Gerakan Menanam Ayo Contoh Nabi ditulis oleh Prima Mari Kristanto, warga Muhammadiyah yang tinggal di Kota Lamongan, Jatim.
PWMU.CO – Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Dr HM Saad Ibrahim MA baru-baru ini mengajak warga Muhammadiyah melakukan gerakan menanam.
Menanam pohon hakikatnya adalah gerakan yang serius, bukan pekerjaan iseng. Bapak pendiri Amerika Serikat George Washington megatakan, “Agrikultur (pertanian, tanam menanam) adalah pekerjaan manusia yang paling sehat, bermanfaat dan berbudi.”
Terbukti dalam usia Amerika yang telah mencapai 244 tahun, di tengah kemajuan sektor industri dan manufakturnya masih menempatkan pertanian sebagai sektor yang penting, terbukti hingga hari ini tahu tempe kita tergantung kedelai Amerika.
Di Indonesia, pertanian menjadi prioritas selama Orde Baru yang terkenal dengan program Repelita alias Rencana Pembangunan Lima Tahun. Sejak Repelita I hingga VI, pertanian senantiasa menjadi prioritas selain pengembangan sektor strategis industri dan jasa. Peradaban yang hebat senantiasa menjadikan pertanian sebagai andalan.
Pertanian Zaman Nabi SAW
Tidak terkecuali peradaban awal yang dirancang oleh manusia paling agung di dunia, Rasulullah Muhammad SAW, yang menempatkan sektor pertanian sebagai andalan peradaban ekonomi Madinah.
Sejarawan Dr Tiar Anwar Bahtiar dalam artikel Cara Rasulullah Taklukkan Ekonomi Yahudi menyebutkan kultur ekonomi Madinah berbeda dengan Makah sebagai metropolitan pusat aktivitas perdagangan. Madinah yang berkultur agraris ditopang oleh aktivitas bercocok tanam.
Syaikh Ramadhan Al Buthi menyebutkan tiga fondasi awal Rasulullah SAW dan Sahabat dalam membangun Madinah pasca hijrah dari Makah. Yaitu pertama membangun masjid; kedua mempersaudarakan kaum muslimin; dan ketiga melakukan perjanjian damai dengan komunitas yang lebih dahulu ada di Madinah atau Yatsrib—sebutan Madinah sebelum datangnya Islam.
Nabi Dirikan Pasar
Setelah tiga fondasi tersebut tegak, Nabi SAW dan sahabat menyadari kerapuhan ekonomi masyarakat Yatsrib khususnya yang dialami kaum pribumi yaitu kaum Aus dan Kazraj.
Sebagai penduduk asli, kaum Auz dan Kazraj hanya hidup sebagai penyewa lahan pertanian dan pekerja pertanian kaum Yahudi. Selain pertanian pasar-pasar juga dikuasai kaum Yahudi dari Bani Qainuqa. Dengan cara-cara penuh tipu daya, kaum Yahudi berhasil menjerat semua pemilik hasil pertanian masuk ke pasarnya.
Atas dasar kondisi tersebut, Rasulullah SAW serta sahabat Muhajirin dan Anshar berinisiatif mendirikan pasar sendiri. Pendirian pasar didasari sebagai turunan tiga fondasi awal bahwa: ketiadaan pasar menyebabkan ketergantungan, ketergantungan menyebabkan kefakiran, dan kefakiran mendekatkan kekufuran yang mengancam dakwah Islam.
Selain penguasa pasar, Uahudi juga penguasa pusat pengolahan hasil pertanian yang terbesar di Khaibar. Menyadari fakta demikian Nabi SAW menegaskan membangun pasar Muslim saja tidak cukup.
Pasar dan perdagangan Muslim tidak mungkin berjalan tanpa penguasaan produksi pertanian oleh kaum Muslimin secara mandiri. Bayang-bayang boikot pasokan hasil produksi oleh pusat-pusat pertanian dan pengolahan milik Yahudi mendorong Nabi SAW dan Sahabat membangkitkan gerakan menanam sendiri.
Lambat laun hadir pusat-pusat pertanian di Yanbu’ yang dikelola Ali bin Abi Thalib. Pusat hasil pertanian Muslim lainnya berkembang di Wadi Al Aqiq, Wadi Bathan, Wadi Mahzuz, Wadi Qanah, Wadi Ranuna, Wadi Al Qura, Wadi Waj, Wadi Laij dan lain-lain yang sebelumnya berupa tanah tidak terurus. Gerakan ini didorong oleh sabda Nabi “Siapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Bukhari)
Perang Dagang Lawan Yahudi
Tidak semua sahabat dilibatkan dalam bercocok tanam. Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf mengawal fungsi distribusi atau pemasaran. Sedangkan Umar bin Khattab memegang badan hisbah atau pengawas kualitas hasil produksi yang masuk pasar.
Produk pertanian dan pasar Muslim lambat laun mampu menggeser dominasi ekonomi Yahudi. Pasar manakah yang terbesar milik Muslim menjadi tujuan utama supply and demand, penawaran dan permintaan masyarakat Madinah.
Sistem perdagangan dan pasar yang transparan menjadikan pasar-pasar Muslim lebih disukai oleh semua kalangan (bukan hanya Muslim) dalam berbelanja atau berdagang.
Perang dagang era Madinah yang tidak kalah dahsyat dengan perang-perang senjata periode Madinah, perang Badar, perang Uhud, perang Hunain, Tabuk dan lain-lain.
Sungguh merugi jika kaum Muslimin hanya mengagumi kemenangan Nabi SAW dan sahabat dalam perang-perang “konvensional” hingga secara ekonomi menjadi umat marginal karena kurang menghayati sirah perang dagang sektor pertanian dan pasar di Madinah.
Berharap gerakan menanam, bertani, berkebun, dan beternak menjadi program unggulan persyarikatan Muhammadiyah yang sistematis, masif, dan berjamaah. Wallahu ‘alam bi ash-shawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.