Isngadi, Pernah Kesandung Tulisan soal Bung Karno. Dalam tulisan itu dia mengemukakan, pidato Bung Karno hanya “omong kosong”, rakyat sudah bosan mendengar pidato “gerakan hidup baru”.
PWMU.CO – Ibarat buah kelapa, semakin tua semakin banyak santannya. Kian tua, bertambah pula daya gunanya. Kelapa muda dan tua pun, sama-sama diminati sesuai fungsi masing-masing.
Seperti itulah gambaran pada diri Drs H Isngadi. Saat masih muda, anak dari pasangan Kartopawiro dan Fatimah ini adalah sosok pejuang pelajar, pria penuh semangat dan lincah dalam segala aktivitas kewartawanan.
Isngadi adalah sosok yang aktif dalam perjuangan RI hingga mendapatkan tanda jasa veteran. Pada masa itu dia begitu energik mengikuti ritme dinamika pasca-revolusi 1945 dengan bergabung di Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) di kesatuan Plosoklaten, Pare, Kediri. Perannya itu harus rela dibayar dengan menjadi tawanan KNIL di Madiun 1949.
Isngadi muda menikah dengan Siti Maemunah di Pare, Kediri, pada tahun 1950. Setelah itu, dia melanjutkan sekolah di SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama) Malang, yang diselesaikan pada tahun 1953. Lalu ikut kursus tertulis Publisistik di Universitas Padjadjaran Bandung, hingga mendapat gelar BA. Pada 1954, Isngadi diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di Jawatan Penerangan Agama di Ambon, Maluku.
Soekarno Tersingung Tulisannya
Saat bertugas sebagai PNS di Depag Ambon, dia juga pernah kesandung masalah dengan pemerintahan Soekarno. Ketika itu, dia merangkap wartawan Harian Tifa dan Majalah Mingguan Suara Islam Maluku. Tak jarang, dia menulis untuk rubrik agama di majalah kepolisian Tribrata. Selain di Depag Ambon, dia juga sering tugas luar, sebagai Seksi Pers dan Radio. Dia pun ditunjuk sebagai Sekretaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Ambon.
Selama bertugas di Ambon, banyak kenangan “pahit-manis” yang telah diukirnya. Seperti saat tulisannya dimuat tanggal 26 Agustus dan 23 September 1957, dipermasalahkan pemerintah, dia dipanggil Kejaksaan Ambon dua kali.
Tulisannya dianggap menyinggung pidato Bung Karno dan layanan panitia penyelenggara waktu acara bebas pada malam hari di Morotai, Ambon. Dalam tulisan itu dia mengemukakan, bahwa pidato Bung Karno hanya “omong kosong”, rakyat sudah bosan mendengar pidato “gerakan hidup baru”.
Untung saja, dia hanya mendapat peringatan, tak sampai ditahan. Tulisan Isngadi sebenarnya hanyalah sebagai cetusan hati kebebasan menulis dan fakta nyata. Sebuah tulisan untuk koreksi terhadap citra kabinet dan juga kurangnya kebijaksanaan panitia waktu itu dalam menanggapi kehendak Bung Karno.
Tidak hanya itu, Isngadi bahkan pernah dinonaktifkan sebagai pegawai, gara-gara uraian-uraiannya di radio reublik Indonesia (RRI) Ambon pada tiap Kamis malam, dianggap menyindir kebijaksanaan Panglima KDM/MIB saat itu. Selanjutnya, bisa ditebak. Isngadi segera dipindah ke Jawa Timur dan ditempatkan di Jawatan Penerangan Agama yang saat itu berkantor di Jalan Rajawali, Surabaya.
Babak Baru di Jatim
Di Jawa Timur inilah babak baru kehidupannya dilanjutkan, yang tentunya juga tidak jauh dari dunia tulis-menulis. Di Surabaya, dia diajak teman-teman wartawan lainnya mengajar agama Islam di AWS (Akademi Wartawan Surabaya) yang kemudian menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Surabaya (Stikosa-AWS). Selain mengajar, Isngadi juga kuliah untuk mendapat gelar S-1 pada bidang jurnalistik.
Sebagai jurnalis, pada tahun 1963, Isngadi mendapat tugas berangkat ke Irian Barat (Papua) meliput proses peralihan status Papua dari milik Belanda ke Indonesia, yang masa peralihannya diserahkan kepada badan PBB United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA).
Kebetulan, pada 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan pemerintahan Papua bagian barat kepada Indonesia. Dua tahun kemudian, Isngadi berangkat menunaikan ibadah Haji dengan kapal laut sebagai TPHI
Tahun 1976 pindah tugas ke Pasuruan sebagai Kepala Kantor Departemen Agama Pasuruan. Isngadi tetap saja aktif dalam kegiatan Muhammadiyah setempat, yang saat itu berkantor di Jalan Nusantara-Pasuruan.
Namun, sebagai Kakandepag, Isngadi juga banyak bergaul dengan tokoh-tokoh NU Pasuruan: KH Abdul Hamid, Habib Abdullah. Di Kota Santri ini pula Isngadi mengakhiri tugas sebagai PNS dengan pensiun pada tahun 1979.
Tetap Menulis di Usia Senja
Setelah sempat menetap di Pasuruan sampai tahun 1981, Isngadi lantas pindah lagi ke Surabaya: dari daerah Gentengkali, Indragiri, hingga YKP Kendangsari. Setelah pensiun dan umurnya beranjak 80 tahun, dia masih dipercaya sebagai Ketua IKP (Ikatan Keluarga Purnakaryawan) Departemen Agama.
Di sisa harinya itu, H Isngadi masih produktif menulis dan tetap menggawangi rubrik pada beberapa majalah. Hasil pemikirannya ini masih tercermin dalam buku yang belum lama ini dirampungkannya: Hakikat Tasawuf dan Kasus-Kasus Penyimpangan Ajaran Agama’.
Memasuki usia 83 tahun, pandangan kedua mata Isngadi sebenarnya sudah tak lagi jelas. Dia pun sudah dilarang membaca dan menulis oleh dokter yang telah mengoperasi matanya. Tetapi, larangan itu dianggapnya angin lalu. Saat itu pula pendengarannya juga sudah mengalami penurunan. Sedang kedua kakinya, tak lagi mampu menyangga tubuhnya.
Sejak kecelakaan pada 15 November 2002—akibat jatuh dari kendaraan umum—dia harus dibantu tongkat penyangga berkaki empat. Sebab tulang pangkal paha kaki kirinya retak, meski tak sampai patah.
Tak Pikun meski Berusia 80 Tahun
Hari-hari Isngadi selanjutnya semakin akrab dengan mesin ketik tuanya, dengan bantuan lampu duduk yang hanya beberapa watt saja. Pada meja kerjanya di rumah Jl Kendangsari VI Surabaya, terlihat tumpukan buku-buku tua koleksi pribadi yang tak begitu tertata rapi.
Dalam ruangan berukuran sekitar 2×3 meter itu, dia mengekspresikan karya. Kelincahan geraknya, memang telah tererosi oleh kondisi tubuh yang kian rapuh. Tapi semangatnya, tak pernah padam.
Isngadi juga tak pikun. Ia masih bisa mengingat peristiwa penting yang dialami semasa hidupnya, baik hari, tanggal, bulan dan tahunnya. Sehingga dia masih dapat menceritakan secara lugas dan baik apa dan siapa saja yang terlibat dalam kenangan peristiwa-peristiwa yang dilaluinya.
Pada usianya yang kian senja, lelaki kelahiran Kediri, 14 Maret 1924 ini begitu produktif dalam menulis. Aktif dalam kegiatan dakwah lewat MUI, kepramukaan, narasumber radio dan lain-lain. Bahkan, saat usianya memasuki 80-an, dia mampu merampungkan dua buku sekaligus.
Di tahun 2004, mantan wartawan Surabaya Post ini sempat menulis memori 54 tahun perkawinannya dalam buku setebal 146 halaman. Dalam buku tersebut, dia menceritakan lintas sejarah hidupnya sejak masih kanak-kanak hingga setelah pensiun sebagai PNS.
Dia juga menceritakan lika-liku perjalanan karir kewartawanannya, di samping cerita saat dirinya menjadi pelajar dan sempat ditahan selama beberapa bulan oleh Belanda.
Pendiri Masjid Al-Falah Surabaya
Di Surabaya, Isngadi juga punya kedekatan emosional dengan Masjid al-Falah. Partisipasinya dalam pembangunan masjid ini dimulai sejak tahap pembentukan panitia pembangunan. Namanya tercantum sebagai sekretaris panitia yang dibentuk pada 25 September 1971, dengan ketua H Abdul Karim. Kemudian untuk mengintensifkan penggalian dana, susunan panitia pembangunan masjid kembali direposisi pada 1973.
Isngadi tetap dipercaya sebagai sekretaris, sementara ketuanya juga tetap H Abdul Karim yang didamping H.S. Syamsuri Mertoyoso sebagai Wakil Ketua. Kemudian ketika Yayasan Masjid Al-Falah didirikan dengan Akte Notaris Anwar Mahayudin Nomor: 47 pada 17 Maret 1976, namanya juga tercantum sebagai salah satu pengurus: Sekretaris I.
Tak heran ketika Isngadi wafat, dia dishalatkan di Masjid Al Falah, sebelum akhirnya dimakamkan di tempat kelahirannya, Desa Klampisan, Kandangan, Kabupaten Kediri.
Selain pernah dipercaya sebagai Dewan Pembina Yayasan Masjid Al Falah Surabaya, Isngadi juga pernah staf ahli Majalah Mimbar Pembangunan Agama Depag Jatim, Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Surabaya, Pengurus Badan Amil Zakat (BAZ) Kota Surabaya, Pengurus Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam Indonesia (GUPPII) Jatim, dan lain sebagainya.
Tokoh Lawas Muhammadiyah
Selain terlibat dalam kepemimpinan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim 1995-2000, Isngadi sebenarnya juga tercatat sebagai tokoh “lawas” Muhammadiyah Jatim. Ketika terjadi peralihan struktur Majelis Perwakilan PP Muhammadiyah Provinsi Jatim menjadi Pimpinan Muhammadiyah Wilayah (PMW–sekarang PWM), dia adalah salah satu perintisnya.
Pada pertengahan 1965, kepimpinanan Muhammadiyah Jatim mengalami pergantian: dari HM Shaleh Ibrahim ke H Oesman Muttaqien, melalui rapat di Gedung Pendidikan Tinggi Dakwah Islam (PTDI) di Jl. Gentengkali.
Selain mendaulat Oesman Muttaqien dan A Latief Malik menjadi Ketua-Sekretaris PWM Jatim edisi perdana ini, para peserta yang hadir juga menentukan anggota PWM yang memperkuat barisan struktur baru itu. Selain Isngadi, personalia yang ditunjuk sebagai pimpinan adalah dr Daldiri Mangoendirwirdja, SU, Bayasyut, H Solahudin, H Machin, Ismail Abukasim, Turchan Badri, dengan penasihat dr. Moch. Soewandhi.
Ketua Lembaga Pustaka dan Informasi PWM Jatim era kepemimpinan KH Abdurrahim Nur (1995-2000) ini akhirnya tak kuasa melawan takdir yang menghentikannya pada usia 84 tahun. Meninggalkan semua yang dimiliki di dunia, dan menyisakan rangkaian teladan bagi anak cucunya. Isngadi wafat pada Sabtu, 2 Agustus 2008 pukul 11.30 WIB, di RS Haji Surabaya.
Beristikan Siti Maemunah, pria yang memiliki berjuta kisah ini meninggalkan delapan anak: Eko Wahyudi BkTeks, Siti Siswati, Dra Ambar Setyowati, Siti Nurlena A MPd, Supriyadi, M. Isfandiari, Dra Endang Arofah, dan Syarif Hidayat SH. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Tulisan berjudul asli Isngadi (1924-2008) Penulis yang Tak Kenal Berhenti ini dimuat ulang PWMU.CO atas izin Penerbit: Hikmah Press dari buku Siapa & Siapa50 Tokoh Muhammadiyah Jawa TimurJilid II, Editor Nadjib Hamid, Muh Kholid AS, dan MZ Abidin, Cetakan I: 2011.
Discussion about this post