Corona dan Disiplin Warga Persyarikatan ditulis oleh Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur. Mengingatkan warga yang belum disiplin patuhi pimpinan soal Covid-19.
PWMU.CO – Wabah Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 di negeri ini memasuki masa-masa paling mengkhawatirkan. Bukan hanya jumlah penderita barunya mengalami peningkatan, konflik horisontalnya pun menambah persoalan.
Merujuk prediksi pakar Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi ITB, puncak wabah di Indonesia terjadi pada pertengahan April. Dan diperkirakan akhir Mei terdapat 60 ribu positif Corona dengan 2.000 kasus baru muncul setiap hari. Maka kapasitas rumah sakit pasti akan semakin kewalahan.
Dengan demikian upaya mencegah skenario terburuk wabah Covid-19 harus diprioritaskan. Bukan hanya tugas pemerintah tapi tanggung jawab setiap warga negara secara keseluruhan.
Tiga Maklumat PP
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah sejak jauh hari telah me-warning anggotanya agar waspada tingkat tinggi dengan tetap berbuat sesuatu yang bisa menyelesaikan persoalan. Bukan diam atau bahkan saling menyalahkan.
Setidaknya telah tiga kali dikeluarkan maklumat/surat edaran. Maklumat pertama
Nomor 02/MLMA.O/H/2020 menyatakan, wabah ini sebagai kejadian luar biasa (KLB) yang harus dilakukan pencegahan dan tindakan secara sungguh-sungguh dan terkoordinasi baik dengan semua kalangan.
Seraya diserukan, semua kegiatan yang melibatkan massa banyak agar ditunda atau dibatalkan. Khusus berkenaan dengan ibadah ritual kaifiyatnya diubah menggunakan kaidah darurat yang dibenarkan.
Maklumat kedua berupa Keputusan PP Nomor 2894/KEP/I.0/B/2020 tentang penundaan waktu penyelenggaraan Muktamar ke-48 di Surakarta. Dari tanggal 1-5 Juli 2020 menjadi tanggal 24-27 Desember 2020 dengan menimbang dalil-dalil keagamaan.
Maklumat ketiga berupa Surat Edaran Nomor 02/Edr/I.0/E/2020, berisi Tuntunan Ibadah dalam Kondisi Darurat Covid-19 yang disusun Majelis Tarjih dan Tajdid dengan beragam dalil keagamaan.
Beragam Tanggapan Warga
Tapi kesungguhan PP oleh warga ditanggapi beragam. Sebagian patuh dan loyal pada garis gerakan, ditunjukkan dengan langsung melaksanakan seperti yang digariskan.
Tapi sebagian lainnya menganggap berlebihan, ditunjukkan dengan sikap skeptis dan bahkan ada yang membuli di media sosial secara berlebihan.
“Kayak ndak punya Tuhan,” celoteh salah seorang wali murid yang juga guru Persyarikatan.
Ungkapan serupa datang dari beberapa takmir masjid yang marah-marah ketika diminta patuh pada kebijakan Persyarikatan.
Terkait penolakan, setidaknya ada dua kelompok kepentingan. Pertama, yang dilatari masalah politik dan ideologi keagamaan.
Misalkan, pada akhir Maret 2020 ada seorang sahabat mengundang acara tasyakuran. Saya ingatkan, “Ustadz kok masih bikin acara yang melibatkan kerumunan banyak orang?”
“Saya mufaraqah dengan rezim pemerintahan. Insyaaallah kita dijauhkan dari musibah dan senantiasa dilindungi Allah Ta’ala,” jawabnya meremehkan.
Jawaban senada terlontar dari salah seorang takmir masjid yang tak mau jamaah Jumat diliburkan. Padahal kondisi lokasinya sangat membahayakan. “Hanya di negara PKI shalat Jumat diliburkan.”
Kedua, dilatari aspek pragmatis keuangan. Misalnya, sejumlah mubaligh mengeluhkan. “Gara gara maklumat PP job khutbah dan pengajian saya dibatalkan,” kata sebagian dari mereka meski dengan nada candaan.
Mengenai tuduhan berlebihan, bisa dijelaskan bahwa Islam mengajarkan ikhtiar dan tawakal harus jalan seimbang dan beriringan. Tawakal pun dimaknai aktif bukan pasrah bonggokan. Kasus kuda yang semula dibiarkan dengan alasan tawakal toh oleh Nabi SAW diminta untuk dicancang.
Demikian halnya soal kematian. Urusan Allah SWT memang. Tapi manusia wajib berusaha melakukan pencegahan dan pengobatan. Dalam kondisi sekarang, social distancing merupakan salah satu upaya pencegahan.
Dari kasus wabah Covid-19 kita dapat banyak pelajaran. Salah satunya: Corona dan disiplin warga Persyarikatan. Ternyata masih perlu terus dimantapkan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Discussion about this post