PWMU.CO – Poligami yang ditafsirkan Dr Siti Ruhaini Dzuhayatin mengejutkan kalangan orang-orang Arab di Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Saat itu dia menjabat Ketua Komisi Hak Asasi Manusia Independen dari Organisasi Konferensi Islam ( OKI).
”Saya katakan poligami itu tidak diciptakan Islam. Orang-orang Arab itu semua tercengang,” cerita dia dalam seminar Pra Muktamar Muhammadiyah 2020 di Aula GKB IV lantai 9 Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Sabtu (8/2/20).
Poligami itu, sambung dia, ada jauh sebelum Islam berkembang. Islam datang bisa memanusiawikan poligami dengan membatasi sampai empat istri bukan sebanyak-banyaknya seperti zaman jahiliyah.
Disebutkan, semangat itulah sebenarnya yang telah diputuskan Aisyiyah saat Tanwir di Yogyakarta tahun lalu. Yaitu memanusiawikan poligami.
“Sebenarnya yang menyetop poligami itu bukan Aisyiyah tapi almarhum Buya Yunahar. Saat itu dia mengatakan, sudah semua orang Muhammadiyah stop poligami,” cerita dosen UIN Sunan Kalijaga Yogya ini.
”Kata Buya Yunahar, mulai dari ranting sampai pusat kalau ada yang poligami delete saja,” ujar Ruhaini mengulang pernyataan Yunahar Ilyas. Bicaranya itu langsung disambut gemuruh tepuk tangan peserta.
Moderasi Masyarakat Islam
Di bagian lain dia juga menyebutkan masyarakat moderat Islam di Indonesia terbentuk sejak munculnya Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan NU. Sejak itu ada proses transformasi yang membentuk masyarakat moderat atau wasatiyah.
”Zaman itulah perkembangan Islam yang berbasis moderasi, progress itulah yang kemudian disebut Kiai Sujak sebagai Islam berkemajuan,” kata Siti Ruhaini.
Menurut dia, organisasi-organisasi modern tersebut yang turut membentuk masyarakat modern Islam di negeri ini termasuk NU yang selama ini dikategorikan pengamat sebagai kelompok tradisional.
“Maaf ya saya tidak pernah mengatakan NU itu organisasi tradisional, tapi NU itu juga organisasi modern,” tandas staf khusus presiden bidang keagamaan internasional ini.
Siti Ruhaini Dzuhayatin adalah doktor Sosiologi lulusan Universitas Gajah Mada. Dia menyuarakan kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan.
Dia mendorong isu kesetaraan gender dalam program-program Muhammadiyah dan Aisyiyah. Dia menjadi perempuan pertama anggota Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Muhammadiyah.
Pweempuan yang pernah nyantri di Pesantren Pabelan Magelang ini merasakan ada perlakuan diskriminatif terhadap santri perempuan. Mulai dari materi ajaran hingga kebijakan pesantren.
Peduli dengan masalah gender berawal saat kuliah di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga. Tahun1990-an, dia memulai kenalkan gagasannya tentang relasi gender dalam Islam. Walau isu ini masih menjadi kajian terbatas.
“Berbagai literatur yang bias gender, termasuk penafsiran-penafsiran terhadap al-Quran dan Hadits, saya kaji,” kata peraih MA dari Universitas Monash Australia.
Lalu dia menulis buku berjudul Feminist Theology and Islam in Indonesia menawarkan kajian hermeneutika, sebuah metode interpretasi untuk memahami makna teks agar ketepatan pemahaman dan penjabaran pesan-pesan Allah itu dapat ditelusuri secara komprehensif.
“Berdasar metode ini, tidak ada grand narrative laki-laki. Justru yang dikedepankan adalah konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan,” ujar pemimpin Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Yogyakarta. (*)
Penulis Uzlifah Editor Sugeng Purwanto