PWMU.CO– Imam Syafii. Selama menjadi ulama pernah berurusan dengan rezim yang menuduhnya merencanakan kudeta Wali Negeri Yaman bersama kaum Alawiyin. Dia ditangkap, dipenjara, disiksa, dan divonis mati.
Nama lengkapnya Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Usman bin Syafi’ bin al-Sa’ib bin Ubaid bin Abd Yazid bin Hasyim bin Abdi Manaf al-Qurasyi. Lahir di Gaza, Palestina tahun 772 M. Nama populer menjadi Imam Syafi’i merujuk kepada kakek buyutnya.
Melihat silsilahnya itu bertemu jaringan keluarga dengan Nabi Muhammad saw dari keturunan Bani Hasyim bin Abdi Manaf. Waktu Imam Syafii berusia dua tahun, ayahnya meninggal. Ibunya membawa dia pindah ke Mekkah hidup dekat kerabatnya.
Ibunya lantas mengirim dia belajar ajaran Islam kepada guru di lingkungan suku Hudzail, daerah pinggiran kota. Suku ini punya tradisi literasi sangat baik. Menghafal al-Quran, hadits, dan syair.
Dalam autobiografinya Imam Syafii menulis, umur empat tahun mulai belajar al-Quran dan menghafalnya. Umur tujuh tahun dia sudah hafal al-Quran. Setiap pulang dari kuttab, dia dan teman-temannya mencari lempengan kayu, kulit kambing, pelepah kurma untuk menulis pelajaran dari gurunya.
Tinggal di desa Hudzail ini selama 17 tahun. Ilmu yang diperoleh seperti al-Quran, hadits, bahasa, sastra, etika, dan sejarah Arab. Kemudian pulang ke Makkah. Menulis syair dan sejarah Arab.
Suatu waktu dia bertemu seseorang dari Bani Zubair yang menyarankan untuk memadukan sastra dengan fikih. Orang itu meminjami kitab al-Muwaththo’ karya Imam Malik bin Anas. Isi kitab hadits itu langsung dihafalnya dalam waktu sembilan hari. Setelah itu dia berniat berguru kepada Imam Malik di Kota Madinah.
Berguru kepada Imam Malik
Imam Syafii kemudian meminta surat rekomendasi dari Wali Negeri Mekkah sebelum berangkat ke Madinah. Tiba di Madinah dia temui Wali Negeri dulu agar mengantarkan ke rumah Imam Malik di daerah Wadi Aqiq.
Wali Negeri Madinah sepertinya grogi bertemu Imam Malik. Tapi akhirnya bersedia mengantarnya. Memasuki halaman rumahnya yang keluar pembantunya. Wali Negeri Madinah berkata,”Tolong sampaikan pada Imam, saya ada di sini.”
Pembantu itu masuk. Saat keluar lagi, pembantu itu berkata,”Salam dari maulaya. Jika maksud anda ingin bertanya sesuatu, hendaklah ditulis pada secarik kertas, dan jika ingin mengaji, tunggulah sampai tiba waktunya.”
”Tolong katakan kepada Imam kami ingin menyampaikan surat dari Wali Negeri Makkah.”
Setelah agak lama Imam Malik keluar. Kewibawaanya dan ketenangannya luar biasa. Setelah menerima surat langsung dibacanya. Tampak ekspresi tak suka di wajahnya. ”Subhanallah! sejak kapan ilmu Rasulullah saw menggunakan surat rekomendasi?”
Wali Negeri tampak gemetar. Imam Syafi’i langsung menjelaskan, dia adalah muththalibi dari Mekkah ingin belajar Islam kepadanya.
Mata Imam Malik langsung menyorotinya. Suaranya kembali tenang lalu bertanya,”Siapa namamu?”
”Muhammad,” jawab Imam Syafi’i.
”Wahai Muhammad, takutlah kamu kepada Allah dan hindarilah maksiat, karena aku melihat sesuatu dalam dirimu bahwa kelak engkau akan menjadi orang besar.”
Muhammad bin Idris alias Imam Syafi’i diterima menjadi murid dan menetap di rumahnya. Selama 12 tahun dia belajar di sini hingga Imam Malik meninggal pada tahun 801 M. Umur 29 tahun dia menggantikan gurunya mengajar.
Dituduh Kudeta Wali Negeri Yaman
Kemudian dia pindah ke Yaman. Di negeri ini namanya mulai dikenal sebagai mufti berusia muda. Namun kemudian dia berselisih paham dengan Wali Negeri Yaman soal imamah. Dia dituduh hendak mengkudetanya karena berpendapat yang berhak menjadi pemimpin itu kaum Alawiyin, keturunan Ali bin Abi Thalib, yang sejak zaman Muawiyah Bani Umaiyah hingga Abbasiyah ditindas dan dipersekusi oleh penguasa.
Imam Syafi’i ditangkap bersama sembilan tokoh Alawiyin dan dipenjara. Selama di penjara mendapat siksaan. Kemudian oleh Wali Negeri divonis hukuman mati. Eksekusi hukuman mati dilakukan di Baghdad di depan Khalifah Harun al-Rasyid.
Satu persatu sembilan Alawiyin dihukum mati. Giliran Syafi’i, Khalifah Harun menanyai soal kefasihannya tentang al-Quran, ilmu falakh, sejarah Arab. Terakhir Khalifah Harun minta nasihat. Maka diberinya nasihat terus terang tanpa tedeng aling-aling tentang rezim khalifah dan gubernurnya yang dholim kepada rakyat. Ada yang menyebut nasihat itu bergaya tabiin Thawuus bin Kaisan al-Yamani.
Di luar dugaan Khalifah Harun menangis. Di akhir mahkamah malah memberikan hadiah sebanyak 50 ribu dirham dan membebaskannya dari hukuman. Hadiah itu lalu habis dibagikan kepada pegawai istana.
Imam Syafi’i lalu memilih menetap di Baghdad meninggalkan pengalaman buruk di Yaman. Kota ini adalah gudang ilmu karena banyak ulama tinggal. Beberapa tahun kemudian Imam Syafi’i dikenal ahli fikih moderat yang bisa menyatukan rasionalitas Imam Abu Hanifah dan tekstualitas Imam Malik.
Kisah Imam Syafii memang penuh warna. Di antara muridnya kelak terkenal sebagai Imam Ahmad bin Hambal. Tahun 822 M Imam Syafi’i pindah ke Kairo, Mesir. Mengajar di Masjid Jamik Fustath. Di sini ilmunya makin matang dan lengkap dan populer sebagai ahli ilmu fikih brilian.
Pendapat dan pemikirannya selama tinggal di Baghdad ternyata ada perubahan setelah menetap di Kairo. Karena itu pendapatnya selama di Baghdad disebut qaul qadim. Sedangkan pendapatnya di Kairo disebut qaul jadid. Dua pendapat itu hingga kini dijadikan rujukan fikih. (*)
Editor Sugeng Purwanto