Mengkaji Hadits tentang Bidah ditulis oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Mengkaji Hadits tentang Bidah ini kita mulai dari hadits riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban.
عن العرباض بن سارية السلمي رضي الله عنه قال: صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصُّبْحَ ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ
فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ: كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ: أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ فَتَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dari Irbadl bin Sariyah RA berkata, Rasulullah SAW memberikan wejangan kepada kami dengan wejangan yang membuat hati kami takut dan mata menangis.
Maka kami berkata, ‘Ya Rasulallah, sepertinya itu adalah nasihat perpisahan. Maka berwasiatlah kepada kami.’
Beliau bersabda, ‘Aku berwasiat kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar, dan mentaati walaupun kalian dipimpin oleh seorang hamba sahaya.
Sesungguhnya siapa di antara kalian yang berumur panjang maka dia akan melihat banyak perselisihan, maka berpeganglah kepada sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin yang diberi petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi geraham. Jauhilah ajaran agama yang dibuat-buat karena semua bidah adalah sesat.’”
Pengertian Bidah
Bid’ah dari akar kata bada’a, yabda’u, bad’an yakni ansya a ‘alaa ghairi mitsaalin saabiqin, ahdatsa syai an jadiidan, ibtakara. Yaitu membuat atas selain contoh yang dahulu, membuat sesuatu yang baru, penemuan baru.
Bidah yang jamaknya adalah bida’ dimaknai muhdatsatun jadiidatun, tuhfah, raaiah yaitu sesuatu yang baru, karya besar. Maka bidah merupakan kraetifitas baru yang sebelumnya tidak atau belum ada contohnya.
Bidah menjadi satu kata yang sejak dulu sampai sekarang—dan mungkin sampai kapanpun—akan selalu menjadi perdebatan dalam pengertiannya. Ini merupakan wilayah ikhtilaf di kalangan para pemimpin umat ini, bukan pada umatnya.
Karena bagaimanapun umat selalu mengikuti para pemimpinnya. Maka sesungguhnya dan seharusnyalah para pemimpin umat (ulama) yang bertangung jawab untuk menjelaskan hal ini kepada masing-masing umatnya itu secara benar dan proposional. Sehingga tidak menimbulkan perpecahan yang menuju ke arah permusuhan antara satu kelompok dengan lainnya.
Hati-Hati terhadap Muhdatsat
Sebagaimana dalam hadits di atas, Rasulullah menyampaikan bahwa kehati-hatian dan kewaspdaan harus seantiasa kita lakukan. Yaitu kewaspadaan terhadap adanya al muhdatsat atau sesuatu yang baru yang diadakan.
Di mana al muhdatsaat tersebut terkategori sebagai atau disebut bidah. Dan setiap bidah adalah dhalalah atau sesat. Sekaligus Rasulullah memberikan ancaman serius—sebagaimana dalam riwayat yang lain—bahaya bidah dhalaalah ini fi an-naar atau neraka.
Hadits tersebut merupakan vonis dari Rasulullah SAW. Waspada merupakan hal yang sangat penting dan mutlak. Karena risiko yang ditanggungnya sangatlah berbahaya yaitu neraka, buka main-main.
Hadits tersebut sesungguhnya adalah peringatan keras Rasulullah untuk pemimpin umat ini agar tidak dengan mudah begitu saja melakukan kreativitas ibadah yang terkategori bid’a dhalalah. Karena pasti dampaknya pada umat juga ikut tersesat.
Memaknai Kata Kullu
Ikhtilaf yang terjadi adalah di satu sisi di antara pemimpin umat ini (baca: ulama) menyatakan bahwa hadits tersebut masih memberikan pengecualian. Karena makna kullu tidak hanya bermakna kullu min kulli tetapi juga bisa bermakna kullu min ba’dl yakni bermakna sebagian.
Sehingga masih dimungkinkan adanya ‘bidah hasanah’ atau bidah yang tidak masuk dalam kategori dhalalah itu. Seperti praktik pembukuan al-Quran maupun hadits Rasulullah SAW adalah ‘bidah hasanah’, karena hal itu tidak pernah diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya.
Termasuk adzan Jumat dua kali yang dilakukan oleh Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan RA. Dan masih banyak lagi berbagai contoh yang dapat dikemukakan oleh pendukung pendapat ini. Termasuk ungkapan beberapa ulama terdahulu yang berpendapat tentang adanya ‘bidah hasanah‘ ini.
Di sisi lain di antara pemimpin umat ini meyakini bahwa hadits di atas merupakan kata final yang tidak perlu ditafsirkan lagi. Bahwa setiap kreativitas baru yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah dan Sahabat Khulafaurrasyidin adalah sesat.
Maka hal itu jelas merupakan bidah yang harus dijauhi dan dihindari. Istilah ‘bidah hasanah‘ bagi pendapat ini tidak ada, karena jika ada ‘bid’ah hasanah‘ berarti bidah dhalaalah itu sendiri menjadi kehilangan makna.
Mencukupkan diri dengan apa yang telah jelas-jelas dicontohkan atau sesuai petunjuk Rasulullah SAW saja. Selain yang di luar contoh tersebut adalah sesat. Sehingga hadits di atas merupakan vonis paten yang sudah final dan tak perlu ditafsirkan lagi.
Dalam hal ini dikhususkan berkenaan dengan ibadah mahdah saja, sedangkan ibadah ghairu mahdah kita diberi ruang lingkup yang bebas untuk berkreativitas.
Bidah Masalah Ubudiyah
Sisi lainnya di antara para pemimpin umat ini berkeyakinan bid’ah dhalalah dalam hadits di atas adalah persoalan ubudiyyah, karena bidah yang dimaksud bukan secara bahasa saja tetapi dengan secara makna syar’i.
Sedangkan jika ada bidah hasanah sesungguhnya dalam ruang lingkup ijtihad yakni untuk kita membuat kreativitas dalam rangka menunjang demi kemaslahatan umat ini. Untuk bagaimana lebih memudahkan jalan dalam rangka pelaksanaan syariat ini tanpa mengubah esensi dan substansi dari ibadah yang dimaksud.
Dan hal ini hanya sebagai instrumen penunjang demi kebaikan atau kemaslahatan umat. Sehingga ketika kita memahami tentang perilaku sahabat-sahabat Rasulullah yang seolah itu berbuat bidah, kita perlu melihat secara konstektualnya juga sekaligus bagaimana dalam aplikasinya waktu itu.
Sekaligus mengapa perilaku itu sampai terjadi. Dengan demikian kita akan tetap memiliki kerangka berpikir yang jelas terhadap masalah yang krusial ini.
Saling Menghargai
Terhadap kekhawatiran Rasulullah akan terjebaknya umat ini dari bidah dhalalah ini juga perlu mendapat perhatian yang serius. Termasuk keterjebakkan yang menganggap hal-hal yang sudah membudaya itu menjadi seolah fardhu yang harus dilakukan.
Maka batasan-batasannya pun perlu untuk dijelaskan secara terperinci, sehingga umat dapat memahaminya dengan benar. Bahkan perlu kiranya dirumuskan kriteria-kriteria baku dalam hal ini.
Untuk kemudian silakan masing-masing menentukan pilihan sesuai keyakinannya, yang nantinya pastinya harus mampu dipertannggung jawabkan kepada pemilik syariat ini, Allah SWT. Biarlah umat dapat memahami dan menjalankan sesuai yang diyakininya tanpa ada rasa kebencian dan permusuhan dengan lainnya.
Lebih jauh sikap tasamuh harus ditumbuhkan. Untuk tidak terjadinya sikap saling memvonis dan merasa benar sendiri. Karena persoalan keyakinan tidak bisa dipaksakan.
Dakwah kita bukanlah mengajak ke arah kelompok atau organisasi kita, apalagi menuju fanatisme organisasi. Tetapi dakwah itu mengajak untuk menjadi hamba Allah, Tuhan Yang Maha Tunggal yang telah menurunkan seperangkat aturan sistem bagi kehidupan umat manusia.
Mari berlomba-lomba menjadi hamba Allah yang terbaik. Jaga ukhuwah tanpa saling menyombongkan diri dan berpaling dari lainnya. Karena kita tidak perlu memberikan penilaian kepada orang lain, tetapi yang lebih penting mari kita nilai diri kita sendiri.
Gajah di pelupuk mata tidak tampak, semut di seberang lautan tampak. Sebuah peribahasa yang perlu kita renungkan bersama. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.