urusan harta dan dunia semata. Ada sisi penyucian jiwa atau tazkiyatun nufuz yang dilakukan. Yaitu uzlah, dengan menyendiri ke Gua Hira.
Namun tidak ada hadits yang menjelaskan, apa yang dilakukan Nabi selama di Gua Hira. Beberapa tafsiran menuturkan Nabi melakukan perenungan kondisi masyarakat jahiliah dan mengagungkan kebesaran Sang Pencipta.
Menurut SGP, sapaan akrabnya, ada masyarakat kita yang melakukan perjalanan dari gua ke gua untuk menyendiri dari keramaian. Mencari keheningan dan kesenyapan. Bahkan ada yang topo broto, tidak makan dan minum dalam beberapa hari. Berharap bisa menemukan Tuhan dan jati dirinya.
Padahal Nabi saat uzlah ke Gua Hira itu membawa bekal makanan. Tidak semedi atau topo broto seperti dikerjakan orang-orang para pencari keheningan di gua-gua itu.
Penyucian jiwa, sambung dia, sebagai upaya manusia menyamakan frekuensi agar bisa menangkap getaran Allah. Dengan konsentrasi dan fokus mengingat Allah akan bisa menenangkan jiwa sehingga memudahkan informasi ruhiyah masuk.
Orang-orang pada tataran maqam begini, tuturnya, bisa mudah mendapatkan pencerahan berupa wahyu, ilham, atau inspirasi. Pada tingkatan maqam seperti inilah Nabi Muhammad menerima wahyu berupa dakwah tauhid kepada masyarakat syirik.
“Pada orang-orang yang maqamnya di bawah Nabi seperti ulama dan kiai yang sering mengerjakan penyucian jiwa lewat tahajud dan dzikir juga bisa menerima pencerahan informasi dari langit,” katanya.
“Kiai dan ulama seperti ini di mata masyarakat dimuliakan karena dianggap sakti dan makbul doanya sehingga banyak didatangi orang untuk memburu karomahnya,” ujarnya.
Mantan wartawan Surabaya Post itu menjelaskan, orang awam pun kadang kala bisa menerima pencerahan atau informasi dari langit. Biasa disebut ilham atau inspirasi.
“Contoh, kita pernah lupa meletakkan suatu barang. Sudah dicari ke mana-mana gak ketemu. Ketika shalat, tiba-tiba saja masuk dalam pikiran yang mengingatkan barang yang hilang itu diletakkan di suatu tempat. Itu tandanya Allah memberikan inspirasi lewat shalat. Di saat frekuensi kita nyambung dengan frekuensi Allah. Bukan kita tidak khusyuk mengerjakan shalat,” terangnya.
SGP melanjutkan, ketika Nabi mendapatkan wahyu ternyata perintah berdakwah mengajak masyarakat kembali ke ajaran tauhid. Misinya qul huwallahu ahad. Dakwah tauhid kepada kaum musyrik.
“Apa yang terjadi setelah Muhammad menjadi nabi? Kondisi kemapanan hidupnya berubah 180 derajat. Mereka mengejek, mencaci-maki, dan mulai tidak percaya lagi. Nabi dituduh radikal,” kisahnya.
Apalagi ketika pengikutnya kian hari bertambah banyak, orang-orang mulai berani berlaku kasar kepada Nabi. Terutama pemuka-pemuka Quraisy yang tradisi dan kepentingannya terganggu.
“Zaman Nabi pun ada majelis taklim yang diadakan di rumah Arqam. Yang kemudian dikenal dengan sebutan Darul Arqam. Majelis taklim ini pun dimata-matai,” ujarnya.
Situasi seperti itu, kata SGP, hampir mirip dengan kondisi sekarang. “Ketika kesadaran beragama kaum muslim makin tinggi sehingga banyak mendirikan pengajian dan majelis taklim malah dicurigai sebagai tempat penyebaran radikalisme,” urainya.
Kemudian ada gerakan deradikalisasi. Dikhawatirkan gerakan deradikalisasi ini adalah upaya untuk mendangkalkan akidah umat. Membungkam kaum muslim bersikap kritis terhadap penyimpangan kekuasaan dan kemaksiatan. “Kondisi tantangan ini yang sedang dihadapi umat,” tuturnya.
Dalam sejarah, sambungnya, Nabi tampak perkasa menghadapi semua tantangan itu. Tetapi sebagai manusia biasa, Nabi juga merasakan beratnya tantangan dakwah, seperti disebutkan dalam Surat Asy-Syarh.
“Alam nasyrah laka shadrak. Itu rekam medis kejiwaan Nabi saat menjalankan risalah. Dadanya terasa sesak hingga dilapangkan oleh Allah,” jelasnya.
“Wa wadho’na anka wizrok aladzii anqodho zhohrak. Punggungnya juga terasa berat memikul beban dakwah kemudian Allah menghilangkan masalah berat itu,” katanya.
Orang yang punya masalah besar, ujar SGP, pasti merasakan gejala seperti dada sesak dan punggung terasa berat. Kalau masalah besar itu teratasi maka gejala itu berangsur hilang.
“Tapi kalau ada orang hidupnya mapan dan tidak punya masalah besar tetapi kok punggung, pundak dan kepala terasa berat, hati-hati saja itu tanda-tanda sudah masuk sebagai generasi asam urat, kolesterol, dan darah tinggi,” candanya disambut tawa jamaah.
Hikmah dari sejarah Nabi ini, menurutnya, kalau sudah hidup mapan, jangan meninggalkan dakwah. Jangan malas memakmurkan masjid, enggan mengaji dan repot datang ke majelis taklim.
“Meski ada orang mencurigai kita radikal, masjid dan majelis taklim kita diawasi kalau konsisten berdakwah maka Allah akan melapangkan dada kita, menghilangkan beban-beban berat kita sebagaimana Allah melapangkan dada Nabi dan menghilangkan beban beratnya,” pesannya.
Kalau mampu kita melakukan tahapan itu pada ayat selanjutnya Allah menyatakan warafa’naa laka dzikrak, maka Allah mengangkat namamu, sebutanmu. Namamu akan disebut sebut.
“Seperti Nabi Muhammad yang sekarang namanya selalu disebut sebagai contoh pejuang dakwah yang berhasil membentuk kekuasaan Islam. Namanya kita sebut dalam shalat dan shalawat. Ketika berdakwah banyak masalah dan bisa diselesaikan, maka kelak ketika meninggal pun nama kita akan banyak disebut orang,” tuturnya.
Dia mengingatkan dalam ayat lanjutannya fa inna ma’al usri yusro, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.
“Maka ini yang memotivasi kita, meskipun berat tantangan dakwah jangan ditinggalkan karena dalam kesulitan dakwah itu ada kemudahan. Kita harus temukan jalan kemudahan itu,” tandasnya.
Jadi jangan putus asa menyelesaikan masalah dakwah. Apalagi kemudian hanya memilih kemapanan dan kenyamanan hidup lantas masa bodoh dengan tugas dakwah. “Contohlah Nabi Muhammad yang meninggalkan kemapanan hidup untuk berjuang menegakkan ajaran Allah hingga meraih kemenangan,” tegasnya. (*)
Kontributor Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.