PWMU.CO – Jika Anda ke kampunga Kauman, Yogyakarta, hampir pasti akan melihat 2 pintu gerbang sebagaimana gambar di atas itu. Apalagi gambar yang sebelah kiri, ketika lambang Muhammadiyah dan semua organisasi otonomnya terpampang indah. Kelengkapan ini membuat banyak orang memahami jika gapura ini adalah “pintu gerbang utama” memasuki Kampung Kauman.
Pemahaman itu pula yang saya pahami sebelum benar-benar menjelajah Kauman lebih intens. Barulah sebulan sebelum muktamar 2010 di Yogyakarta, saya berkesempatan untuk mengelilingi kampung ini hingga sudut-sudut gang. Karena penjelajahan ini saya lakukan 6 tahun lalu, –begitu juga foto-foto yang ada di tulisan ini– tentu sangat mungkin ada perubahan tata letaknya. Namun, setidaknya tulisan ini bisa menggambarkan Kauman secara umum.
Berkat bantuan “peneliti muda” arsip Muhammadiyah tempo dulu, Mas Mu’arif, saya lumayan faham kampung Kauman ini. Terlebih ketika temuan-temuan visual itu saya konfirmasikan kepada sejarahwan (almarhum) Ahmad Adaby Darban, ternyata saya harus merevisi banyak pengetahuan tentang Kauman.
Terkait gapura yang bergambarkan logo Muhammadiyah lengkap dengan ortomnya, ternyata ia bukanlah pintu gerbang utama Kampung Kauman. Gapura yang terletak di sebelah kanan kantor Majalah Suara Muhammadiyah ini ternyata batas kampung Kauman di seberang timur. Lalu di mana pintu gerbangnya?
Pintu gerbang utama memasuki Kauman yang “resmi” ternyata adalah gang yang terletak di sebelah kiri kantor Redaksi Suara Muhammadiyah. Tepatnya di sebelah rumah Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1962-1965), HM. Junus Anis, yang kini diwakafkan untuk Aisyiyah pada tahun 2016 ini. Penandanya adalah gapura bertuliskan 1920 berangka Indonesia dan 1339 berangka Arab.
(Baca: 3 Cerita Jatuh-Bangun Kyai Dahlan Mendirikan dan Pertahankan Sekolahan)
Lebar jalan dari pintu gerbang hanya 1,5 meter membujur utara ke selatan sepanjang 450 meteran. Di jalan utama ini ada empat pertigaan ke kiri (timur), serta dua gang ke kanan (barat). Uniknya, jalan pertigaan di salah satu pertengahan kampung justru lebih lebar dari jalan utama, sekitar 3 meteran.
Pertigaan yang lebih luas dari jalan utama masuk Kauman ini merupakan jalur utama menuju Masjid Agung. Jalan ini juga bersambung-simpangan dengan pintu gerbang Kauman sebelah timur, meski tidak sampai ujung Jl Ahmad Dahlan. Keindahan jalan dalam kampung ini semakin terasa ketika malam, saat lampu bernilai seni di tengah jalan hidup terang-benderang.
(Baca: Ketika Muhammadiyah Jadi Tuan Rumah Kongres Boedi Oetomo)
Di deretan jalan utama Kauman ini terdapat ragam bangunan yang cukup heroik dalam sejarah perkembangan Muhammadiyah. Di sektor ini ada kantor Suara Aisyiyah, majalah perjuangan perempuan sejak 1926 yang bertahan sampai sekarang. Sedikit ke selatan, terdapat sebuah gang kecil tempat tinggal Ketua (Umum) PP Muhammadiyah 1962-1968, KH A. Badawi semasa hidup.
Berjalan ke arah selatan lagi, bangunan mushalla wanita pertama di nusantara berdiri kokoh, yang sampai sekarang pun jamaahnya tetap wanita. Saat diresmikan pada 16 Oktober 1923, mushalla ini tergolong ‘megah’ karena menelan dana 13256 rupiah 77 sen, begitu Soewara Moehammadijah Edisi 11 November 1923 melaporkannya.
Selanjutnya halaman 2…