PWMU.CO – Empat Tahun Sekolah Menulis. Pemeo ‘menulis itu sulit’ ternyata tidak benar. Setidaknya dibuktikan PWMU.CO. Ratusan penulis berhasil lahir dari rahimnya.
Sejak diluncurkan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim M Saad Ibrahim, 18 Maret 2016, total tulisan yang diterbitkan PWMU.CO sampai milad keempat ini mencapai 20.287 atau rata-rata 5.071 per tahun.
Jika setiap berita memuat 300 kata, maka tercatat ada 6.086.100 kata yang sudah ditulis. Yang menarik, jutaan kata itu tidak ditulis oleh penulis atau wartawan profesional. Melainkan para relawan yang dikenal dengan sebutan kontributor.
Sampai saat ini ada hampir 400-an kontributor, seperti yang tercatat dalam dua Group WhatsApp (GWA). Mereka bisa dikelompokkan menjadi kontributor superaktif, aktif, dan pasif.
Disebut superaktif karena hampir tiap hari mereka menulis, bahkan bisa lebih dari satu berita. Sedangkan yang dimaksud aktif, setidaknya sepekan sekali menulis. Atau paling tidak sebulan tak pernah absen.
Yang dikategorikan pasif adalah mereka yang kadang menulis, kadang tidak. Tapi dalam setahun tetap menulis, biasanya pada momen-momen tertentu.
Sekolah Menulis
Jutaan kata yang sudah diterbitkan itu tentu sudah melalui proses editing. Sebab di PWMU.CO semua tulisan harus melewati proses penyuntingan. Tidak ada jalur ngglundung, alias naskah yang terkirim langsung dimuat apa adanya.
Proses editing bukan sekadar untuk menjaga kualitas. Namun juga sebagai proses pendidikan menulis. Sebagai catatan, awalnya para kontributor adalah mayoritas penulis pemula atau nol putul. Naskah yang dikirim banyak yang tidak layak muat: harus diedit. Dalam editing inilah terjadi proses belajar mengajar.
Ada empat metode yang ditempuh dalam ‘sekolah’ ini. Pertama, secara online, yang dilakukan melalui pendidikan menulis dalam kelompok atau jaringan pribadi (japri) WA. Selain untuk meminta kelengkapan informasi, japri berfungsi sebagai proses pembelajaran. Di situ redaktur memberikan catatan-catatan. Biasanya redaktur meminta kontributor membaca naskah sebelum dan sesudah proses editing. Proses belajar ini dikenal dengan sistem stabilo.
Di sini kontributor diminta memberikan tanda warna pada perubahan naskah sebelum dan setelah editing. Sistem stabilo ini terbukti cukup efektif. Kontributor yang rajin melakukannya, cepat berkembang.
Kedua, secara offline yakni redaksi bertemu dengan (calon) kontributor dalam pelatihan-pelatihan jurnalistik yang diadakan di beberapa daerah dan sekolah. Seperti di Gresik, Surabaya, Malang, Kediri, Situbondo, Mojokerto.
Bangga pada Kontributor
Dengan mengambil pilihan sebagai sekolah menulis, PWMU.CO fokus pada sumber daya manusia (SDM). Pilihan ini bukan tanpa risiko. Waktu redaktur banyak tersita. Rata-rata dibutuhkan waktu setengah hingga satu jam untuk penyuntingan satu naskah. Belum lagi jika naskah tidak lengkap. Perlu waktu untuk konfirmasi lebih lama lagi.
Risiko lain, karena para kontributor mayoritas guru, maka PWMU.CO didominasi berita sekolah. Potensi viral rendah. Tapi PWMU.CO cukup bangga. Dari proses yang njlimet ini, redaksi tidak kekurangan berita otentik. Yakni naskah yang ditulis sendiri oleh kontributor sebagai berita eksklusif.
Kebanggaan selanjutnya, PWMU.CO berhasil melahirkan penulis-penulis yang tak kalah dengan wartawan profesional. Hal itu bisa terjadi karena redaksi sering menerjunkan kontributor untuk meliput langsung peristiwa berskala besar. Inilah metode ketiga sekolah menulis PWMU.CO.
Proses belajar seperti ini mampu menghasilkan berita yang berwarna. Bahkan Pak Din Syamsuddin sempat kaget ketika diberi beberapa link beritanya hasil liputan kontributor PWMU.CO. “Bisa jadi banyak berita ya,” komentarnya.
Tak berhenti di situ. Metode keempat yang ditempuh PWMU.CO adalah mengangkat kontributor menjadi co-editor. Pada gelombang pertama ini ada lima kontributor yang ‘naik amanah’ menjadi co-editor: yaitu Ria Pusvita Sari, Darul Setiawan, Ichwan Arif, Sugiran, dan Nelly Izzatul Maimanah. Tugas mereka sama seperti redaktur. Hanya, sebelum di-up load, editan mereka diperiksa dulu oleh editor.
Bukan hanya melahirkan co-editor, beberapa kontributor juga sudah mahir mengembangkan tulisan dalam bentuk lain seperti opini, cerpen, dan sebagainya.
Bukan News Aggregator
Dengan banyaknya SDM itu—meskipun tidak dibayar—PWMU.CO bisa memproduksi berita sendiri. Seringkali berita-beritanya menginspirasi media lain. Dari yang dikutip, di-backlink, hingga jadi santapan news aggregator.
Mengutip Dr Rohman Budijanto news aggregator adalah media-media yang menerbitkan bendera perusahaan sendiri tapi dia hanya mengumpulkan berita-berita dari media-media lain.
“Rupert Murdoch salah satu tokoh pers dunia menyebut ini pencurian. Karena dia tidak berkeringat untuk mencari berita-berita ini,” kata dia.
News aggregator bisa melakukan itu sebab masih ada celah hukum pada media internet karena UU Hak Cipta tidak menjamin hak cipta atas berita hangat atau hot news.
Meski ada celah hukum seperti itu tapi PWMU.CO berusaha sekuat tenaga tidak menjadi news aggregator. Portal berita yang dilahirkan Lembaga Informasi dan Komunikasi (LIK) PWM Jatim ini lebih senang memproduksi berita sendiri. Sekaligus bangga sebagai sekolah menulis.
Selamat empat tahun sekolah menulis PWMU.CO!
Mohammad Nurfatoni, Pemimpin Redaksi PWMU.CO