PWMU.CO – Prof Din Syamsuddin mengatakan, utang pemerintah ke Muhammadiyah mencapai Rp 1,2 triliun. Utang tersebut berupa tanggungan BPJS di seluruh rumah sakit milik Muhammadiyah.
“Saya mendapat banyak penyampaian, apakah betul Muhammadiyah berpiutang pada pemerintah, khususnya BPJS? Setelah saya tanya beberapa Ketua PWM, tenyata angkanya bukan yang beredar di DPR hanya Rp 350 miliar. Itu hanya Jawa Tengah. Secara keseluruhan Rp 1,2 triliun. Itulah hak Muhammadiyah yang harus, wajib dibayar oleh pemerintah,” ungkapnya.
Din Syamsuddin menyampaikan hal itu saat memberi ceramah dalam acara Milad Ke-61 Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dan Launching Count Down Menuju Muktamar di Solo, Sabtu (28/12/2019), di Sport Center UMS Kampus II.
Watah Muhammadiyah Memberi
Meski demikian Din Syamsuddin mengatakan Muhammadiyah tidak pernah ngotot menagih utang tersebut kepada pemerintah maupun BPJS Kesehatan.
“Tapi saya amati sebagai Ketua Ranting Muhammadiyah, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) di mana banyak rumah sakit tidak terlalu menggebu-gebu untuk menagih kepada pemerintah ya. Walaupun saya tahu Muhammadiyah memerlukan uang itu. Tapi dalam hati saya itulah Muhammadiyah,” ujarnya.
Din Syamsuddin menegaskan, watak Muhammadiyah itu memberi dan melayani, bukan meminta. “Muhammadiyah memberi dan melayani menjadi khadimur raiyyah, khadimul ummah, khadim Indonesia, sebagai pelayan Indonesia. Bukan yang kemudian meminta, apalagi mengemis-ngemis,” kata Din Syamsuddin yang disambut tepuk tangan hadirin.
Menurut Din Syamsuddin, inilah washatiyah. Washatiyah Islam yang harus menjadi ciri khas umat Islam Indonesia. Harus menjadi watak dari ormas-ormas Islam. “Maka Muhammadiyah, lakukanlah kepeloporan, lakukanlah khudwah untuk menjadi gerakan washatiyah untuk Indonesia. Dengan demikian kita akan memajukan Indonesia dan mencerahkan bangsa,” kata dia.
Muhammadiyah-Indonesia Saudara Kembar
Menurut Din Syamsuddin, Muhammadiyah dan Indonesia bagaikan saudara kembar. Seperti matahari dan bumi. Mereka saling membutuhkan. “Tidak ada bumi tanpa matahari. Sebaliknya, matahari diciptakan untuk menyinari bumi,” ujar Din.
Begitu pula, sambung Din Syamsuddin, antara Muhammadiyah dan pemerintah harus saling membutuhkan. Muhammadiyah membutuhkan pemerintah untuk melangsungkan dakwah pencerahan. “Pemerintah butuh Muhammadiyah karena akan mengarahkan pembangunan ini ke arah yang lebih baik,” tutur Din Syamsuddin yang menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 2005-2015 itu.
Tujuh Ciri Ajaran Wasathiyah Muhammadiyah
Din Syamsuddin memaparkan, agar bisa menyinari Indonesia, Muhammadiyah harus menerapkan ajaran wasathiyah Islam. Ajaran ini memiliki tujuh ciri. Pertama, berlaku adil terhadap diri sendiri, keluarga, dan masyarakat luas.
Kedua, menegakkan keseimbangan. “Bukan hanya keseimbangan non-fisik dan fisik, atau sosial dan individu saja. Tetapi keseimbangan secara menyeluruh,” terangnya.
Ketiga, lanjut Din Syamsuddin, toleransi. Manusia itu majemuk. Maka adanya perbedaan tidak bisa dielakkan. Untuk itu dibutuhkan kesediaan saling menerima perbedaan itu.
Ciri keempat, memiliki kecenderungan musyawarah. “Ulama luar negeri pernah memuji Islam Indonesia karena suka musyawarah. Tidak berpegang teguh dengan pendapat sendiri,” tutur Din Syamsuddin.
Kelima, melakukan perbaikan, kemaslahatan atau amal shaleh. Keenam, melakukan kepeloporan. Tidak diam, berhenti, atau bahkan menunggu.
Ciri terakhir, berkewarganegaraan. “Harus menjadi pemahaman bersama bahwa kewarganegaraan menjadi keperluan dalam negara bangsa. Dalam hal ini, Ibrahim As bisa menjadi contoh. Karena dia bisa menghargai dan menerima negara bangsa,” kata Din Syamsuddin.
Dia pun berharap, ajaran wasathiyah Islam ini menyatu dalam kepribadian Muhammadiyah. Yakni berdasar Alquran dan Assunah. “Mari bertoleransi. Mari gemar bermusyawarah. Seperti yang diajarkan dalam Surat Ali Imran 103. Intinya adalah persaudaraan dan Persatuan. Saya juga berharap agar kita bisa melakukan kepeloporan. Dengan demikian Muhammadiyah akan memajukan Indonesia dan mencerahkan bangsa,” ujarnya. (*)
Kontributor Al Farisy. Penulis Miftahul Ilmi. Editor Mohammad Nurfatoni.