New Normal, New Norm, atau New Culture? Kolom oleh Aji Damanuri, Wakil Dekan I Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Ponorogo. Juga Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tulungagung.
PWMU.CO – Wacana kenormalan baru “new normal” ditawarkan pemerintah ketika grafik pandemi Covid-19 masih cukup tinggi, bahkan di beberapa daerah cenderung naik.
Masyarakat bertanya-tanya apa sebenarnya pengertian, maksud, dan tujuan kenormalan baru atau yang lebih dikenal dengan new normal. Apakah kembali normal setelah pandemi menghantam (return to normal) atau normal kembali setelah ketidaknormalan (back to normal)?
New normal yang terkadang juga disebut sebagai kewajaran baru atau kelaziman baru, adalah sebuah istilah dalam bisnis dan ekonomi yang merujuk kepada kondisi-kondisi keuangan usai krisis keuangan 2007-2008 dan resesi global 2008–2012.
Sejak itu, istilah tersebut dipakai dalam berbagai konteks lain untuk mengimplikasikan bahwa suatu hal yang sebelumnya dianggap tidak normal atau tidak lazim, kini menjadi umum dilakukan.
Namun demikian, jauh sebelum pandemi Covid-19 terjadi, Prof David Laibson dalam artikel di The New York Times yang berjudul The ‘New Normal’ Is Actually Pretty Old, 2011 menyatakan, obsesi “kenormalan baru” adalah kegilaan sesaat, yang pada akhirnya semuanya kembali ke tren jangka panjangnya.
Meski begitu, Prof Laibson juga menyatakan, pada umumnya orang sedikit bersenang-senang dengan label new normal. Artinya apa yang disebut new normal dalam ekonomi adalah ketidaknormalan juga.
New Norm dan New Culture
Bagaimana dengan pandemi Covid 19? Boleh jadi new normal dianggap sebagai fase di mana pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dilonggarkan dan publik diperbolehkan untuk kembali beraktivitas dengan sejumlah protokol kesehatan yang ditentukan pemerintah sebelum ditemukannya vaksin.
Jika ini yang dimaksud, maka menurut saya paradigma yang dibangun bukan new normal, tetapi new norm (norma baru), kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan wilayah tertentu.
Norma akan berkembang seiring dengan kesepakatan-kesepakatan sosial masyarakatnya, sering juga disebut dengan peraturan sosial. Norma-norma baru ini akan berkembang menjadi budaya baru (new culture).
Meskipun perubahan budaya adalah fase tersulit dalam pergerakan sosial, namun sering kali sebuah peristiwa besar yang bersifat traumatik mampu mengubah perilaku sosial masyarakat.
Pada masa pandemi Covid-19 ini telah banyak budaya masyarakat yang berubah secara terpaksa dan harus dipaksakan untuk menyesuaikan dengan semangat menghadapi Covid-19. Ada beberapa budaya yang telah berubah, namun perlu formula yang lebih baik agar berlaku secara efektif.
Budaya Kesehatan, Komunikasi, dan Paedagogi
Pertama, budaya kesehatan dan kebersihan. Meskipun dalam Islam pembahasan taharah (bersuci) selalu dibahas sebelum ibadah-ibadah lainnya, namun sensitivitas masyarakat belum membudaya dengan baik, kecuali di beberapa komunitas seperti pesantren.
New culture yang sedang dikampanyekan, sebenarnya merupakan ajaran-ajaran yang telah lama disampaikan oleh para medis. Namun belum menjadi kesadaran publik, selain faktor pendidikan dan ekonomi, juga sarana dan prasarana yang masih minim.
Seperti mencuci tangan dengan sabun, memakai masker, menjaga jarak (social distancing), olah raga mengeluarkan keringat, berjemur, selalu menjaga kebersihan, mengkonsumsi makanan yang sehat dan bergizi, serta menekan stress dengan meningkatkan spiritualitas.
Kedua, budaya komunikasi dan sosialisasi. Budaya berkumpul adalah kodrat manusia, baik perkumpulan santai maupun perkumpulan resmi, baik acara sosial maupun keagamaan.
Sebuah doktrin dan ajaran sering dilakukan secara langsung dengan suasana ramah tamah ketimuran. Namun dalam masa Covid-19 ini, semua dilakukan secara online. Tentu saja berbeda jauh dengan bertemu langsung, yang ngetren dengan istilah kopdar (kopi darat).
Senang atau pun tidak, supaya terhindar dari penyebaran Covid-19, komunikasi dan sosialisasi harus dilakukan dengan memanfaatkan tehnologi komunikasi.
Ketiga, budaya paedagogi. Belajar online atau daring yang telah lama dikenalkan dunia modern ternyata menjadi pengganti belajar tatap muka yang menyiksa bagi guru, siswa, dan wali murid.
Sepanjang pengetahuan penulis, sejauh ini belum ada rilis research dari lembaga-lembaga penelitian yang mengemukakan efektivitas pembelajaran daring. Kendala apa saja yang dihadapi dan bagaimana solusi yang diajukan?
Karenanya butuh kreativitas dunia pendidikan untuk mengemas model pembelajaran daring ini. Bukan saja bagaimana penyampaian materi yang efektif, tetapi juga bagaimana penanaman nilai bisa dilakukan.
Budaya Ekonomi dan Keagamaan
Keempat, budaya ekonomi. Digitalisasi ekonomi dan keuangan telah membudaya sebelum pandemi Covid-19 terjadi. Sehingga tinggal melanjutkan dan memperluas jaringan, komoditas, dan pasar sasaran.
Di beberapa daerah dengan tingkat pandemi zona merah ada yang menerapkan aplikasi e-pasar untuk melayani kebutuhan masyarakat bekerja sama dengan ojol (ojek online). Fintech juga menjadi tren baru dalam transaksi keuangan yang mengancam eksistensi para kasir.
Kelima, budaya keagamaan yang mengalami perubahan radikal dengan pembatasan tempat ibadah. Ratusan tahun dokrin ukhuwah dibangun di atas logika pemakmuran masjid sebagai basis sosial dan spiritual.
Karenanya bukan perkara gampang mengubah keyakinan umat yang sudah mendarah daging ini. Apa lagi fitrah keagamaan seseorang yang terancam, ketakutan, dan kekurangan selalu ingat akan Tuhannya.
Tradisi ngaji rutin berbasis teks puluhan tahun kadang belum mampu mengubah prilaku umat. Kajian rutin dengan tema tertentu saja belum tentu mampu memahamkan jamaah, apa lagi hanya materi-materi yang disampaikan via media sosial.
Maka, ekspektasi yang terlalu tinggi jika para agamawan membayangkan umat akan berubah seratus derajat hanya dengan edaran beberapa lembar. Butuh pendekatan sosiologis dan antropologis dalam mengarahkan umat pada tradisi keagamaan baru tersebut.
Pendekatan normatif-empiris, normatif-sosiologis, atau normatif-antropologis, bisa dijadikan bahan kajian dalam memahami manusia (perilaku). Baik kepatuhan terhadap norma berupa fatwa, maklumat, maupun kompilasi hukum Islam.
Butuh penelitian mendalam daripada sekadar justifikasi dan stereotype bagi perilaku umat, agar ke depan norma hukum Islam bisa dijalankan dengan baik.
Peran Teknologi dalam New Norm dan New Culture
Semua new norm dan new culture tersebut membutuhkan peran teknologi secara maksimal. Baik teknologi tepat guna maupun teknologi komunikasi sebagai piranti peradaban modern.
Penguasaan teknologi yang baik sangat menunjang pelaksanaan budaya baru saat pandemi berlangsung. Baik budaya kesehatan, komunikasi, paedagogi, ekonomi, dan keagamaan.
Semua membutuhkan kecanggihan teknologi dan keterampilan dalam menggunakannya. Produksi berita, iklan, tuntunan, materi, video, dan lain sebagainya perlu dikemas secara smart marketing supaya lebih bisa memahamkan dan memberi efek perubahan perilaku.
Para pemangku kebijakan, baik pemerintah maupun ormas, perlu membangun pemahaman dan kesadaran baru dalam menggerakkan potensi umat. Pemahaman bahwa dibutuhkan pendekatan sosiologis dan antropologis dalam mengatur tatanan masyarakat masa pandemi ini.
Kelemahan media sosial yang hanya mampu menyampaikan pesan namun kurang mampu membangun kesadaran dan nilai juga perlu solusi jitu.
Akhirnya, daripada terus ribut dengan istilah dan konsep baru new normal, lebih baik menghadapi dan mengatasi pandemi Covid-19 ini dengan membangun budaya baru (new culture) yang antisipatif, adaptif, dan solutif bagi masyarakat.
Kebijakan yang arif dan bijaksana dibangun di atas logika keilmuan dan moralitas, jauh dari motif jahat yang mengabaikan keselamatan jiwa.
Sejujurnya masyarakat yang berada dalam kepanikan, ketakutan, dan tekanan psikis tidak membutuhkan polemik. Tetapi membutuhkan solusi nyata agar selamat dari penularan Covid-19. Wallahu a’lam bi al shawab.(*)
Co-Editor Ria Pusvita Sari. Editor Mohammad Nurfatoni.