Sakit pun masih menulis berita. Itulah pengalaman kontributor Gresik Estu Rahayu. Kegiatannya sebagai guru dan aktivis Aisyiyah memang ketat. Tapi ia bisa menyiasatinya.
PWMU.CO – Semua berawal dari pelatihan menulis di In House Training yang diadakan oleh Smamsatu. Saat itu semua guru dan karyawan ‘dipaksa’ menulis. Tapi belum terbersit keinginan saya untuk menulis berita. Karena itu tugas menulis berita tentang suasana pelatihan, saya kerjakan berdua saja, bersama Rusyadah guru Geografi.
Perasaan saya berubah ketika kontributor PWMU.CO Smamsatu, M Ali Syafaat menceritakan kisahnya. Kisah itulah yang menjadi alasan menghadirkan Mohammad Nurfatoni—Pemimpin Redaksi PWMU.CO—ke SMA Muhammadiyah 1 (Smamsatu) Gresik.
Rasa tanggung jawab saya muncul. Saya merasa eman ketika banyak kegiatan di sekolah yang berlalu tanpa berita. Publik jadi tak mengetahui apa yang dilakukan sekolah sebesar Smamsatu Gresik. Sejak itu, saya merasa menulis itu penting.
Sebenarnya, sewaktu masih menempuh pendidikan di Smamsatu Gresik, saya termasuk siswa yang aktif di ektrakurikuler jurnalistik, bersama Mbak Dewi Musdalifah, Kemas Saiful Rizal, dan Ichwan Arif.
Kami pernah aktif di majalah sekolah Voice of Muhammadiyah Student Association atau disingkat Voice of MSA. Sekarang, majalah itu bertransformasi menjadi Inspirasi.
Menulis sambil Berjalan
Sebagai guru di Smamsatu Gresik, tentu saya mempunyai jadwal mengajar. Di luar jam itu masih banyak yang harus dilakukan untuk mendukung proses pendidikan. Kadang itu membuat saya tidak punya waktu tersendiri untuk menulis.
Karena itu banyak tulisan yang saya kerjakan di sela mengajar: sambil menunggu waktu shalat atau saat jam istirahat. Bahkan menulis sambil berjalan menuju kelas sering saya lakukan.
Hal ini karena saya lagi mood untuk menulis. Biasanya menulis tentang kultum Jumat pagi di ruang guru. Sehingga berita tentang kultum bisa dikirim ke redaksi hari itu juga.
Selain mengajar, tugas di Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Gresik pun cukup banyak. Apalagi di Majelis Dikdasmen yang tergolong padat acara.
Ada satu agenda yang sangat menarik, yaitu pertemuan rutin IGABA (Ikatan Guru Aisyiyah Bustanul Athfal) di Pulau Bawean.
Perasaan was-was selalu muncul, ketika mendengar cerita orang-orang yang pernah ke sana. Ada yang terdampar tidak bisa pulang karena tidak ada kapal. Ada yang membuang sarung yang dikenakan karena penuh dengan muntahan. Ada yang mesin kapalnya mati karena ombak yang tinggi. “Ya Allah, mudah-mudahan semua itu tidak terjadi,” doa saya dalam hati.
Jauh-jauh hari saya sudah izin ke suami dan cerita ke anak agar siap saya tinggal selama empat hari. Makanan instan, cemilan, krupuk saya siapkan. Mohon doa ke orangtua juga saya lakukan. Berharap, saya bisa pulang tepat waktu dan tidak terdampar seperti cerita orang.
Melihat agenda acara yang padat, dan saya satu-satunya kontributor PWMU.CO yang berangkat, akhirnya membayangkan, berita apa saja yang akan saya tulis.
Saya teringat Pak Ichwan Arif yang mampu menulis setiap pengalaman yang dialami ketika ke Singapura dan Malysia. Saya bertanya via WatsApp,” Kapan nulis beritanya, Pak?”
Dia menjawab,” Ya ketika teman-teman tidur di malam hari.”
“Wah, lalu kapan tidunya? Tanya saya dalam hati.
Sakit tetap Menulis
Selama di Pulau Bawean, saya mencoba praktikkan resep itu. Pagi sampai malam mengikuti kegiatan. Malam harinya menulis. Termyata hasilnya luar biasa. Mood saya masih tetpelihara. Menulis dengan semangat.
Hari Senin saya pulang dari Pulau Bawean. Di hari Selasa masuk sekolah dan mengajar seperti biasa. Hari Rabu mulai terasa capek luar biasa. Hari Kamis sudah tidak berdaya, tepar.
Namun berita yang saya tulis belumlah sempurna. Untuk duduk saja hanya bertahan 15 menit. Hari itu saya izin tidak masuk kerja.
Meski tidak masuk kerja dan badan sakit semua, semangat menulis belum juga surut. Saya teringat salah satu hadits Rasulullah SAW tentang kewajiban shalat fardhu. Jika tidak mampu berdiri, maka shalat sambil duduk. Jika tidak mampu duduk, maka shalat dikerjakan sambil berbaring.
Jadilah menulis berita sambil berbaring. Ketika capek berbaring, menulis sambil tengkurap. Capek tengkurap, berbaring lagi. Sambil meringis menahan sakit, akhirnya berita selama di Pulau Bawean terkirim semua. “Alhamdulillah ya Allah,” batinku. Sakit pun masih menulis berita.
Kehilangan Teman Curhat
Berbagi cerita selama proses menunggu editing redaksi adalah pengalaman yang paling berkesan. Bagaimana perasaan Mom Nina dan Yulia Dwi Putri Rahayu, yang sama-sama kontributor di Smamsatu sering kita ungkapkan.
Sayangnya, kondisi Mom Nina yang sering sakit membuat kami jarang berkomunikasi. Kesedihan itu memuncak ketika kami harus ikhlas menerima takdir Allah. Mom Nina—nama pangglan Nina Yovanti Windayani NS—harus kembali ke haribaan Allah untuk selamanya.
Sebagai sesama kontributor, kehilangan seorang teman adalah kehilangan kesempatan berbagi tugas. Semoga Allah menerima amal baiknya dan mengampuni segala dosa-sosanya. Semoga jerih payahnya sebagai kontributor PWMU.CO mendapatkan balasan surga. Amin. (*)
Penulis Estu Rahayu. Editor Mohammad Nurfatoni.