Kesengajaan dan Niat dalam Hukum Pidana Kasus Novel Baswedan ditulis oleh Ahmad Syaifuddin SH, Kantor Advokat Ahmad Syaifuddin & Partners Jalan Karto Drono RT 03 RW 04 Dusun II Desa Gaprang, Kec Kanigoro, Kabupaten Blitar, E-mail Danis_alfath@Yahoo.com
PWMU.CO – Beberapa hari ini terjadi polemik atas tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) pada kasus penyiraman cairan keras (asam sulfat) terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan (NB). Pelakunya terdakwa RK dan RB.
Kamis, 11 Juni 2020 JPU menuntut para terdakwa dengan tuntutan 1 tahun penjara, dengan menguraikan fakta persidangan “Bahwa para terdakwa tidak pernah menginginkan melakukan penganiayaan berat.”
Terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi korban NB dengan melakukan penyiraman cairan keras (asam sulfat) ke saksi korban NB ke badan. Namun mengenai kepala korban. Akibat perbuatan terdakwa, saksi Korban NB mengakibatkan tidak berfungsi mata kiri hingga cacat permanen.”
JPU juga mengatakan para terdakwa dari awal tidak berniat untuk melakukan penganiyaan berat pada saksi korban NB. Sehingga dalam tuntutannya JPU menyatakan dakwaan subsider yang terbukti, yakni melanggar Pasal 353 Ayat 2 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 KUHP.
Analisis Hukum Pidana
Uraian fakta persidangan yang diungkapkan oleh JPU, yang menyatakan tidak ada niatan dan tidak ada keinginan dari para terdakwa untuk melakukan penganiyayaan berat terhadap saksi korban NB, sontak mendapat banyak respon dari berbagai kalangan. Mereka menyatakan tidak sependapat dengan JPU dan beranggapan terlalu ringan tuntutan itu.
Oleh karena itu penting untuk mengetahui tentang istilah kesengajaan dan niatan dalam pandangan hukum pidana, agar pendapat yang kita ungkapkan—baik yang tidak setuju atau yang setuju—masih dalam ranah koridor-koridor hukum.
Kesengajaan menurut Memorie Van Toelichting adalah “menghendaki” dan “mengetahui” (willens en weten). Maksudnya seseorang yang melakukan perbuatan dengan sengaja itu, harus menghendaki (willens) apa yang ia perbuat dan harus mengetahui pula (wetens) apa yang ia perbuat tersebut beserta akibatnya.
Pada pengetahuan ilmu hukum pidana, dikenal dua teori tentang kesengajaan yakni, pertam, teori kehendak (wilstheorie). Teori ini menerangkan sengaja adalah kehendak untuk membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan akibat dari perbuatan itu.
Atau dengan kata lain apabila seseorang melakukan perbuatan tertentu, maka kehendak orang tersebut adalah menimbulkan akibat atas perbuatannya. Karena ia melakukan perbuatan itu justru karena ia menghendaki akibatnya, ataupun hal ikhwal yang menyertai. Teori ini dikemukakan oleh Von Hippel.
Kedua, tori pengetahuan atau membayangkan (voorstellingtheorie). Teori ini menerangkan tidaklah mungkin sesuatu akibat atau hal ikhwal yang menyertai itu tidak dapat dikatakan oleh pembuatnya tentu dapat dikehendakinya pula. Karena manusia hanya dapat membayangkan atau menyangka terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai.
Untuk memperjelas teori ini, umumnya digunakan ilustrasi: seseorang yang hendak membunuh orang lain, lalu menembakkan pistol dan pelurunya meletus ke arah sasaran orang yang dituju. Maka perbuatan menembak itu dikehendaki oleh si pembuat.
Akan tetapi akibatnya belum tentu timbul sebagaimana kehendak orang tersebut, misalnya saja karena pelurunya meleset justru mengenai orang lain yang tidak dituju. Teori ini dikemukakan oleh Frank (Jerman, 1907).
Oleh sebab itu dalam teori pengetahuan seorang yang melakukan tindak pidana tidak harus menghendaki akibat perbuatannya melainkan cukup hanya dapat membayangkan atau menyangka (voorstellen). Bahwa akibat perbuatannya itu akan timbul sudah cukup untuk menyatakan pelaku “menghendaki dan mengetahui”.
Hal ini bisa dicontohkan, ada seorang yang melempar batu ke arah jalan umum, dengan tidak ada niatan untuk melukai seseorang. Namun dalam perbutanya pelemparan batu ke arah jalan umum itu akan mengakibatkan orang luka terkena lemparan batu. Dalam hal ini pelaku pelempar batu sudah cukup dikatakan “menghendaki dan mengetahui”.
Dua Macam Teori Kesengajaan
Teori kesengajaan berdasarkan sifatnya dibagi menjadi dua yaitu, pertama, kesengajaan berwarna (gekleurd). Sifat kesengajaan dikatakan berwarna bilamana kesengajaan melakukan sesuatu perbuatan mencakup pengetahuan si pelaku bahwa perbuatanya melawan hukum (dilarang).
Jadi harus ada hubungan antara keadaan batin pelaku dengan sifat melawan hukumnya perbuatan. Atau dengan kata lain pelaku tahu bahwa perbuatnya adalah perbuatan yang dilarang dan atau melanggar hukum.
Sengaja di sini berarti dolus malus. Artinya untuk menyatakan adanya kesengajaan berbuat jahat diperlukan syarat. Yakni pada saat melakukan perbuatan pidana, pelaku ada kesadaran bahwa perbuatannya dilarang dan/atau dapat dipidana.
Kedua, kesengajaan tidak berwarna (kleurloos). Teori ini menyatakan pelaku dapat dikatakan sengaja meskipun pelaku tidak tahu perbuatanya itu dilarang dan atau melanggar hukum.
Teori kesengajaan tidak berwarna ini sejalan dengan fiksi hukum yang dianut di indonesia, di mana fiksi hukum ini mempunyai makna “semua orang dianggap tahu hukum” (presumptio iures de iure). Artinya sejak aturan itu disahkan danatau undang-undang itu di undangkan, tidak ada alasan bagi siapapun, baik itu nelayan, petani, atau orang yang tingga di pedalaman, mengatakan tidak tahu hukum.
Jika teori kesengajan pengetahuan atau membayangkan (voorstellingtheorie) ini dihubungkan dengan kasus penyiraman cairan keras (asam sulfat) terhadap penyidik senior NB, maka pendapat JPU dalam tuntutanya yang menyatakan tidak ada niatan dan tidak ada keinginan dari para terdakwa untuk melakukan penganiyayaan berat terhadap saksi korban NB, kuranglah tepat.
Karena berdasarkan teori tersebut telah jelas, seorang dapat dikatakan sengaja, cukup dengan dia tahu akan akibat yang akan timbul atas perbuatanya.
Jadi jika pelaku melakukan tidakan penyiraman air keras (asam sulfat)—yang notabenya adalah benda cair yang berbahaya dan jika kena tubuh akan mengakibatkan kulit seperti terkena luka bakar—maka pelaku pasti tahu akan akibat kena cairan tersebut.
Sehingga tindakan pelaku menyiramkan cairan (asam sulfat) adalah tindakan yang disengaja. Dengan niatan dan keinginan melakukan penganiyaan berat.
Atau dengan kata lain jika pelaku tindak pidana tahu apa yang dilakukan dan juga akibat perbuatannya walaupun tidak sesuai dengan tujuan yang dimaksud maka pelaku sudah secara sengaja melakukan perbuatan tindak pidana tersebut.
Namun di sisi itu semua kita haruslah menghormati pendapat JPU tersebut dan tidak boleh mengganggu dan mempengaruhinya. Dan kebijaksanaan hakim yang akan menentukan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.