Akhir Konflik Kiai Dahlan dan Kraton ini mengulas penyelesaian konflik dalam sejarah perkembangan Persyarikatan Muhammadiyah dengan ulama dan pejabat Kraton Yogyakarta.
PWMU.CO-Fragmen sejarah KH Ahmad Dahlan paling menegangkan adalah robohnya Langgar Kidul. Itu terjadi tahun 1897. Inilah konflik Kiai Dahlan dengan ulama kraton.
Umurnya saat itu 29 tahun. Menjabat sebagai Khatib Amin di struktur Penghulu Masjid Gede. Konflik terjadi karena sebagai khatib yunior melangkahi kewenangan Hoofd Penghulu Kiai Mohammad Khalil Kamaludiningrat tentang perubahan arah kiblat masjid kraton.
Waktu itu KH Ahmad Dahlan baru setahun menggantikan ayahnya KH Abu Bakar yang meninggal pada tahun 1896 sebagai Khatib Amin. Dia mengundang 17 ulama dan sesepuh Kauman di langgarnya membicarakan arah kiblat masjid sesuai ilmu falakh.
Ide arah kiblat ini menjadi isu kontroversial dan perdebatan yang panas di kalangan ulama dan pejabat kraton. Sebab umumnya ulama menganggap arah kiblat itu ke barat sesuai posisi negeri Arab Saudi.
Kiai Dahlan mengenalkan arah kiblat menghadap ke Kakbah dengan perhitungan rumit ilmu falakh dan ilmu bumi. Ide ini mengusik kemapanan konsep kiblat yang sudah dipercaya bertahun-tahun. Jika disetujui konsekuensinya kiblat Masjid Gede yang ditentukan ulama terdahulu salah dan harus diubah. Pertemuan ulama itu deadlock. Tak sepakat dengan ide perubahan kiblat.
Puncaknya ketika ada santri Kiai Dahlan, usai pertemuan itu, di malam hari diam-diam memasuki Masjid Gede membuat garis shaf baru di belakang mihrab. Esoknya ulah ini membuat geger dan Kiai Dahlan menjadi tertuduh.
Akibatnya Hoofd Penghulu Kiai Mohammad Khalil Kamaludiningrat marah dan menyuruh merobohkan mushala di rumah Kiai Dahlan. Alasan resminya Langgar Kidul dibangun tak sesuai dengan kiblat Masjid Gede.
Peristiwa ini membuat Kiai Dahlan kecewa dan memutuskan pindah ke suatu desa di Magelang. Namun niat itu bisa dicegah kakak iparnya, KH Muhammad Saleh, saat mau naik kereta api di Stasiun Tugu.
Hubungan Kraton dan Muhammadiyah
Dalam penuturan sejarah, fragmen konflik ini terhenti begitu saja. Tak ada penjelasan penyelesaiannya. Sehingga menimbulkan kesan seakan-akan konflik terus terpelihara antara KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah dengan ulama dan pejabat kraton. Episode sejarah langsung melompat pulang haji mendirikan Muhammadiyah.
Padahal menurut penuturan GBPH Joyokusumo, adik Sri Sultan Hamengku Buwono X, kraton mendukung KH Ahmad Dahlan dan gerak dakwah Muhammadiyah.
Itu dibuktikan dengan catatan bahwa biaya naik haji Kiai Dahlan tahun 1890 waktu berumur 22 tahun maupun haji kedua tahun 1903 saat berumur 35 tahun dibiayai oleh kraton. Haji pertama dapat fasilitas kraton karena dia anak cerdas putra penghulu Khatib Amin.
Haji kedua lima tahun setelah konflik menandakan sudah tak ada lagi persoalan antara Kiai Dahlan, kraton, dan ulama. Apalagi kalau benar perjalanan hajinya itu dibiayai kerajaan.
Bahkan saat mengajukan izin pendirian Muhammadiyah, Sri Sultan Hamengku Buwono VII langsung memberikan rechtperson sebagai syarat pembentukan badan hukum persyarikatan itu ke pemerintah kolonial.
Peran KH Sangidu
Agaknya peran KH Muhammad Saleh yang juga jadi penghulu kraton, dan teman seperjuangan Kiai Dahlan, KH Sangidu, yang menjabat Khatib Anom merangkap wakil hoofd penghulu menjadi juru damainya. Penentu akhir konflik Kiai Dahlan dengan ulama. Sangidu ini juga menantu KH Muhammad Khalil Kamaludiningrat.
Itu dibuktikan rapat pendirian Muhammadiyah tahun 1911 di rumah KH Sangidu, 14 tahun setelah peristiwa perobohan Langgar Kidul. Kemudian pengurusan rechtperson yang harus mendapat rekomendasi Hoofd Penghulu dulu sebelum masuk ke meja Sultan, bisa berjalan lancar.
Bahkan KH Sangidu mendaftar jadi orang pertama anggota Muhammadiyah. Agaknya peran Kiai Sangidu dalam penghulu kraton makin besar dalam tahun-tahun sesudah konflik. Mungkin Hoofd Penghulu makin tua sehingga urusan lebih banyak diserahkan kepada Khatib Anom yang juga menantunya itu.
Konflik makin cair setelah Mohammad Khalil Kamaludiningrat meninggal tahun 1914. Jabatan itu turun kepada Khatib Anom KH Sangidu. Dia lantas bergelar KH Muhammad Kamaludiningrat. Nama yang mirip dengan mertuanya. Hanya tanpa Khalil di tengah.
Kiai Sangidu akhirnya menjadi saudara dengan Kiai Dahlan ketika menikahi Siti Djauharijah, putri KH Mohammad Saleh, setelah istrinya meninggal. Hubungan ini makin menguatkan gerak dakwah Muhammadiyah di kraton dan mengubah protokoler Kepenghuluan Kraton Yogyakarta yang mengurusi Masjid Gede dan keagamaan.
Menurut catata Mu’arif, peneliti sejarah lulusan UIN Sunan Kalijaga, di era ini Muhammadiyah memasuki Bangsal Priyayi. Kantor Penghulu menjadi tempat rapat pengembangan dakwah Muhammadiyah.
Sebelumnya Bangsal Priyayi tempat yang tabu bagi masyarakat untuk dimasuki. Tapi kini berubah menjadi tempat pelatihan kader mubaligh Muhammadiyah. Saat pendirian Bustanul Athfal yang diasuh oleh Siti Umniyah, anak Kiai Sangidu, juga menempati Bangsal Priyayi ini.
Dari sinilah kemudian Kiai Dahlan berkenalan dengan para priyayi aktivis Boedi Oetomo yang kemudian bekerja sama mengembangkan dakwah Islam hingga ke mana-mana. Sultan juga mengizinkan alun-alun kraton untuk perhelatan dan perayaan muktamar. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto