Bey Arifin: Buka Kedok Pendeta Yusuf Roni ditulis untuk mengenang dai fenomenal Surabaya yang juga tentara, penulis, dan kristolog.
PWMU.CO – KH Bey Arifin bukanlah tokoh Muhammadiyah jika ukurannya adalah keterlibatan aktif dalam jenjang kepemimpinan Muhammadiyah. Sebab, latar belakangnya sebagai tentara saat itu tidak memungkinkannya terlibat dalam organisasi kemasyarakat lainnya.
Meski demikian, dedikasinya terhadap Persyarikatan tidak bisa diragukan lagi, bahkan bisa dikata sebagai pelopornya. Pada masa awal pendirian Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim dari Konsul, dia menjadi salah satu rujukan bertanya warga Muhammadiyah dalam masalah keagamaan.
Jejak Bey Arifin dalam kegiatan dakwah Muhammadiyah secara otentik terekam sejak tahun 1952. Nama Bey Arifin juga tercatat sebagai salah satu bagian dari keluarga besar Muhammadiyah. Dia tercatat sebagai Ketua Panitia Bagian Penyiaran Peringatan 40 tahun Muhammadiyah dan 31 tahun Muhammadiyah Cabang Surabaya.
Hasil dokumentasinya yang diabadikan dalam buku setebal 100 halaman itu menjadi salah satu rujukan penting tentang perkembangan Muhammadiyah Jatim.
Selain itu, buku itu juga memudahkan generasi kekinian dalam menelusuri jejak-jejak Muhammadiyah periode awal maupun para tokohnya. Sebab, selain memuat ragam nama yang membesarkan Muhammadiyah Surabaya, juga memuat ragam foto serta cerita kegiatan yang dilakukannya.
Kerja Bey itu menjadi semacam salah satu “jembatan” terpenting dalam merangkai ketersambungan sejarah Muhammadiyah di Surabaya.
Jejaknya dalam mendakwahkan paham pembaruannya juga sangat terlihat saat Muhammadiyah menyelenggarakan shalat Idul Fitri di Lapangan Tambaksari pada 1952. Sebab, tidak hanya warga Muhammadiyah yang mengikutinya, tetapi juga para “tentara” dan juga murid Akademi Angkatan Laut (AAL) yang datang secara bergelombang dengan truk dan bus.
Kebiasaan para tentara berjamaah shalat Id bersama warga Muhammadiyah di lapangan terbuka ini berlangsung hingga beberapa tahun kemudian. “Mungkin juga karena peran almarhum Bey Arifin dalam memobilisir para tentara tersebut,” kata Ketua Panitia Shalat Idul Fitri Muhammadiyah Pacar Keling tahun 1958, A. Latief Malik.
Setelah itu, nama Bey Arifin memang jarang terdengar kiprahnya dalam kepemimpinan Muhammadiyah. Bukan mengapa, tapi Bey adalah prajurit aktif yang tidak memungkinkan untuk aktif di luar kesatuannya.
Penulis Produktif
Lebih dari pada itu, Bey tampaknya memang benar-benar berkonsentrasi penuh pada bidangnya sebagai mubaligh. Berbeda dengan juru dakwah lainnya, Bey memang punya keistimewaan tersendiri. Dakwahnya tak hanya lewat lisan, tetapi juga aktif menerjemah dan menuangkan gagasannya dalam buku.
Tepat pada tahun 1940, selain tulisannya yang tercecer di berbagai media massa, dia sudah mengarang 47 buku. Di antaranya adalah Samudra Al-Fatihah, Mengenal Tuhan, Rangkaian Cerita dalam Al-Quran, Hidup sesudah Mati.
Ada juga Kerugian Dunia karena Kemunduran Umat Islam, Rahasia Ketahanan Mental, Kehidupan para Sahabat Rasulullah SAW, Dinamika Iman, dan lain-lain.
Selain mengarang dan menerjemah buku, Penasehat Yayasan Masjid al-Falah periode pertama ini juga mendapat honor dari kaset-kaset rekaman ceramahnya.
Lazimnya warga Muhammadiyah yang banyak sepaham dengan Syaikh Abdul Wahab dalam pemurnian akidah, Bey Arifin juga mengidolakan tokoh ini. Bersama rekan-rekannya selaku rohaniawan di Kodam VII Brawijaya, Bey menerjemahkan Kitab Tauhid Syaikh Abdul Wahab dan diterbitkan oleh PT Bina Ilmu Surabaya.
Kitab Tauhid itu dengan jelas-jelas memampangkan nama Muhammad bin Abdul Wahhab dengan nama kitabnya Ma’a ‘Aqidatis Salaf Kitabut Tauhid alladzi Huwa Haqqullahi ‘alal ‘Abid. Terjemahan Indonesianya: Bersihkan Tauhid Anda dari Noda Syirik.
Pujian dari Universitas McGill Kanada
Samudra Al-Fatihah dan Rangkaian Cerita dalam Al-Quran, membuat profesor di Institut Studi-studi Islam Universitas McGill di Montreal, Kanada, Howard M. Federspiel, memasukkan Bey Arifin sebagai salah satu tokoh terkemuka dari ulama yang mengkaji secara serius tentang al-Quran.
Salah satu keistimewaannya menurut temuan Federspiel, ternyata karya Bey Arifin menjadi bacaan yang diminati dua “kelas” berbeda: masyarakat awam dan kaum terpelajar.
Selain itu, berdasarkan ayat-ayat al-Quran, Bey Arifin mampu menjelaskan secara detail bagaimana dekatnya hubungan antara tidur dan mati. Dia melukiskan persamaan antara orang tidur dan yang mati.
Orang yang tidur dihidupkan kembali (bangun tidur), sedang yang mati pun dihidupkan kembali di alam abadi untuk menjalani perhisaban dan pembalasan tentang kebaikan dan kejahatan yang dilakukan semasa bangunnya.
Orang yang sudah ditidurkan selama-lamanya itu pun, menurut Bey berdasar ayat kitab suci, disebutkan seakan-akan bangun tidur ketika tiba di alam akhirat. “Tidur adalah saudara mati,” kata Bey Arifin.
Tak Pernah Pensiun Berdakwah
Muballigh kelahiran Bukittinggi, 26 September 1917 itu seolah tak kenal pensiun dalam berdakwah. Fisik yang tua memang mengharuskannya istirahat dari pekerjaan, tetapi ia tak membuatnya jera untuk terus berhidmat di mimbar dakwah.
Bahkan, saat kondisi fisik kian renta, hari-harinya tetap saja dipenuhi jadwal memberi ceramah. Meski dia harus memenuhi jadwal ceramah dengan cara duduk sekalipun, para jamaah tak sedikit pun berkeberatan berjam-jam mendengarkan tutur bijak Bey Ariin.
Selama 25 tahun terakhir sebelum wafat, Bey Arifin lebih banyak membawakan ceramah agama bertema ketuhanan. Tema ini, menurutnya, adalah dasar utama dalam kehidupan bermasyarakat.
Ketika korupsi pada zaman itu sudah menjadi pembicaraan hangat pun, Bey memandangnya akan tetap selesai jika pondasi ketuhanan seseorang sudah mapan. “Soal korupsi itu kecil. Kalau orang sudah menjalankan syariat agama, dia tak akan melakukannya,” katanya dalam kutipan di berbagai media.
Sebelumnya, lulusan Islamic College Padang (1938) ini juga sering membawakan ceramah bertemakan masalah yang hangat dan disukai umat. Dia mengenang ceramah akbar di masjid Al-Irsyad, Surabaya, 1954. Karena temanya pas, Bey bisa mengetuk hati ribuan massa yang hadir untuk mengumpulkan dana pembangunan masjid.
Hasilnya, terkumpul Rp 77 ribu, cukup untuk membangun Masjid Mujahidin, di Perak, Surabaya. Selain berbuah masjid, ia terus berkembang dengan lahirnya lembaga pendidikan dengan nama yang sama.
Ngajar FK Unair tanpa Teks
Bey Arifin yang juga dosen agama Islam di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, tak pernah membawa teks ketika berceramah. “Sudah hafal. Ada semua di kepala,” katanya.
Tapi dia membawa buku catatan, yang biasanya berisi garis besar tema. Sumber dakwah yang dibawakannya selalu ayat al-Quran dan a-adits, serta sejumlah kitab dan buku agama.
Pengalaman paling menarik baginya sebagai juru dakwah adalah saat berceramah di Ujungpandang (kini Makassar) pada 1969. Dalam pengajian akbar itu ternyata umat yang datang membeludak hingga mencapai seratus ribuan orang.
Tema yang dibawakannya sebenarnya cukup sepele: bagaimana keluar-masuk WC. Namun, meski materi ringan, ternyata respon pengunjung sungguh luar biasa. Sebab, selama dua setengah jam, pengunjung tetap betah mendengarkannya tanpa beranjak dari tempat.
Buka Kedok Pendeta Yusuf Roni
Kekayaan akan khazanah ketauhidan menghantarkan Bey Arifin menjadi salah satu legenda kristologi Jawa Timur. Bersama pakar-pakar Kristologi di Indonesia seperti M. Arsjad Thalib Lubis, Abdullah Wasi’an, Hamka, Bahaudin Mudhary, dan Irene Handono, Bey Arifin semakin konsen untuk meneliti dan mengkaji ajaran Nasrani.
Dalam bidang Kristologi, namanya moncer seiring dengan kasus pelecehan agama di Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) Maranatha Surabaya yang dilakukan Pendeta Kernas Abubakar Masyhur Yusuf Roni.
Dalam ceramah pada tahun 1974, sang pendeta mengaku-aku sebagai mantan kiai, alumnus Universitas Islam Bandung, dan pernah menjadi juri Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Internasional.
Dalam ceramahnya itu, sang pendeta menafsirkan ayat-ayat al-Quran secara serampangan, dan kaset rekaman ceramah itu juga diedarkan secara luas kepada umat Islam.
Akhirnya pendeta itu diajukan ke sidang dan dihadang oleh Bey Arifin. Oleh Bey, dilakukanlah tes kepada Yusuf Roni dengan disuruh membaca surat al-Fatihah. Ternyata Yusuf Rani banyak sekali kesalahannya hingga membuka borok kebohongannya.
“Jika dia membaca ayat tersebut di depan anak-anak kelas 5 SD Mujahidin, ini pasti anak-anak tersebut akan mengoreksinya,” kata Bey saat itu.
Berawal dari tes ini pula terbuka berbagai kebohongan lainnya sang pendeta. Pengakuannya sebagai mantan kiai, alumnus Universitas Islam Bandung, maupun juri MTQ internasional hanyalah bualan untuk melecehkan umat Islam, karena dia ternyata tidak bisa membaca al-Quran.
Dengan kebohongannya itu, Pendeta Pembohong Yusuf Roni diganjar penjara 7 tahun di Kalisosok, Surabaya. Cerita itu kemudian diabadikan dalam buku Bey Arifin Kontra Yusuf Roni.
Kajian Kristologi menunjukkan tren polemik sebagaimana terjadi pada sepuluh abad lalu. Karya-karya yang ditulis oleh para ahli Kristologi adalah upaya-upaya untuk menjawab kritikan terhadap Islam atau untuk menyerang keyakinan Kristiani.
Selain Bey Arifin Kontra Yusuf Roni, buku Bey yang membahas masalah kristologi, dan dijadikan rujukan perbandingan agama adalah Dialog Islam Kristen dan Maria Yesus dan Muhammad.
Anaknya Ditembak Pejabat Militer
Hingga akhir hayatnya, Bey berdomisili di Jalan Sumatera, Surabaya. Pada akhir masa tuanya, tiba-tiba pada tahun 1992 salah anak laki-lakinya ditembak oleh anak seorang pejabat militer dalam sebuah “cekcok”.
Entah kenapa kasus yang melibatkan anak Pangdam—yang kemudian hari jadi Kepala Staf Angkatan Darat–ini tiba-tiba dipetieskan. Sementara keluarga Bey ditekan harus menerima perjanjian damai. Tekanan memaksa keluarga KH.Bey Arifin menerima kondisi tersebut dan keadilan dunia tetap saja milik penguasa.
Legenda dai ini meninggal dunia pada 30 April 1995, dan dimakamkan di Pemakaman Ngagel Surabaya. Pernikahannya dengan Zainab (wafat 1998), membuahkan 12 putra-putri: Partiwi, alm. Ratna Wilis, Yawmi, Raunas Sayum, alm. Nurhayati (2008), Mohammad, alm. Muh. Hanif (1992), Hunaifa, Muhibbudin, Arinil Haq, alm. Ahmad Urfi (1996), dan Affan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Tulisan berjudul asli Bey Arifin (1917-1995) Legenda Da’i Tanah Air ini dimuat ulang PWMU.CO atas izin Penerbit: Hikmah Press dari buku Siapa & Siapa 50 Tokoh Muhammadiyah Jawa Timur Jilid II, Editor Nadjib Hamid, Muh Kholid AS, dan MZ Abidin, Cetakan I: 2011.