PWMU.CO-Sunan Gunung Jati dan Fatahillah dalam penulisan sejarah ada yang menyimpulkan sebagai sosok yang sama. Padahal di kompleks makam Gunung Sembung Desa Astana, Cirebon, ada makam Sunan Gunung Jati yang bersebelahan dengan makam Fatahillah. Dari fakta ini jelas menunjukkan dua orang yang berbeda.
Sejarawan yang menulis dua nama itu sebagai sosok yang sama misalnya sejarawan Belanda HJ de Graaf dan TH Pigeaud dalam buku Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa berkesimpulan sama yang merujuk kepada penelitian Hoesein Djajadiningrat tentang Sejarah Banten.
Sejarawan de Graaf berdasarkan buku Hoesein Djajadiningrat Sejarah Banten menulis, orang suci dari Gunung Jati itu bernama Nurullah. Kemudian terkenal dengan sebutan Syeikh Ibnu Molana. Penulis Portugis mengenalnya dengan dua nama, Falatehan dan Tagaril yang menurut Djajadiningrat merupakan satu orang saja.
Dia berasal dari Pasai, Aceh. Ketika Pasai dikuasai orang Portugis tahun 1521, Nurullah pergi haji ke Mekkah. Tiga tahun di Mekkah kemudian pulang menuju kerajaan Demak diterima oleh Raja Trenggana. Karena pengetahuannya tentang Kesultanan Turki dia menganjurkan memakai gelar sultan dan menjalin hubungan diplomasi dengannya.
Nurullah lantas dipercaya menjadi panglima pasukan dan diutus ke Banten untuk menguasai daerah pelabuhan penting itu dari Kerajaan Pajajaran. Setelah Sultan Trenggana wafat dalam ekspansi perang ke Pasuruan, Nurullah menetap di Cirebon. Banten diserahkan kepada anaknya Pangeran Hasanuddin.
Cerita di atas ada yang tak nyambung. Karena Sunan Gunung Jati disebutkan mengabdi kepada Sultan Trenggana. Semestinya hidup sezaman Raden Patah di masa awal pendirian Kerajaan Demak bersama wali sanga lainnya. Karena itu orang yang disebut diterima Sultan Trenggana dan ditugaskan ke Banten paling sesuai adalah Fatahillah.
Buku Sejarah Cirebon ditulis Pangeran Suleman Sulendraningrat bersumber dari Carita Purwaka Caruban Nagari menceritakan, ada dua nama dalam sejarah Cirebon yaitu Sunan Gunung Jati dan Fadhilah Khan yang kemungkinan sebutan lain untuk Fatahillah. Dari nama Fadhilah Khan itu juga kemungkinan munculnya nama Falatehan, yang disebut orang Portugis Joao Baroso.
Turunan Mesir
Kisah Sunan Gunung Jati adalah Syarif Hidayatullah, putra dari Rara Santang alias Syarifah Mudaim, putri Prabu Siliwangi. Ibunya berganti nama Syarifah Mudaim setelah naik haji dan menikah dengan Syarif Abdillah alias Maulana Sultan Mahmud yang berkuasa di Ismailyah, Mesir.
Rara Santang naik haji bersama kakaknya Raden Walangsungsang yang juga bergelar Pangeran Cakrabuana. Dialah yang mengawali pembukaan Negeri Caruban Larang atau Cirebon sebelum naik haji.
Pernikahan Syarif Abdillah dan Syarifah Mudaim dikaruniai dua anak yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Di cerita ini muncul nama Syarif Nurullah merupakan adik Syarif Hidayatullah. Tulisan de Graaf menyebut Nurullah itu sebagai Sunan Gunung Jati.
Setelah Syarif Abdillah meninggal, Syarifah Mudaim bersama Syarif Hidayatullah pulang ke Cirebon ikut kakaknya. Tahta Ismailiyah diserahkan ke adiknya, Syarif Nurullah.
Dalam perjalanan ke Jawa, Syarifah Mudaim dan Syarif Hidayatullah singgah ke Mekkah, Gujarat, dan Pasai. Di Mekkah menyempatkan berguru kepada Syeikh Tajmuddin Al Kubri dan Syeikh Ataulahi Sadzali selama dua tahun.
Kemudian melanjutkan perjalanan ke Gujarat lantas ke Pasai. Di Pasai berguru kepada Sayid Ishak yang pernah menyebarkan Islam di Pulau di Jawa. Setelah itu meneruskan ke Cirebon.
Tahun 1479 M, Sunan Gunung Jati menikah dengan putri kraton Nyai Ratu Pakungwati. Dari sinilah Syarif Hidayatullah akhirnya menjadi Sultan Cirebon.
Tahun 1568 M Sunan Gunung Jati wafat. Di antara istri-istrinya ada seorang putri Raja Yung Lo bernama Hong Gie yang dinikahi tahun 1485. Orang menyebutnya dengan nama Putri Ong Tien. Hiasan keramik Cina di makam Gunung Jati menandakan barang-barang Tiongkok banyak didatangkan ke Cirebon.
Panglima Fatahillah
Fatahillah atau Faletehan diceritakan keturunan Arab berasal dari Gujarat, India, masuk ke Demak di zaman Sultan Trenggana (1505-1518). Dia kemudian diangkat menjadi komandan pasukan Demak ke Banten untuk mengusir orang-orang Portugis di pelabuhan Sunda Kelapa tahun 1527.
Tentang pergantian nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, budayawan Betawi Ridwan Saidi meragukan itu berasal dari Fatahillah. Sebab mustahil orang Arab memilih nama kota dengan bahasa Sansekerta. Menurut Ridwan Saidi, nama Jayakarta sudah ada sejak zaman Pajajaran.
Fatahillah rupanya menjadi kepercayaan Sunan Gunung Jati sehingga dinikahkan dengan puterinya, Ratu Wulung Ayu. Semula putrinya itu istri Pangeran Sabrang Lor alias Adipati Yunus, kakak Pangeran Trenggana. Setelah Yunus wafat saat penyerbuan ke Malaka mengusir Portugis, jandanya dinikahi Fatahillah.
Ketika di Banten, Fatahillah membantu Pangeran Hasanuddin memperkuat kerajaan baru ini menghadapi ancaman Pajajaran yang bekerja sama dengan Portugis. Di masa ini membangun Istana dan Benteng Surosowan.
Pangeran Hasanuddin aslinya bernama Pangeran Sabakingkin, putra Syarif Hidayatullah dengan istri Nyai Kawunganten, putri penguasa Wahanten Pasisir, sebutan lama Banten. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto