Kewajiban Suami pada Istri Tak Hilang setelah Cerai ditulis oleh Ahmad Syaifuddin SH, Kantor Advokat Ahmad Syaifuddin & Partners. Alamat Desa Gaprang, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar. Email Danis_alfath@Yahoo.com.
PWMU.CO – Perceraian bagi sebagaian orang adalah momok yang menakutkan bagi kehidupan rumah tangga.
Karena dengan perceraian kehidupan seseorang, terkhusus bagi istri—ibu rumah tangga yang tidak bekerja dan atau menggantungkan hidup sepenuhnya dari suami—akan mengalami perubahan yang drastis.
Dia harus berpikir untuk menghidupi hidupnya dan anak-anaknya. Sedangkan selama ini dia tidak bekerja. Maka hari-hari akan terasa sangat berat, apalagi saat ini, di masa pandemi Covid 19 yang melanda di dunia, termasuk Indonesia.
Pandemi ini menimbulkan persoalan-persoalan baru yang melanda rumah tangga. Terutama masalah ekonomi. Banyak keluarga yang kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kebutuhan hidup yang tidak terpenuhi akan menjadi satu permasalahan dalam keluarga. Semakin lama permasalahan meruncing sehingga dapat menjadi penyebab perceraian. Bila tidak ada penyelesaian maka kehancuran rumah tangga akan terjadi
Penyebab Perceraian
Berdasarkan data Badan Pengadilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung tahun 2019, sudah ada 604.997 Kasusupermohonan cerai yang diterima dari seluruh Indonesia.
Dari data itu, 79 persen telah dikabulkan pengadilan. Artinya lebih dari 479.618 pasangan rumah tangga telah bercerai selama tahun 2019.
Pada kasus perceraian di Pengadilan Agama terbagi menjadi dua hal. Yakni yang diajukan suami dengan sebutan cerai talak dan atau permohonan cerai talak.
Pada tahun 2019 kasus cerai talak mencapai 355.842. Sedangkan yang diajukan istri dengan sebutan cerai gugat dan atau gugatan cerai mencapai angka 124.776 kasus.
Data dari BPS Provinsi Jawa Timur tahun 2018, faktor penyebab perceraiaan di adalah: pertengaran 43.52 persen, ekonomi 36.67 persen, meninggalkan salah satu pihak 14.38 persen, KDRT 1.66 persen, Zina 0.93 persen.
Faktor mabuk 0.55 persen, kawin paksa 0.44 persen, judi 0.41 persen, cacat fisik 0.39 persen, pindah agama 0.23 persen, poligami 0.18 persen, dihukum 0.11 persen, narkoba 0.05 persen.
Di masa Pendemi Covid-19 ini, tidak menutup kemungkinan angka perceraian dengan faktor penyebab perekonomian akan semakin meningkat, melihat setuasi perekonomian semakin sulit.
Hak Istri setelah Cerai
Pada kasus cerai talak, tak jarang terjadi pelanggaran-pelanggaran atas hak-hak bagi istri yang dicerai oleh mantan suaminya. Dan salah satu yang menyababkannya adalah minimnya pengetahuan seorang istri akan hak-haknya.
Bagi seorang istri yang akan diceria suaminya, hak-hak istri tersebut sebagaimana diatur dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam(KHI) terkhusus Pasal 149 KHI dan Pasal 152 KHI yang berbunyi: “
Pasal 149 KHI: Bila mana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
Pertama, memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla ad-dukhul (belum dikumpuli).
Kedua, memberi nafkah, maskan, dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak bain atau nusyus dan dalam keadaan tidak hamil.
Ketiga, melunasi mahar yang masih berutang seluruhnya, dan separoh apabila qabla al dukhul.
Keempat, memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21,
Pasal 152 KHI:
“Bekas Istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyus”.
Syarat Wajibnya Nafkah Pascacerai
Berdasarkan Pasal 149 KHI dan Pasal 152 KHI tersebut, kewajiban seorang suami tidak hanya sebatas saat masih terjalinnya hubungan suami istri. Namun ketika sudah terjadi perceraian pun, suami masih wajib memberikan nafkah kepada mantan istri.
Tentu kewajiban itu disertai dengan syarat-syarat. Pertama, yakni jika perceraian itu diakibatkan oleh suami atau dengan kata lain suami yang mengajukan permohonan cerai talak.
Kedua, mantan istri akan mandapatkan hak-haknya apa yang disebutkan dalam Pasal 149 KHI dan 152 KHI: jika istri tidak dalam keadaan nusyus (durhaka) atau dengan kata lain tidak patuh kepada suami.
Seorang istri yang dikatagorikan nusyus ialah istri yang tidak melayani suami secara lahir batin (tidak mau bersih rumah dan memasakan suami). Dan juga istri yang meninggalkan rumah bersama tanpa izin suami, maka istri sudah dapat dikatakan Nusyus.
Ketiga, hak-hak istri sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 149 KHI dan Pasal 152 KHI terebut harus dimintakan di depan hakim pemeriksa perkara perceraiaan tersebut.
Artinya jika seorang istri tidak meminta hak-haknya saat terjadi perceraian yang diajukan oleh suaminya, baik dengan cara tidak meminta kepada hakim atau dengan tidak menghadiri sidang-sidang perceraian yang berlangsung, maka hak-hak istri tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 149 KHI dan 152 KHI akan gugur dan/atau hilang.
Kewajiban seorang suami terhadap mantan istrinya juga diatur dalam Pasal 41 huruf c UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana di ubah dengan UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi:
“Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.”
Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa meskipun antara suami istri sudah berpisah dengan bercerai namun kewajiban suami untuk memberikan nafkah dan atau penghidupan kepada mantan istri tetap masih ada, selama mantan istri belum menikah dengan laki-laki yang lain.
Perlunya Sosialisasi
Namun ironisnya apa yang sudah diatur dalam pasal-pasal di atas masih jarang terealisasi. Hal tersebut paling tidak disebabkan dua hal utama. Yaitu, pertama, minimnya pengetahuan istri yang akan dicerai suaminya: tentang hak-haknya yang harus diberikan oleh suaminya.
Dan ini merupakan tanggung jawab bagi orang-orang yang paham hukum dan juga pemerintah untuk lebih menyosialisasikan akan hak-hak istri yang dicerai suami. Agar jika terjadi perceraian seorang istri dan anak-anaknya tidak terlantar, karena bekas suami masih wajib memberikan nafkah dan atau penghidupan.
Kedua, adanya pandangan bahwa jika seorang suami istri telah putus karena perceraian, maka putus juga hubungan hak dan kewajiban bagi suami istri tersebut.
Batas Waktu Kewajiban Beri Nafkah
Kewajiban suami terhadap mantan istrinya sebagaimana diatur dalam Pasal 149 KHI dan 152 KHI selain bisa gugur dan atau hilang—karena tidak dimintakan kepada majelis hakim pemeriksa perkara perceraian tersebut—juga hanya dibatasi selama waktu masa iddah.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 149 huruf b yang berbunyi: “Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak bain atau nusyus dan dalam keadaan tidak hamil.”
Artinya kewajiban seorang suami memberikan nafkah terhadap mantan istri adalah selama masa iddah. Dan masa iddah bagi seorang istri adalah tiga kali suci atau sekurang-kurangnya 90 hari.
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 153 huruf b KHI yang berbunyi: “ Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari. Dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90.”
Sedangkan menurut Pasal 41 huruf c UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana diubah dengan UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi:
“Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.”
Tidak memberikan batas waktu bagi seorang suami sampai kapan, seorang suami masih berkewajiban memberikan nafkah atau biaya hidup terhadap mantan istrinya.
Sehingga berdasarkan hal tersebut seorang istri saat terjadi proses sidang perceraian berlangsung, bisa meminta kepada majelis hakim pemeriksa perkara, untuk memutuskan bahwa suami masih wajib memberikan nafkah atau biaya hidup terhadap istrinya. Atau nanti menjadi mantan istrinya selama mantan istri belum menikah dengan laki-laki lain, dan hal tersebut boleh dimintakan, dan kebijakan hakim yang akan menentukannya.
Semoga tulisan Kewajiban Suami pada Istri Tak Hilang setelah Cerai ni bemanfat! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.