Djuraid Mahfud ikut berjihad lawan Belanda sebelum menjadi mubaligh yang keliling dari satu kampung ke kampung lain di Surabaya. Untuk itu tak jarang dia naik sepeda pancal.
PWMU.CO – Nama KH Djuraid Mahfud begitu tersohor sebagai pendakwah ulung di Surabaya. Banyak masyarakat akar rumput yang mengenalnya sebagai sosok yang aktivitas kesehariannya tidak bisa lepas dari dakwah agama.
Boleh dibilang dia adalah pelopor gerakan dakwah di Kota Pahlawan itu, sehingga banyak orang yang langsung maupun tidak langsung menjadi ‘muridnya’. Upaya meneguhkan keimanan masyarakat di daerah Surabaya adalah niat lurus yang tak berlebihan.
Perjuangan Islam melalui dakwah pengajian, bagi KH Djuraid, merupakan dedikasi sebagai umat Muslim yang taat pada prinsip agama. Dia pantang menyerah dalam mendakwahkan Islam di tengah kehidupan masyarakat perkotaan yang memiliki kecenderungan individualis dan materialis.
Sebuah antitesis yang tak banyak orang bisa bertahan. Kegiatan jamaah itu meliputi pengajian beberapa kitab: Nailul Autar, Tafsir al-Maun, Tafsir Jalalain Tafsir al-Quran, dan beberapa hadits shahih.
Masa Kecil di Tegal hingga ke Surabaya
Dalam rekam jejak sejarahnya, perjalanan kehidupan Djuraid memang tak bisa lepas dari nuansa agamis. Terlahir dari keluarga sederhana di Tegal, Jawa Tengah pada 1919, Djuraid kecil tumbuh di lingkungan keluarga yang religius. Sejak kecil sudah mendapat pendidikan agama dari keluarganya. Sehingga tak mengherankan saat menapaki usia muda, kehidupan Djuraid selalu bersinggungan dengan pondok pesantren.
Di usia mudanya itu, Djuraid mengeyam pendidikan pesantren di Tegal dan Cirebon. Pendalaman tentang Islam yang dia dapatkan dari pesantren itu yang kelak menjadi spiritnya untuk berdakwah pada jenjang kehidupan selanjutnya.
Setelah mendalami pendidikan agama di pesantren dirasa cukup, serta didorong cita-citanya yang kuat, Djuraid pun melakukan hijrah ke Surabaya untuk mengamalkan ilmunya. Perpindahan ini pantas disebut hijrah sebab saat itu bertepatan dengan masa perjuangan menghadapi penjajah. Di mana-mana terjadi konsolidasi rakyat dalam membangun kekuatan untuk melawan kedzaliman yang dilakukan penjajah.
Kondisi negara dalam pendudukan penjajah, ini lantas membuat Djuraid memutuskan untuk tidak langsung berdakwah dengan menjadi mubaligh. Sebab, kondisi kebangsaan saat itu menurut Djuraid, yang dibutuhkan adalah visi kejuangan yang mau mengorbankan nyawa dan benda untuk mencapai kemerdekaan.
Dalam relungnya, tantangan jihad melawan Belanda lebih prioritas untuk dilakukan dalam menegakkan syiar Islam. Sejarah Indonesia akhirnya mencatat bahwa tercapainya kemerdekaan tidak lepas dari peran agama sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Tak heran jika Djuraid pun kemudian ikut di medan tempur memanggul senjata melawan penjajah. Selain banyak suka-duka yang dialami dalam medan pertempuran, keikutsertaannya dalam berperang inilah kemudian membawanya bertemu dengan pendamping hidupnya: Mutmainah.
Jalan Kaki Madiun-Tegal
Pertemuan keduanya terjadi sangat singkat, tepatnya ketika Djuraid bergerilya hingga ‘tersesat’ di Madiun. Setelah melangsungkan pernikahan, keduanya long march berjalan kaki selama dua bulan dari Madiun ke Tegal untuk memperkenalkan sang istri pada kedua orangtuanya.
Menurut penuturan Dhimam Abror—anak keempat Djuraid Mahfud—waktu itu long march hanya bertiga ditemani istri dan satu-satunya adik kandung, Ahmad Mahfud (almarhum).
“Karena Madiun sudah jatuh ke tangan Belanda banyak tentara Hizbul Wathan yang dikejar-kejar oleh Belanda,” ujarnya Kamis (28/5/2020). Duraid kembali ke Tegal sekaligus memperkenalkan istri ke keluarga.
Pasca Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Djuraid dan istrinya kembali ke Surabaya untuk menetap di Tandes. Pejuang veteran ini kemudian memilih organisasi Islam yang bernama Masyumi sebagai jalur dakwah politiknya, meski dalam perjalanan karir politiknya di Masyumi, dirinya tidak pernah duduk dalam jajaran struktural.
Namun, bagi Djuraid, kegiatan syiar Islam lebih mulia dibandingkan segala yang ada di dunia ini. Bahkan tawaran uang pensiunan veteran dari pemerintah saat itu pun juga ditolaknya, karena dia berprinsip bahwa berjuang itu adalah ibadah bukan upah. Karena itu, dia justru mendorong agar pensiunan veteran itu diberikan kepada para veteran yang memang hidupnya kurang beruntung.
Keteguhan dan keikhlasan yang selalu menyertai setiap langkah perjuangan hidupnya menjadikan Djuraid sebagai sosok yang sulit ditemukan di zaman sekarang.
Di lingkungan masyarakat Tandes, sapaan ‘Pak Guru’ begitu melekat pada sosok Djuraid. Masyarakat menyematkan panggilan yang begitu terhormat itu padanya, tak lain dikarenakan masyarakat memandang dia sebagai seorang guru sekaligus teladan bagi masyarakat.
Di sisi lain, loyalitas mengabdikan hidupnya pada pendidikan dan dakwah Islam tak pernah surut hingga menjelang tutup usianya. Inilah yang membuat dia menjadi sosok yang tangguh dan mempunyai totalitas dalam mengabdikan hidup pada agama tanpa pamrih.
Memilih Muhammadiyah
Di Surabaya, Djuraid memilih Muhammadiyah sebagai wahana menyalurkan dakwah agama Islam. Model dakwah yang dilakukannya, diawali dengan keliling dari satu kampung ke kampung lainnya untuk mengisi pengajian dan ceramah keagamaan.
Masyarakat yang berada di kawasan pelosok-pelosok kampung menjadi sasaran dakwahnya, mulai dari ujung daerah Benowo hingga bagian Timur daerah Keputih.
Perjalanan menuju tempat dakwah itu pun dilakukan dengan sangat sederhana dan apa adanya. Misalnya, Djuraid kerap dijemput ketika diundang ceramah, tetapi di saat yang lain, tidak jarang dia berangkat sendiri dengan mengayuh sepeda onthel (sepeda pancal).
Pulang larut malam bukan lagi pernah, tapi sudah menjadi rutinitas. Bagi Djuraid itu tak menjadi beban berat yang kemudian menghentikan langkahnya untuk mencerahkan kehidupan masyarakat dalam bidang keagamaan.
Kesederhanaan dalam melakukan dakwah pada masyarakat yang berada di sudut-sudut perkotaan Surabaya, dia lakukan dengan penuh ketelatenan dan keikhlasan. Ditopang dengan sifat keistikamahan dalam berdakwah, membuat Djuraid menjadi potret tersendiri akan kegigihannya terhadap rakyat kecil. Hingga kemudian semangat dakwah Djuraid yang menggebu-gebu itulah mengantarkannya untuk menerima amanat sebagai Ketua Majelis Tarjih (dan Tajdid) Pimpinan Daerah Muhammadiyah Surabaya.
Masa-masa Djuraid duduk di struktur Muhammadiyah, dia banyak bergaul dengan tokoh-tokoh besar Jawa Timur. Misalnya dengan KH Misbach, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur. Djuraid juga aktif dengan menjadi salah satu pengurus MUI, sekaligus aktif mengawal agar kemajuan pembangunan di negeri ini tidak lepas dari nilai-nilai moralitas-keagamaan.
Progresivitas pada organisasi keagamaan seolah tak kenal lelah. Di Muhammadiyah, dia seperti tengah menemukan ruang yang nyaman untuk berdakwah sekaligus mengaktualisasikan hobinya dalam masalah kedisiplinan. Dia juga masuk Hizbul Wathan (HW).
Sebagai mantan tentara kemerdekaan, bagi Djuraid kedisiplinan dan olah raga bisa dia tuangkan ke organisasi kepanduan ini. Segudang pengalaman pahit dan manisnya di Muhammadiyah tentu sudah dia rasakan, mengingat dia sudah menjadikan Muhammadiyah sebagai lahan untuk dakwah agama Islam.
Dirikan Sekolah
Naluri Djuraid sebagai pengajar dan kepedulian pada dunia pendidikan masyarakat, kemudian menggerakkan hatinya untuk mendirikan sekolah di daerah Manukan, Surabaya. Tepatnya pada 1946, dia mendirikan sekolah yang diberi nama Matlabul Huda yang artinya petunjuk bagi murid.
Lazimnya lembaga pendidikan zaman dulu, sekolah yang dia dirikan ini sangat membantu bagi masyarakat yang kurang mampu (masakin). Sebab, ketika sekolah itu didirikan, dan berjalan beberapa tahun kemudian, tidak pernah mematok biaya, hanya infak seikhlasnya sesuai dengan kemampuan wali wurid.
Tak disangka, kehadiran sekolah di daerah Manukan Surabaya itu membawa angin segar bagi berdirinya cikal bakal sekolah Muhammadiyah. Setelah Matlabul Huda berkembang, Djuraid sebagai kepala sekolah dan pendiri, menyerahkan lembaga pendidikan itu ke Muhammadiyah, pada 1950. Kemudian, bangunan amal usaha Muhammadiyah (AUM) itu kini berdiri cukup megah, dan bernama SD Muhammadiyah 14 Surabaya.
Pesan Terakhir
Lazimnya manusia, kebertambahan usia dan kematian merupakan taqdir yang tak bisa ditolak. Pada usia 74 tahun, dia mulai merasa sakit-sakitan dan terpaksa harus terbaring lemah di ranjang RSUD dr Soetomo Surabaya. Setelah tiga bulan rawat inap, penyakit yang diidapnya tidak kunjung sembuh. Dia lalu minta kepada anak-anaknya untuk dibawa pulang. Pada 29 November 1994, tepat seusai shalat Dzuhur, Djuraid menghembuskan napas terakhirnya.
Ada pesan terakhir yang terucap darinya untuk anak-cucu dan warga Muhammadiyah, yaitu agar selalu berusaha menegakkan Islam, dan jangan pernah meninggalkan shalat selama masih bisa bernafas. Pesan yang sangat relegius untuk terus memperjuangkan Islam sampai akhir hayat.
Meski tinggal kenangan, tetapi ghirah perjuangan Djuraid Mahfud tak pernah pudar. Masih terbuka bagi anak dan cucunya untuk meneruskan semangat dakwah. Dia meninggalkan seorang istri, dan tujuh orang anak.
Secara kebetulan pula, tiga di antaranya juga menjadi ‘mubaligh’. Bukan dalam artian konvensional, melainkan ‘bertabligh’ menyampaikan kebenaran lewat pena, atau yang lazim disebut jurnalis.
Anak ketiga: Husnun Nadhor (wafat 4 Agustus 2019), pernah menjadi salah satu Redaktur Malang Pos. Kemudian anak keempat: Dhimam Abror, juga aktif di jurnalistik dan pernah bergabung dengan Jawa Pos, Suara Indonesia, Surya, dan Surabaya Post.
Bahkan, dalam organisasi kewartawanan, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dia pernah tercatat sebagai Ketuanya untuk wilayah Jatim. Sementara anak kelima: Moh. Hadi Mustofa juga aktif sebagai jurnalis di majalah sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Sementara anak-anak lainnya, yang pertama: Helmi Nasor, bekerja di Perhutani . Anak kedua dan keenam: Ulfah Muasomah dan Alfi Lutfatul Maghfuroh, masing-masing berkhidmah sebagai ibu rumah tangga. Adapun anak bungsu, Emti Khadaroh, menjadi salah satu guru di sekolahan yang dulu didirikan ayahandanya: SD Muhammadiyah 14 Surabaya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Djuraid Mahfud: Ikut Berjihad Lawan Belanda ini adaptasi dari judul asli Djuraid Mahfud (1919-1994) Juru Dakwah Progresif.
Dimuat ulang PWMU.CO atas izin Penerbit: Hikmah Press dari buku Siapa & Siapa 50 Tokoh Muhammadiyah Jawa TimurJilid II, Editor Nadjib Hamid, Muh Kholid AS, dan MZ Abidin, Cetakan I: 2011.