PWMU.CO – Jika sebuah konteks dilepaskan dalam menilai sesuatu, sudah tentu hasilnya kurang bijak. Penilaian bias ini pula Itu yang terjadi ketika statemen Menteri Pendidikan (Mendikbud) Prof Muhadjir Effendy ketika memberi motivasi kepada siswa-siswi SMK Muhammadiyah Imogiri, Bantul (10/8). Menyebut keunggulan sekolah ini, meski tanpa menafikan sekolah (organisasi) lain, ternyata dinilai sebagai sikap sektarian.
Yang lebih menyedihkan, salah satu penilaian negatif yang tidak berkonteks ini justru dikemukakan oleh tokoh yang seharusnya menjadi teladan dan penyejuk umat. “… pernyataan yang cenderung tidak didasari semangat kemajemukan bangsa yang tidak mengunggul-unggulkan satu pihak sembari menegasikan pihak lain, sudah seharusnya tidak diungkapkan oleh seorang Menteri,” ungkap tokoh ini sebagaimana tersebar luas di dunia maya.
(Berita terkait: Pro-kontra Wacana Mendikbud soal Full Day School Sudah Melenceng dari Substansi dan Penjelasan Lengkap Mendikbud tentang Pro-kontra Full Day School)
Apakah tudingan seperti itu berdasar? Faktanya, selain ke SMK Muhammadiyah Imogiri, pada saat bersamaan juga mengunjungi SMK Ma’arif 1 Yogyakarta, sekolah Nahdlatul Ulama (NU). Di sekolah ini, Muhajdir sebagai Mendikbud berjanji mengganti peralatan laboratorium yang mulai usang dan juga buku untuk perpustakaan.
“Pak Muhadjir adalah Mendikbud pertama yang mengunjungi sekolah kami,” kata Kepala sekolah SMK Ma’arif 1 Yogyakarta, Drs Suharyanto, yang menyatakan senang dengan kunjungan ini
Selain keduanya, pada hari yang sama Mendikbud juga mengunjungi SMK Leonardo di Jl Wahidin Klaten. Di tempat itu, dia disambut kepala sekolah dan para guru. Muhadjir menyaksikan dari dekat para siswa yang sedang praktik mengikir atau menghaluskan batang besi dan praktik elektronika.
(Baca juga: Tanggapan Haedar Nashir terhadap “Menguak Rahasia Muhammadiyah Selalu Nampak Beda dengan NU” dan Din Syamsuddin: Dalam Fiqih, Muhammadiyah Itu Bukan NU)
Para siswa juga sempat diajak berbincang-bincang. Muhadjir memberikan apresiasi yang tinggi pada sekolah ini karena setiap tahun mengirimkan siswa magang ke Jepang selama tiga tahun.
Selain fakta itu, sikap multikulturalisme Mendikbud ini sebenarnya sudah jauh hari dipraktikkan. Artinya, meski memuji sekolah yang dikelola Muhammadiyah, tetapi mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu juga tidak menafikan sekolah-sekolah lain yang maju. Terutama sekolah yang dikelola Nahdlatul Ulama (NU) yang bernaung di bawah Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif. Bahkan sekolah sasta yang dikelola oleh agama lain.
(Baca juga: Ketua PWNU Suka Pengelolaan Wakaf di Muhammadiyah dan Belum Pernah Lihat Ketua Muhammadiyah-NU Gantian Memijat? Di Kabupaten Inilah Kerukunan Itu Terwujud)
Lebih daripada itu, pengakuan ini bukan hanya dalam bentuk verbal atau ungkapan yang basa-basi, tapi juga sudah dipraktikkan secara langsung. “Dalam pendidikan keluarga, beliau memang menanamkan karakter menghargai perbedaan sejak dini. Salah satu caranya adalah dengan memasukkan anak-anaknya ke sekolah yang berbeda,” jelas Kepala Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM, Pradana Boy ZTF PhD.
“Anak pertamanya disekolahkan di SD Muhammadiyah, sementara anak keduanya disekolahkan di SD Sabilillah yang notabene bercorak NU,” tambah doktor National University of Singapore (NUS) itu. Ya, anak sulung dari pasangan Muhadjir dan Suryan Widati ini, Muktam Roya Ajidan, kini tercatat sebagai siswa kelas 6 SD Muhammadiyah 9 Kota Malang. Sementara anak keduanya, Senos Haumi Hably, duduk di kelas 4 SD Sabilillah. Adapun anak ketiganya, Harbantyo Ken Najjar, masih di PAUD.
(Baca juga: Jangan Pertentangkan Perbedaan Muhammadiyah dan NU! dan Muhammadiyah dan NU adalah Penopang Kemajuan Bangsa)
Di Malang, SD Islam Sabilillah merupakan sekolah yang di bawah naungan Lembaga Pendidikan Ma’arif NU. Lembaga pendidikan ini dikelola oleh para tokoh NU yang berwawasan luas. Bertindak sebagai Dewan Pembina dan ketua Yayasan Sabilillah adalah Prof KH Tolchah Hasan, mantan Menteri Agama era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid yang juga Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Letak SD Islam Sabilillah bersebelahan dengan Masjid Sabilillah yang berlokasi di kawasan Blimbing, Kota Malang. Seperti kebanyakan sekolah yang berkonsep full day school, SD Islam Sabilillah memang favorit di Kota Malang sejak bertahun-tahun lalu hingga menolak-nolak pendaftar.
(Baca juga: Narkoba dan HIV-AIDS Meningkat, Saatnya Muhammadiyah-NU Bersatu dan Ketika MU dan NU Tidak Saling Bertanding … Fenomena Jepara)
“Konsep full day school memang salah satu ciri khas SD Islam Sabilillah. Kita menganut pembelajaran tuntas, dan itu bisa dilakukan dengan sistem full day. Dalam pembelajaran tuntas, semua selesai saat di sekolah. Jadi para siswa pulang ke rumah sudah dengan gembira, karena tidak ada pekerjaan rumah (PR). PR tidak pernah ada di sekolah ini,” tutur Kepala Sekolah SD Islam Sabilillah Malang Muhammad Hasan Ya’kub SAg sebagaimana dikutip oleh DUTA.CO.
Masih dari DUTA.CO, Seno Shaumi Hably, mengaku sangat nyaman bersekolah di SD Islam Sabilillah. “Saya suka banget sekolah di SD Sabilllah. Teman-teman semua baik dan menyenangkan,” ujarnya. “Saya pergi sekolah dan pulang sekolah ikut mobil antarjemput yang dikelola sekolah. Rumah saya tidak jauh dari sekolah, hanya perjalanan sekitar 15 menit.”
(Baca juga: Islam Tertawa yang Bedakan Islam Indonesia dengan Timur Tengah dan Kisah Siswa Katholik yang Selamatkan Sekolah Muhammadiyah di Kutai Kartanegara)
Keberadaan Seno Shaumi di SD Sabilillah ini, menunjukkan bahwa Prof Muhadjir Effendy tidak membeda-bedakan lembaga pendidikan apa itu NU atau Muhammadiyah. Apalagi berpikir sektarian dengan tidak didasari semangat kemajemukan bangsa dengan mengunggulkan satu pihak sembari menegasikan pihak lain.
“Mengetahui bahwa putra Pak Muhadjir juga bersekolah di lembaga binaan atau milik Prof KH Tholkhah Hasan, tokoh NU, dan semua gurunya juga orang-orang NU, kiranya semua akan menjadi faham, pada tingkat tokohnya saling menghargai,” begitu tulis mantan Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Prof Imam Suprayogo melalui akun facebooknya.
Selanjutnya halaman 2…