Curhat Ibu: Susahnya Jadi Guru di Rumah ditulis oleh Uzlifah, Ketua Majelis Dikdasmen Pimpinan Cabang Aisyiyah Klojen, Kota Malang.
PWMU.CO – Sebagian orangtua mungkin mengalami stres saat anaknya dinilai suka menentang. Dinasihati tidak mau dengar, diperintah malah diabaikan. Apakah Anda mengalaminya?
Hampir dua pekan sejak diberlakukan program ‘Belajar di Rumah’ karena wabah Covid-19, penulis aktif membaca pesan-pesan di grup WhatsApp wali murid. Alasan penulis selalu update karena harus rutin mengecek tugas anak yang di-share guru kelas, supaya tidak ada info yang tertinggal.
Pembelajaran daring yang sudah diterapkan pihak sekolah ini, membuat orangtua harus jeli membaca setiap informasi yang ada di grup WhatsApp.
Dalam grup tersebut, penulis menemukan beberapa curhatan wali murid yang menarik terkait program ‘Belajar di Rumah’.
“Ya Allah berarti ibu gurunya anak-anak kita itu super sabar ya Ma,” tulis seorang ibu. “Satu kelas ngajar 25. Ini saya satu saja capeknya minta ampun, kalau tak bilangi (saya kasih tahu) tidak percaya.”
“Ya Ma, sama. Anak saya juga ini kalau diajari gak manutan, ngeyel terus (tidak patuh),” tulis ibu kedua.
“Ternyata tidak hanya di kelas satu ini Ma. Di grup kelas VI juga pada curhat anaknya yang gak manut dan sukanya bandingkan dengan Bu guru. Sampai bertengkar juga lho Ma,” tulis ibu ketiga.
Itu baru curhatan tiga orang ibu, belum yang lain. Dari 25 murid dalam satu kelas, hampir separo jumlah ibu yang curhat semacam itu. Jika dalam satu rombongan belajar (rombel) ada 4 kelas dan setiap kelas ada 25 siswa, maka jumlah siswa kelas satu sebanyak 100 anak.
Jika dihitung dalam satu sekolah dasar, maka jumlah siswa kelas I hingga VI ada 600 siswa dengan 600 orangtua pula. Coba bayangkan jika sekitar empat puluh persen ibu curhat yang sama. Maka berapa banyak orangtua yang stres dengan kondisi ini?
Terpenting Karakter Anak
Hal ini tentu harus menjadi perhatian khusus bagi guru dan orangtua. Mengapa? Karena sejatinya, visi pendidikan adalah membangun karakter anak.
Anak-anak diharapkan mampu memahami dan mengamalkan akhlakul karimah, memiliki rasa hormat pada kedua orangtua, patuh, tidak menyakiti hati mereka, dan masih banyak lagi cerminan akhlak, baik tutur kata maupun tindak tanduk.
Cerminan anak-anak yang suka ngeyel, membantah, bahkan berakhir dengan pertengkaran, menunjukkan adanya rasa tidak percaya pada orangtua. Mungkin menurut mereka, soal pelajaran sekolah hanya gurunya yang ahli, orangtua tidak sepandai guru.
Lalu siapa yang salah? Penulis meyakini, tidak ada yang salah dalam hal ini. Karenanya, saat ini merupakan momen bagi orangtua untuk membuktikan, mereka tak kalah dengan guru di sekolah.
Orangtua yang saat ini mendapat tanggung jawab untuk mendampingi putra-putrinya belajar di rumah, tentu ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Termasuk pemahaman materi pelajaran.
Menurut penulis, adanya wabah Covid-19 ini merupakan momen meluruskan pola pikir para orangtua. Proses belajar itu bukan dimulai dari sekolah, namun dimulai dari keluarga.
Anak-anak yang tidak percaya pada orangtuanya, karena mereka tidak dilibatkan dalam proses belajar di keluarga. Pepatah mengatakan, belajar itu mulai dari buaian ibu sampai ke liang lahat.
Artinya, sudah ada proses belajar ketika anak masih dalam kandungan. Maka ibu yang berilmu pasti tahu bagaimana proses belajar dalam sebuah keluarga.
Orangtua sebagai Guru Terbaik
Setidaknya, selama pandemi Covid-19 ini para orangtua bisa menjadi guru terbaik bagi sang buah hati. Berikut hal-hal yang harus dilakukan orangtua, khususnya seorang ibu.
Pertama, harus percaya diri. Niatkan dari awal bahwa ibu atau ayah yang akan mendampingi anak-anak belajar.
Kedua, seperti layaknya guru, baca dan pahami lebih dulu materinya. Bila kurang paham, cobalah bertanya dan sharing dengan guru secara terpisah melalui WhatsApp pribadi, tanpa anak tahu.
Jangan Malu Bertanya pada Anak
Ketiga, jangan malu bertanya pada anak bila memang mereka lebih mampu secara akademik. Tetap dampingi dan ingatkan supaya jauh dari sifat sombong. Selain ilmu, akhlaklah yang terpenting untuk bekal hidup.
Keempat, jadikan momen ini untuk bisa melejitkan potensi anak yang awalnya masih belum optimal.
Tidak dipungkiri, pada umumnya anak-anak yang menonjol selalu mendapatkan perhatian dan kesempatan yang lebih dibanding mereka yang kurang. Misalnya, setiap ada lomba atau even tertentu, pastilah mereka yang menonjol banyak dipilih.
Nah, kondisi sekarang ini belum tentu akan datang kembali. Inilah saatnya mengubah yang biasa menjadi luar biasa. Kelas yang ada di rumah kita hanya ada satu anak dan itu anak kita sendiri. Maka dalam mendampingi, orantua seharusnya totalitas.
Kelima, ciptakan komunikasi efektif yang menyenangkan. Ajak bicara mereka, siapa gurunya, dan hal-hal lain. Anak pasti akan bercerita gaya guru mereka saat mengajar dan pasti ada yang disuka.
Dalam membersamai belajar di rumah, cobalah untuk melakukan hal yang disukai anak, sebagaimana yang mereka ceritakan. Selain itu, upayakan membuat selingan-selingan yang menyegarkan. Misalnya main tebak-tebakan, bermain peran, atau nonton film yang mendidik. Bisa juga berkebun dan masih banyak lagi untuk bisa menghibur anak supaya tidak bosan dan tetap semangat.
Pelibatan mereka dalam mengatur rumah juga sangat mungkin dilakukan. Ajak mereka menata kamar tidur, kamar tamu, cuci piring, atau memasak. Mereka pasti sangat senang, asal tidak dengan cara memerintah.
Intinya, kebersamaan itu sangat penting untuk membangun komunikasi dalam keluarga. Anak-anak akan sangat percaya pada orangtuanya, bila mereka sering bersama dalam setiap kebaikan yang dilakukan.
Semoga dari curhat ibu bisa jadi solusi! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.