Pagebluk Covid-19 dan Ustadz Jarkoni ditulis oleh watawan senior Dhimam Abror Djuraid. Kritik untuk para agamawan. Kritk untuk kita.
PWMU.CO – Jesus He Knows Me. Itu judul lagu lama di awal 1990-an dari grup band Genesis, Phill Collin dan kawan-kawan. Lagu itu bercerita bagaimana agama formal telah dimanipulasi dan dijual murah untuk kepentingan pribadi pemukanya.
Yang disindir adalah pemuka Kristen di Amerika yang mengaku kenal dekat dengan Tuhan, “Jesus, He Knows Me, and he knows I’m right”. Tiap Ahad muncul di teve memberi khutbah dengan pemirsa jutaan orang. Dia jadi kaya raya, sampai akhirnya stasiun teve itu dibeli oleh sang pendeta.
Ustadz Jarkoni
Seperti halnya di Indonesia, para pemuka agama yang super-ngetop di media itu tidak selalu menjalankan apa yang dikhutbahkannya, malah lebih sering bertentangan apa yang diucap dengan apa yang diperbuat.
Di Surabaya pemuka agama seperti ini dijuluki sebagai Ustadz Jarkoni, iso ujar ora iso nglakoni, bisa ngomong tapi tidak bisa menjalani. “Do what I say, don’t do what I do,” bunyi syair Phil Collin.
Umat harus manut apa katanya, tapi dia sendiri tidak benar-benar tahu apa yang dibicarkannya.
Itulah realitas sosial yang terjadi di negeri kita sekarang, ketika banyak pemuka agama Islam berbicara banyak hal mengenai pagebluk Covid-19 ini. Banyak yang mengaku kenal dekat dengan Tuhan, Jesus He knows me dalam versi yang berbeda.
Salah satu kenyataan yang paling nggegirisi di tengah ancaman pagebluk ini adalah bahwa puncak penyebarannya diperkirakan akan terjadi pada masa Ramadhan dan Idul Fitri akhir Mei nanti.
Berita yang dilansir The Dailymail, salah satu media terkemuka Inggris (26/3) mengkhawatirkan angka penularan di Indonesia akan mencapai 137 juta, separoh dari populasi kita, kalau tidak segera diambil tindakan lockdown total. Episentrum penyebaran wabah ini dikhawatirkan akan bergeser dari China, ke Italia, Amerika, Indonesia.
Ramadhan di Tengah Pagebluk
Ini tentu menjadi perdebatan yang panjang dan bertele-tele. Tetapi, prediksi bahwa pandemik ini akan menggila pada Ramadhan dan Idul Fitri memantik pertanyaan sensitif. Apakah orang Islam, mayoritas di negeri, ini akan menjadi bagian dari problem besar penyebaran pagebluk ini, atau sebaliknya: Islam menjadi bagian dari solusi integral penyelesaian wabah ini.
Pertanyaan ini bisa dijawab secara hipotetikal. Kalau Muslim adalah mayoritas di negeri ini maka penyelesaian wabah ini akan sangat bergantung kepada umat Islam sendiri. Bola ada di tangan umat Islam Indonesia, it’s now or never, sekarang atau tidak selamanya.
Lockdown memang sebuah pilihan yang amat sulit, karena implikasi sosial, politik, dan ekonominya sangat masif. Tapi, lockdown sosial dengan menerapkan social distancing yang ketat dan disiplin tinggi, jauh lebih mudah diterapkan. Dan kuncinya ada di tangan umat Islam.
Kuncinya terasa sangat sederhana, tetapi praktik di lapangan akan sangat rumit. Islam adalah agama yang sangat menekankan pentingnya kerekatan sosial sebagai mekanisme memperkuat ukhuwah, persaudaraan.
Mobilisasi sosial yang paling efektif adalah shalat berjamaah di masjid. Ada juga mobilisasi sosial dengan berbagai macam ritual seperti tahlil, yasinan, majlis taklim, dan beberapa aktivitas sosial lainnya termasuk silaturrahim kepada orang tua, sahabat, dan andai-tolan saat Idul Fitri.
Rezim Warkop
Mekanisme sosial yang selama ini menjadi kekuatan komunitas Islam itu sekarang berpotensi menjadi sumber penyebaran virus yang paling potensial. Karena semua aktivitas itu melibatkan orang dalam jumlah besar dengan interaksi yang yang sangat akrab melalui salaman, rangkulan, dan cipika-cipiki.
Mekanisme inilah yang sekarang harus diputus secara brutal kalau matarantai penyebaran virus ini hendak dihentikan.
Pemerintah masih maju mundur untuk menerapkan kebijakan itu. Total lockdown takut, social lockdown maju mundur. Rezim ini memang rezim Warkop, maju kena mundur kena. Sudah ada keputusan, tapi implementasinya maju mundur.
Sudah ada keputusan stay at home tapi tidak berani melarang orang ke masjid dan tidak berani melarang Jumatan. Bahkan di masjid yang dibiayai negara, seperti Masjid Al Akbar Surabaya, Gubernur Jawa Timur dan Walikota Surabaya tidak berani tegas melarang, padahal masjid itu dibiayai negara.
Jadinya, percuma Gubernur bicara berbusa-busa. Walikota membual soal penyelesian ala Korea dan berteriak-teriak keluar masuk kampung dan desa. Tapi terhadap persoalan yang bisa diselesaikan melalui otoritasnya, dua orang itu pura-pura tutup mata, karena pakewuh kepada pemuka agama.
Inilah contoh pemuka agama yang oleh Phil Collin disebut mengaku lebih kenal dekat dengan Tuhan, lalu secara meyakinkan mengatakan kepada pengikutnya supaya percaya mentah-mentah kepadanya, “You don’t need to believe in the day after, just believe in me.”
Religius, antara Amerika dan Indonesia
Dalam soal agama, Amerika dan Indonesia punya beberapa hal yang sama. Banyak yang mengira orang Amerika itu sekular dan tak mengenal Tuhan. Padahal kondisi sesungguhnya berbalik 180 derajat. Statistik menunjukkan bahwa orang Amerika termasuk yang paling religius di dunia. Jauh lebih religius dibanding masyarakat Eropa Barat dan Jepang.
Bangsa Indonesia, tentu saja, bangsa yang sangat religius. Tidak ada pertanyaan mengenai itu. Sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Mahaesa. Islam menjadi agama mayoritas. Dengan lebih dari 87 persen Muslim dari total 270 juta penduduk, maka jumlah Muslim di Indonesia adalah 240 juta.
Satu di antara tiga orang Amerika mengaku religius, dan separoh dari mereka yakin Alkitab adalah firman Tuhan, dan Isa adalah Tuhan.
Tapi, jangan keliru juga. orang Amerika sekaligus termasuk yang paling materialistis, paling kemaruk harta, di dunia ini.
Kok bisa? Bagaimana ceritanya bisa ada sebuah bangsa yang sekaligus religius tapi kemaruk harta, sangat bernafsu menjadi kaya raya memenuhi mimpi Amerika?
Tak usah repot-repot menjawabnya. Coba lihat lembaran duit dolar Amerika. Di situ tertulis “In God We Trust”. Anda boleh beriman kepada Tuhan, tapi, pada saat yang sama Anda boleh menjadi tajir melintir. Orang Amerika cuek saja mengenai hal itu.
Mayoritas orang Kristen Amerika mengaku sebagai terlahir kembali, atau sejenis fenomena hijrah di Indonesia. Mayoritas mereka percaya bahwa Isa akan bangkit dan turun kembali ke bumi. Perdefinisi ini disebut sebagai fundamentalisme.
Donald Trump
Kelompok fundamentalis ini umumnya pendukung partai Republik. Mereka konservatif dalam beragama, anti-gay dan lesbian, dan menolak pengguguran kandungan atau sering disebut sebagai pro-life.
Itu adalah ciri fundamental mereka. Sangat percaya kepada nilai-nilai keluarga dan menjaga keutuhan keluarga. Kalau mau lebih bingung lagi lihatlah Donald Trump, presiden dari Partai Republik yang selalu dengan pede berbicara mengenai nilai-nilai keluarga, padahal pada saat yang sama dia kawin cerai. Pemilihnya dari kalangan Kristen konservatif tidak peduli mengenai hal itu.
Orang-orang Kristen fundamentalis membuat Koalisi Kristen yang sangat kuat dan berpengaruh dipimpin oleh Pendeta Pat Robertson yang berpengaruh sekaligus kaya-raya. Dialah yang disindir Phil Collin sebagai orang yang kenal dekat dengan Yesus.
Pemahaman Formal Agamawan
Di Indonesia sama saja. Agama ada di urutan pertama sebagai dasar negara, tapi tak lebih dari formalitas belaka.
Di Indonesia bukan hanya satu Pat Robertson, puluhan malah ratusan atau mungkin ribuan Pat Robertson. Semua mengaku kenal dekat dengan Tuhan. Mereka adalah pemuka agama yang konservatif, yang tidak peduli pada kepentingan kemanusiaan yang lebih besar. Mereka hanya peduli kepada kepentingannya yang sempit dan jangka pendek.
Agama yang hanya dipahami sebagai agama formal saja, dengan fokus pada ibadah mahdhah, shalat, zakat, puasa, akan sulit menjadi kekuatan sosial untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan yang aktual.
Agama yang dipahami seperti ini tidak bisa menjadi civil religion, yang juga fokus pada ibadah ghairu mahdhah, ibadah sosial, yang tidak kalah pentingnya dibanding ibadah mahdhah.
Dalam sebuah kesempatan Rasulullah mengatakan seorang Muslim yang membantu kesulitan saudaranya, lebih baik ketimbang Muslim yang shalat seribu rakaat.
Pada situasi tertentu kewajiban sosial bisa bernilai seribu kali lebih baik dibanding kewajiban personal kepada Tuhan. Inilah yang dirisaukan oleh Almarhum Cak Nur, kita sibuk dengan agama formal, partai Islam formal, tapi isinya kosong.
Ini bukan perdebatan soal sekularisme atau liberalisme, tapi soal persoalan praktis yang harus kita selesaikan melalui tindakan nyata. Jauh hari Cak Nur mengkhawatirkan Islam akan disalahkan kalau bangsa ini mengalami kemunduran.
Buktikan Islam Solusi
Sekarang ini saja sudah ada tudingan bahwa halaqah besar di Kuala Lumpur beberapa waktu yang lalu menjadi ajang penularan pagebluk ini di Asia Tenggara.
Di sisi lain, agama Kristen yang dipeluk mayoritas orang Amerika dan Eropa dianggap berjasa menumbuhkan Etika Protestan yang menjadi pondasi kapitalisme-liberalisme, yang terbukti bisa membawa kemajuan dan kejayaan masyarakat.
Shintoisme bisa membawa kemajuan dan kesejahteraan untuk Jepang, demikian pula Taoisme yang membawa kemajuan dan kesejahteraan di Korea, serta Konfusianisme yang membawa kehebatan China dan Singapura.
Apa yang diberikan Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia? Selama kita masih berkutat pada ibadah mahdhah, dan gagal fokus pada ibadah ghairu mahdhah.Mmaka Islam akan dianggap gagal menyelesaikan persoalan kebangsaan dan kemanusiaan.
Dalam kasus penghentian pagebluk Covid-19 ini rasanya sangat sederhana apa yang bisa ditawarkan oleh Islam. Sejenak berhentilah fokus pada ibadah mahdhah, mari bergeser fokus kepada ibadah ghairu mahdhah. Hentikan jamaah di masjid, hentikan jumatan untuk sementara waktu, hentikan mudik waktu lebaran.
Sekaranglah saatnya Islam dicatat dalam tinta emas sebagai kekuatan sosial penting dalam menghentikan matarantai penyebaran wabah mengerikan ini. Jika episentrum pagebluk ini bisa dihentikan di Indonesia maka penyakit ini akan bisa diselesaikan. Indonesia dan umat Islam akan tercatat dalam tinta emas sejarah.
Saya, hanya sekadar bisa bicara, tapi tidak bisa berbuat banyak. Mungkin saya termasuk kelompok Ustad Jarkoni juga. Atau termasuk yang disindir Phil Collin, Do what I say, don’t do what I do. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.