Menggugat Keaslian Indonesia artikel opini tulisan Sugeng Purwanto, Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi PWM Jawa Timur.
PWMU.CO-Para buzzer di medsos memakai kata kadal gurun atau kadrun sebagai ekspresi kebencian terhadap orang Islam dan Arab.
Dulu puisi Sukmawati yang mempertentangkan konde dengan cadar, kidung ibu dengan adzan seperti memosisikan antara Islam dengan keindonesiaan saling berlawanan. Ungkapan itu menurut mereka seolah-olah Islam itu bukan Indonesia.
Mempertentangkan Islam dengan keindonesiaan bukan barang baru di sini. Isu itu sering dilontarkan oleh orang yang sok nasionalis. Orang yang selalu merasa paling Indonesia. Orang yang mengaku mempunyai jati diri asli dan terganggu dengan Islam yang dianggap impor dari Arab. Kita perlu menggugat keaslian Indonesia agar paham jati diri.
Sebenarnya seperti apakah jati diri keindonesiaan itu? Dari segi nama, Indonesia itu bukan kata asli yang digali dari adat budaya suku-suku yang bersatu di bawahnya. Juga bukan dari hasil perasan intisari pikiran dan hati sanubari rakyatnya.
Kata Indonesia itu adalah kata asing. Sebutan yang diberikan oleh etnolog Inggris. Penamaan yang sebenarnya salah kaprah karena sempitnya pengetahuan orang Eropa terhadap peta bumi.
Secara harfiah Indonesia berarti kepulauan India. Di abad pertengahan itu, orang Eropa hanya mengenal India untuk dunia di belahan timur. Karena itu semua pulau di timur disebut India, negeri penghasil rempah-rempah.
Sama salah kaprahnya dengan sebutan bangsa Indian oleh Christofer Columbus untuk penduduk asli Amerika karena dikira menemukan tanah India.
Masih pintar orang Arab yang sudah paham peta bumi dengan menyebut kepulauan nusantara sebagai Jawi. Pelaut Arab yang berkelana terus ke timur menemukan kerajaan-kerajaan di Ternate, Tidore, Palawan, Seram, Banda, sehingga menjuluki sebagai kawasan Jumhur Muluk seperti tertulis dalam buku perjalanan Ibnu Batutah. Artinya, kumpulan kerajaan-kerajaan. Dari kata itulah akhirnya memunculkan sebutan Maluku sekarang ini.
Orang India menamakan satu pulau nusantara ini Jawadwipa, pulau penghasil jawawut, beras. Orang Cina menyebut Holing atau juga Nan Yang, yang berarti pulau selatan. Orang Baratlah yang membuat topografi sesat tentang penamaan pulau di wilayah ini.
Budaya Kebarat-baratan
Nama Indonesia kemudian diadopsi oleh pelajar Indonesia yang belajar di Eropa semasa kolonial untuk memberi identitas bangsa di kepulauan ini. Nama yang sebenarnya tidak memiliki nilai akar budaya, tradisi, dan religi bangsanya.
Kata Indonesia awalnya adalah ciptaan etnolog Inggris, George Samuel Windsor Earl, yang termuat artikel dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia tahun 1850.
Artikel berjudul On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations dikenalkan sebutan bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu agar memiliki sebutan khas.
Orang Belanda ketika menguasai kepulauan itu menamakan sebagai Indische Nederland (Hindia Belanda). Kumpulan pedagang Belanda menamakan Oost Indische (Hindia Timur) seperti singkatan VOC, Vereeniging Oost Indische Compagnie artinya Kumpulan Dagang Hindia Timur.
Windsor Earl menyarankan penyebutan kepulauan itu dengan nama Indunesia atau Malayunesia. Kata Indunesia bentukan dari India dan nesos, artinya kepulauan India. Sedangkan Malayunesia berarti kepulauan Malayu.
Usulan itu direspon James Richardson Logan dalam artikel The Ethnology of the Indian Archipelago yang dimuat jurnal itu. Dia memilih kata Indunesia dengan mengubah huruf u diganti o untuk memudahkan pengucapan.
Sejak itu nama Indonesia mulai populer di dunia etnologi. Pemilihan nama itu menunjukkan orang Eropa telanjur akrab dengan salah kaprah kepulauan ini dianggap bagian dari India.
Sementara kata Malayunesia baru tahun 1963 dipungut untuk menggantikan nama negeri Persekutuan Tanah Melayu menjadi Malaysia, dengan sedikit penghilangan suku kata di tengah.
Etnolog Universitas Berlin Adolf Bastian setelah berkelana tahun 1864-1880 lantas menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel (Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu). Dari buku inilah kemudian nama Indonesia populer di kalangan sarjana Belanda, termasuk pelajar Islam yang belajar di sana.
Alasan Memakai Nama Indonesia
Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara orang pribumi nusantara yang pertama kali mengambil nama itu pada tahun 1913 mendirikan sebuah biro pers di Belanda dengan nama Indonesische Persbureau.
Kemudian Mohammad Hatta, mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam mengubah nama perkumpulan pelajar Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah organisasinya, Hindia Poetra, berubah nama menjadi Indonesia Merdeka.
Tulisan Bung Hatta menuturkan mengambil nama itu dengan pertimbangan, Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut Hindia Belanda. Juga tidak Hindia saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.
Setelah itu nama Indonesia menjadi populer di tanah air setelah dikenalkan para pelajar yang pulang dari Belanda. Dr Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club tahun 1924 di Surabaya. Perserikatan Komunis Hindia juga mengubah nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1924. Jong Islamieten Bond mendirikan kepanduan National Indonesische Padvinderij (Natipij).
Setelah nama Indonesia makin populer lantas disepakati menjadi nama tanah air, bangsa, dan bahasa dalam Soempah Pemoeda pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928.
Melihat sejarah ini kata Indonesia itu juga sama asingnya. Sama-sama impor. Nasionalisme Indonesia baru muncul di awal abad 20, Islam sudah jauh hari meresap ke dalam sendi kehidupan orang-orang nusantara lewat pedagang dan ulama Arab yang datang ke negeri ini.
Mereka datang dengan damai mengenalkan keyakinan hidup baru yaitu agama Islam. Keyakinan yang terus menyala menjadi satu dengan kehidupan rakyatnya. Memberikan spirit, harkat kehidupan, pengetahuan dunia akhirat, hingga mewujud dalam puncak politik yang melahirkan kerajaan muslim mulai Samudra Pasai, Aceh, Ternate, Tidore, Demak, dan lainnya. Patutlah kita menggugat keaslian Indonesia agar kita tahu diri. (*)